Kamis, 05 Agustus 2021

18. Peran Akal dan Penginderaan dalam Pembenaran Akli

 Beberapa Hal tentang Pembenaran Akli 


Perlu sebelumnya kami jabarkan dulu beberapa hal terkait logika, khususnya berkenaan pembenaran akli dan pernyataan (proposisi). 

1. Seperti telah disinggung dalam definisi “gambaran”, tiap gambaran tidak melebihi kadarnya yakni hanya menunjukkan apa yang di luar dirinya. Membayangkan hal khusus atau konsep umum tertentu tidak berarti bahwa apa yang bersesuaian dengannya benar ada. Kadar untuk mewakili itu terwujud saat terbentuk pernyataan dan pembenaran. Dengan pembenaran di sini adalah penilaian yang menunjukkan keyakinan. Contoh, konsep “manusia” dalam dirinya sendiri tidak menyatakan adanya manusia di dunia luar. Namun ketika digabungkan dengan konsep “maujud” dan hubungan kesatuan, ia lalu memberi bentuk pembenaran, yang faktanya bisa dicari di dunia luar. Yakni, orang dapat menganggap pernyataan “Manusia ada”, sebagai sebuah pernyataan yang mewakili dunia luar. 


Setidaknya dua konsep didapat dari setiap pengetahuan saat ia tercermin dalam benak, termasuk pengetahuan langsung. Sementara kita paham bahwa pengetahuan langsung tak pernah tersusun atau berulang. Contohnya rasa takut.  Saat tercermin ia punya dua konsep: pertama adalah konsep keapaan takut, yang kedua adalah konsep wujud, dan dengan ketersusunan mereka tercermin dalam bentuk “ada takut”. Kadang dengan menambahkan konsep lain, menjadi bentuk “saya takut”, atau “saya punya takut.” 


Perlu dicatat bahwa ada kalanya konsep yang tampak sederhana dan tanpa pembenaran pada hakikatnya adalah sebuah pembenaran. Misal apa yang dimaksud oleh ungkapan “Manusia mencari kebenaran” adalah sebagai berikut. Manusia itu, yakni maujud di dunia luar, punya sifat mencari kebenaran. Jadi sebenarnya subjek pernyataan, “manusia”, yang tampaknya konsep sederhana, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan, “Manusia yang ada di dunia luar.” Lalu ditambah predikat “mencari kebenaran.” Pernyataan yang mengandung komponen tersirat seperti ini dalam logika disebut dengan “aqd al-wadh.” 


2. Subjek sebuah pernyataan ada kalanya sebuah konsep khusus yang merujuk pada maujud tertentu, seperti “Everest adalah gunung tertinggi di dunia.” Ada kalanya konsep umum dan berlaku pada sejumlah tak terbatas maujud. Pada kasus kedua, ada kalanya konsep “apa” seperti “logam memuai saat dipanaskan”. Ada kalanya konsep filsafat seperti “Akibat tanpa sebab tidak akan terjadi”. Ada pula kalanya konsep logika seperti “kontradiktori dari universal negatif adalah partikular positif.” 


3. Dalam logika klasik pernyataan punya dua bentuk, berpredikat dan bersyarat. Berpredikat terdiri dari subjek dan predikat, yang hubungan keduanya adalah kesatuan, seperti “Manusia adalah pemikir.” Bersyarat terdiri dari anteseden [syarat] dan konsekuen [bersyarat], yang hubungan keduanya bisa kemestian, seperti “Jika sebuah bidang adalah segitiga, maka jumlah sudut-sudutnya sama dengan dua sudut siku”. Pernyataan bersyarat bisa juga berupa disjungsi khusus (taanud) seperti “Angka bisa genap atau ganjil”. Yakni jika sebuah angka genap, maka tidak ganjil, dan jika ganjil maka tidak genap. Adapun bentuk lain proposisi yang mungkin, semuanya dapat dikembalikan ke bentuk berpredikat. [Semua proposisi tersusun dari proposisi berpredikat.] 


4. Hubungan antara subjek dan predikat ada kalanya bersifat mungkin, misal “Seorang lebih besar dari orang lain.” Ada kalanya bersifat mesti, misal “Setiap keseluruhan lebih besar dari sebagiannya.” Logikawan menyebut sifat-sifat ini “hal proposisi” (maddah qadhiyyah). Saat sifat ini tersurat dalam satu pernyataan ia disebut mode pernyataan (jahat qadhiyyah). 


Hal proposisi biasanya tersirat, dan bukan bagian darinya, meski bisa saja predikat menyatu dengan subjek dan hal atau mode proposisi mengambil bentuk predikat dan menjadi unsur proposisi. Misal pada pernyataan sebelumnya bisa saja dibilang “Bahwa seorang melebihi ukuran orang lain adalah mungkin” serta “Keseluruhan melebihi ukuran sebagiannya adalah pasti.” Pernyataan seperti ini mewakili kualitas hubungan antara subjek dan predikat proposisi lain. 


5. Kesatuan yang ada antara subjek dan predikat ada kalanya bersifat konseptual, seperti “Orang adalah manusia”. Ada kalanya adalah kesatuan maujud, seperti “Orang mencari kebenaran”, subjek dan predikat dalam hal ini tak punya kesatuan konseptual, namun menyatu dalam maujud. Yang pertama disebut predikasi primer (haml awwali), yang kedua disebut predikasi umum (haml syayi). 


6. Dalam predikasi umum jika predikat pernyataan adalah maujud atau bandingannya maka ia diistilahkan pertanyaan sederhana (halliyah basitah), sementara dalam kasus lain diistilahkan pertanyaan rangkap (halliyah murakkabah). Yang pertama misal“Orang adalah maujud”, sementara yang kedua misalnya “Orang mencari kebenaran.” 

Penerimaan akan pertanyaan sederhana bergantung pada penerimaan akan konsep keberadaan sebagai konsep mandiri yang mungkin dipredikatkan (konsep predikatif). Tapi kebanyakan filosof barat menerima konsep keberadaan hanya sebagai konsep nominal yang tak mandiri. Pembahasan lanjutnya ada di bagian ontologi. 


7. Dalam pertanyaan rangkap, jika konsep predikat diperoleh melalui analisis konsep subjeknya, ia dikatakan “analitik”. Jika tidak demikian maka dikatakan “sintetik”. Misal pernyataan “Semua anak punya ibu” adalah analitik. Yakni saat konsep anak dianalisis akan diperoleh konsep ibu. Adapun pernyataan “Logam memuai saat dipanaskan” adalah sintetik. Yakni dari menganalisis konsep logam kita tak mendapati konsep pemuaian. Dengan cara yang sama pernyataan “Semua orang punya ibu” dikatakan sintetik, karena dari menganalisis makna “orang” tidak didapati konsep “punya ibu.” “Setiap akibat perlu sebab” adalah analitik dan “Semua maujud perlu sebab” adalah sintetik. 


Perlu dicatat bahwa Kant membagi pernyataan sintetik kepada dua jenis, a priori dan a posteriori, serta memandang pernyataan matematik sebagai yang pertama. Namun sebagian positivis berupaya memasukkannya ke dalam pernyataan analitik. 


8. Dalam logika klasik pernyataan dikelompokkan ke dalam swabukti dan teoritik (tidak swabukti). Pernyataan dikatakan swabukti saat pembenarannya tak perlu pemikiran dan penalaran. Sementara pernyataan teoritik, pembenarannya perlu pemikiran dan penalaran. Pernyataan swabukti terbagi dua: pernyataan swabukti primer, yang pembenarannya tak perlu apa pun kecuali pemaknaan yang benar akan subjek dan predikatnya, seperti “Menyatunya dua hal yang berlawanan adalah mustahil”. Pernyataan semacam ini dinamakan “induk semua pernyataan”. Lainnya adalah pernyataan swabukti sekunder yang pembenarannya bergantung pada indera atau hal selain pemaknaan subjek dan predikat. Yang ini terbagi ke dalam enam kelompok: terkait indera, kesadaran, perkiraan, hukum akal, pengalaman, dan kesaksian (testimoni). 


Hakikatnya tak semua pernyataan tersebut swabukti. Hanya dua kelompok saja yang layak dipandang swabukti. Pertama adalah pernyataan swabukti primer. Yang kedua adalah pernyataan terkait kesadaran, yakni cerminan akli pengetahuan langsung. Adapun yang terkait perkiraan dan hukum akal ia hanya mendekati pernyataan swabukti. Pernyataan yang lain mesti dipandang sebagai teoritik dan perlu argumen, akan dibahas lebih lanjut pada “nilai pengetahuan”. 


Pembahasan


Masalah lebih penting indera atau akal biasanya tidak dibahas secara terpisah. Namun demikian kita bisa memahami pandangan para rasionalis dan empirisis dengan menelaah pandangan-pandangan ini. Misal positivis, yang membatasi pengetahuan hakiki hanya pada pengetahuan inderawi. Karena keras kepala mereka berada di sisi mengutamakan indera. Mereka memandang setiap pernyataan non empirik sebagai tak bermakna atau tak bernilai secara keilmuan. Sebagian empirisis mengutamakan peran pengalaman inderawi, sementara dalam beberapa kasus menerima pula peran akal. Adapun rasionalis menekankan pentingnya akal, sementara percaya akan lepasnya pernyataan dari pengalaman. Misalnya Kant, di samping memandang pernyataan analitik tak perlu pengalaman, juga memandang sebagian pernyataan sintetik, termasuk semua pernyataan matematik sebagai lebih mendasar dari pengalaman dan tak perlu kepadanya. 


Agar bahasan kita tidak berpanjang lebar, kita tak akan membahas semua pendapat tokoh empirisis dan rasionalis. Kita akan cukupkan dengan mengutarakan pandangan yang benar dalam hal ini. 


Dengan fakta bahwa pada pernyataan swabukti primer hanya cukup dengan pemaknaan yang tepat akan subjek dan predikat untuk menentukan kesatuannya, jelaslah bahwa pembenaran semacam ini tak perlu pengalaman inderawi. Masalahnya adalah bahwa setelah subjek dan predikatnya dimaknai dengan tepat, entah pemaknaan ini bergantung pada penggunaan indera atau tidak, apakah penyematan predikat kepada subjek perlu penggunaan indera atau tidak? Diasumsikan bahwa pada pernyataan swabukti primer pemaknaan subjek dan predikat itu saja memadai bagi akal untuk menilai kesatuannya. 


Penilaian yang sama berlaku pada semua pernyataan analitik, karena pada pernyataan demikian konsep dari predikat diperoleh dari analisis akan konsep subjeknya. Tentu saja, analisis konsep adalah hal batiniah yang tak perlu pengalaman inderawi. Dengan demikian penyematan predikat yang didapat dari subjeknya bersifat pasti, seperti “penyematan sesuatu pada dirinya sendiri” (tsubut al-syay li nafsih). 


Penilaian yang sama berlaku pula pada predikasi primer, jelas. 


Demikian pula pernyataan yang didapat dari pencerminan akli akan pengetahuan langsung, tak perlu pengalaman inderawi sama sekali. Dalam hal ini konsep akli pun didapat dari pengetahuan langsung, sementara pengalaman inderawi tak berperan sama sekali. 


Faktanya bentuk akli dalam ragam apapun, entah inderawi, khayali, ataupun akli, dipahami dengan pengetahuan langsung. Maka pembenaran akan wujudnya sebagai aksi dan reaksi jiwa, adalah sejenis pengalaman batin dan tak perlu pengalaman inderawi. Meski, jika tanpa pengalaman inderawi sebagiannya tak akan didapat. Sebut saja misalnya bentuk-bentuk inderawi. Namun demikian, setelah akal memperoleh dan menganalisisnya menjadi konsep wujud dan “apa”, apakah penilaian akan menyatunya konsep-konsep tersebut yang  juga subjek dan predikat satu pernyataan perlu pengalaman inderawi? Jelas bahwa penilaian pertanyaan sederhana yang terkait pengalaman batin tak perlu penggunaan indera, namun ia adalah penilaian swabukti, dan menandai pengetahuan langsung yang benar. 


Adapun untuk pembenaran maujud yang terindera di dunia luar, meski menurut sebagian orang didapat saat terjadinya pengalaman inderawi, dengan perenungan akan jelas bahwa ketetapan nilainya tetap perlu pembuktian akli. Ini sebagaimana dijelaskan oleh para filosof besar Islam seperti Ibn Sina, Mulla Sadra, dan Allamah Tabatabai. Yakni karena bentuk inderawi tidak menjamin kebenaran dan kesesuaian sempurna dengan maujud di dunia luar. 


Karenanya, hanya dalam pernyataan semacam inilah pengalaman inderawi berperan, namun tidak dalam peranan yang menentukan, namun sebagai penyiap dan berperan tak langsung. 


Demikian pula dalam pengalaman inderawi umum, yang dalam logika disebut “pengalaman” atau “hal yang dialami”, selain perlu penilaian akli dalam mengiyakan maujud yang disebutkan, perlu pula pembuktian akli akan generalisasi dan peng-umum-an, seperti disebutkan pada bab 9. 


Pembenaran ulang (rekonfirmasi) pengetahuan dalam setiap pernyataan dan ilmu, karena demikian penting tujuannya dan tidak bolehnya mengalami kontradiksi, perlu kepada “induk pernyataan” yakni pernyataan mustahilnya menghadirkan kontradiksi secara bersamaan. 


Maka, tak ada pembenaran pasti yang bisa didapat hanya dengan pengalaman inderawi, namun ada banyak pernyataan pasti yang sama sekali tak perlu pengalaman inderawi. Dengan demikian miskinnya pemikiran positivis jelas sudah.  (Dari Philosophical Instructions, oleh Ayatullah M. T. Misbah Yazdi)