Rabu, 06 Juni 2018

Pendidikan, mestinya

Pendidikan, mestinya...

Seorang bocah bilang kepada teman sebayanya. Tentang menjadi dewasa. "Enak kali ya jadi dewasa.... Tubuh kita kuat. Tampan, atau kalo perempuan jadi cantik. Bisa suka-suka... gak disuruh-suruh sama ortu gini gitu... Blablabla..." Dewasa dalam sudut pandang bocah. Dewasa khayali bisa dibilang. Kira-kira bermanfaat gak omongan kayak gini, dari sudut pandang menjadikan dewasa? Untuk temannya, atau untuk si bocah sendiri?

Atau dalam kasus yang pernah saya temui seorang yang biasa merokok bilang kepada anaknya. "Nak jangan ngerokok ya! Gak sehat." Ada manfaatnya gak ya kata-kata gini? Buat si anak, buat si perokok?

Pendidikan dikatakan penyampaian nilai-nilai dari guru kepada murid. Tapi nilai-nilai apa? Kesehatan jasmani dan panjang umur? Intelektualitas? Kreativitas? Bertahan hidup? Kesehatan emosi? Atau apa?

Dalam tataran terminologi penyampaian nilai apapun kemudian dapat dikatakan sebagai pendidikan. Lalu di sebelah mana positifnya term "pendidikan" dong?

Dalam satu konsep kosmologi dikatakan bahwa sarana hidup yang paling penting bagi manusia adalah hati. Jika segenap sarana hidup manusia diibaratkan sebuah kerajaan, hati inilah yang mestinya berkuasa. Jika hati condong kepada sang Tuan, segenap kerajaan diripun akan menjadi seperti para malaikat yang selalu mentaatiNya. Jika hati condong kepada selain sang Tuan, segenap kerajaan diri akan seperti tempat yang penuh kekacauan dan pemberontakan kepadaNya.

Mungkin ada yang bertanya. Di mana tempatnya akal, penalar, dalam konsep kosmologi ini? Bukankah ia sarana hidup manusia yang paling dewasa, yang paling cerdas? Benar bahwa akal adalah sarana paling cerdas pada manusia, pada awalnya. Namun demikian akal bukanlah sarana dengan kapasitas berkehendak, pun mencinta. Sementara hal yang paling utama pada manusia adalah kehendaknya, dan cintanya. Hal yang signifikan pada manusia adalah niatnya, pun apa yang jadi cintanya. Karena itulah kemudian akal menjadi penasehat dalam kerajaan diri, sementara hati sebagai rajanya.

Pendidikan, dengan demikian, mestinya adalah upaya mejadikan rajanya segenap sarana hidup manusia, yakni hati, sebagai sosok yang dewasa. Yakni sosok yang senang dengan ketaatan kepadaNya, sosok yang benci akan pembangkangan kepadaNya. Hal ini karena hati adalah wujud yang bodoh pada awalnya, diibaratkan seperti bayi yang hanya dapat mendengar, tak mampu melihat, tak mampu berucap pun berdalil.

Hati siapakah yang kemudian jadi target pendidikan? Hati istri/suami kita? Hati anak-anak kita? Hati semua orang?

Mungkin kepedean, tidak pada tempatnya hati yang buta dan bisu berkhayal jadi pendidik bagi hati-hati lain yang serupa.

Maka tugas manusia kemudian adalah mengajari hatinya sendiri, sembari mengiba kepada sang Sebab kedewasaan hati, sembari mengajak hati-hati yang lain belajar bersama.

Akhir kata. Adakah gunanya ocehan bocah tentang kedewasaan khayali ini? Mungkin tidak. Ah sudahlah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar