Minggu, 20 Desember 2020

16. Empirisisme

 *Positivisme*


Sebelumnya secara ringkas kami sebutkan beberapa pahaman beserta silang pendapat yang terkait. Sekarang kami akan paparkan lebih banyak beberapa paham yang ada di barat. 


Setau kami kebanyakan pemikir barat pada dasarnya menyangkal adanya makna umum (universal). Secara alami pula mereka tak mengakui alat untuk memahami mafhum, yakni akal. 


Di masa sekarang positivis tidak hanya senada dengan itu, bahkan melangkah lebih jauh. Mereka beranggapan bahwa pahaman yang benar hanya terbatas pada mafhum inderawi. Mafhum inderawi di sini diperoleh dari kontak dengan fenomena material melalui organ indera, setelah terputus dari kaitan dengan dunia luar bertahan dalam bentuk yang lebih lemah. 


Mereka mengira manusia membangun lambang-lambang ucapan untuk objek-objek mafhum yang serupa. Saat berkata atau berpikir, ia menghadirkan semua kasus sejenis dalam benaknya. Atau, ia mengulang lambang-lambang ucapan yang tersimpan untuk kasus-kasus demikian. Demikianlah, berpikir adalah semacam percakapan dalam benak. Maka dalam pandangan mereka, apa yang disebut oleh filosof sebagai makna umum atau konsep tak lain adalah kata-kata akli yang sama. 


Saat kata mewakili objek inderawi, wujudnya dapat dikenali dengan organ dan dapat ditunjukkan kepada yang lain, itulah yang benar dan dapat diverifikasi. Jika tidak demikian maka kata yang ada sama sekali tak berarti. 


Mereka menerima sebagian saja dari konsep "apa", yakni kata-kata akli yang hakikatnya adalah wujud inderawi, yang bersifat khusus. Mereka tak menerima mafhum sekunder, khususnya konsep-konsep nonfisik, sebatas kata berarti pun tidak. Pada gilirannya mereka memandang bahasan metafisika sebagai tak ilmiah dan sepenuhnya omong kosong. 


Mereka membatasi pengalaman hanya pada pengalaman inderawi, tak peduli pada pengalaman batin yang didapat dengan kehadiran. Paling tidak mereka memandangnya tak ilmiah karena menurut mereka kata "ilmiah" hanya berlaku pada kasus-kasus yang bisa dibuktikan kepada orang lain dengan inderanya. 


Positivis memandang bahasan tentang insting, niat, dan hal-hal psikologis lain yang dipahami melalui batin sebagai tak ilmiah. Hanya perilaku lahiriah saja yang dijadikan objek penelitian psikologi ilmiah. Mereka pun mengosongkan psikologi dari isinya. 


Menurut filsafat ini, yang biasa disebut empirisisme atau empirisisme ekstrim, tak mungkin bahasan dan penelitian tentang metafisika yang ilmiah bisa menghasilkan keyakinan. Mereka pun lalu memandang semua bahasan filsafat sebagai omong kosong dan tak berarti. Mungkin filsafat belum pernah berhadapan dengan musuh lain sekeras kepala ini. Karenanya, mari kita bahas lebih banyak. 


*Kritik atas Positivisme* 


Positivisme, yang sebenarnya lazim ada pada pemikiran manusia di semua era, punya banyak cacat. Berikut akan disebutkan sebagiannya yang penting. 


1. Dengan kecenderungan ini, pondasi paling kokoh pengetahuan, yakni pengetahuan langsung, akan hilang. Demikian pula dengan pernyataan (proposisi) yang murni penalaran. 


Dengan begini penjelasan akli tak bisa lagi dihadirkan demi benarnya pengetahuan. Tidak pula pengetahuan dapat diverifikasi dengan fakta. Positivis mencoba mendefinisi pengetahuan sejati dengan cara lain. Benar dalam hal pengetahuan adalah diterima oleh orang lain, yakni dapat dibuktikan dengan pengalaman inderawi. 


Tentu saja, perubahan dalam istilah tak lantas memecahkan masalah nilai pengetahuan. Sepakat dan setujunya mereka yang tak menyelami masalah ini tidak pula lalu menjadikannya bernilai dan benar. 


2. Positivis bersandar pada mafhum inderawi, pondasi pengetahuan yang paling goyah dan dapat diragukan. Pengetahuan inderawi sangat mudah salah dibanding pengetahuan lain. Sementara pengetahuan inderawi pada hakikatnya terjadi di dalam diri, mereka telah menutup jalan bagi bukti penalaran dunia luar. Mereka tak mungkin kemudian menjawab keraguan kaum idealis. 


3. Cacat yang kami sebutkan terkait nominalis berlaku pula pada positivis. 


4. Menyatakan konsep-konsep metafisika sebagai tak berarti sangatlah aneh dan pastinya tidak tepat. Jika kata-kata yang merujuk kepada konsep-konsep tersebut secara umum kosong dari makna maka sama saja dengan omong kosong, penyangkalan atau penerimaannya akan setara. Misal, api adalah sebab panas tak akan pernah setara dengan kebalikannya. Bahkan jika seseorang menyangkal sebab akibat, pada hakikatnya ia menyangkal pernyataan yang konsepnya ia pahami. 


5. Menurut positivis tak mungkin kaidah ilmiah berlaku umum, selalu, dan pasti, karena ciri seperti ini mustahil dibenarkan oleh indera. Kaidah mereka terima hanya jika kaidah tersebut diperoleh dengan pengalaman inderawi (sementara mereka tak peduli dengan masalah yang muncul karena ketak-mampuan indera pada kesemua kasus). Yakni, kapanpun pengalaman inderawi tak bisa didapat, kita mesti diam, jangan menyangkal atau membenarkan. 


6. Kebuntuan paling mencolok yang dihadapi positivis adalah bahasan matematis, yang dijelaskan dan dipecahkan dengan konsep-konsep penalaran. Konsep yang mereka anggap tak berarti  dan aib. Sementara tak seorang bijak pun berani menyatakan pernyataan matematika sebagai tak berarti atau tak ilmiah. 


Makanya, sekelompok positivis terkini tak punya pilihan selain menerima sejenis pengetahuan akli sebagai konsep-konsep logis, dan berupaya menyertakan konsep-konsep matematis. Satu contoh konsep-konsep logis membingungkan di antara konsep-konsep lain. 


Cukuplah menunjukkan keluputan mereka dengan menilik bahwa konsep-konsep matematis berlaku di dunia luar, misalnya dalam istilah-istilah teknis, pensifatannya ada di dunia luar. Sementara ciri konsep-konsep logis adalah bahwa mereka tidak berlaku kecuali hanya pada konsep-konsep dalam akal. 


*Mafhum Inderawi atau Mafhum Akli* 


Di antara para filosof barat ada penganut empirisisme selain positivisme, yang lebih lunak dan kurang bermasalah. Kebanyakannya menerima mafhum akli, namun tetap percaya bahwa mafhum inderawi adalah lebih utama. Ada pula lawan mereka yang percaya bahwa mafhum akli lebih utama. 


Bahasan dengan tema besar "lebih utama mafhum inderawi atau akli" terbagi dua. 


Kelompok pertama terkait penilaian terhadap pengetahuan inderawi dan akli, serta memilih yang lebih utama di antaranya. Ini dibahas dalam nilai pengetahuan. 


Kelompok lainnya berkenaan dengan saling lepas atau saling terkaitnya mafhum satu dengan mafhum lain. Apakah mafhum inderawi dan mafhum akli terpisah dan saling lepas? Atau mafhum akli dalam kerangka besarnya terkait dengan mafhum inderawi? 


Kelompok kedua ini bisa dibagi ke dua bagian lagi. Pertama terkait bahasan gambaran, kedua terkait bahasan pembenarannya. 


Sub tema pertama yang kita bahas adalah keutamaan gambaran inderawi atau gambaran akli. 


Setelah memahami konsep dalam bentuk makna umum, dan memahami kemampuan khas akal berupa penalaran, pertanyaan berikut muncul dengan sendirinya. Apakah fungsi akal hanya mengubah bentuk dan mengabstraksi dan membentuk gambaran umum mafhum inderawi? Atau ia punya mafhum mandiri sedemikian sehingga mafhum inderawi paling jauhnya adalah sebagai pernyataan yang dinilai (premis) dengan mafhum akli? 


Mereka yang meyakini keutamaan mafhum inderawi memandang bahwa akal tak punya fungsi selain abstraksi, membentuk gambaran umum, serta mengubah bentuk mafhum inderawi. Yakni, tak ada mafhum akli yang tak mengikuti mafhum inderawi. 


Berseberangan dengan itu, kaum rasionalis barat percaya bahwa akal punya mafhum mandiri yang secara alami dihasilkan dari wujudnya, yang bersifat fitrah. Akal tak perlu mafhum apapun sebelumnya untuk beroleh mafhum akli ini. 


Alhasil, pandangan yang tepat adalah bahwa mafhum atau gambaran akli yang bermakna umum selalu diawali mafhum-mafhum lain yang bermakna khusus dan tertentu. Kadang berupa pengetahuan langsung, yang pada dasarnya bukanlah gambaran. Bagaimanapun, akal tak berfungsi mengubah bentuk mafhum inderawi. 


Sub tema kedua adalah tentang keutamaan mafhum inderawi atau mafhum akli dalam pembenarannya. Ini mesti dipandang sebagai bahasan mandiri, tidak sebagai cabang bahasan sebelumnya. Ia memunculkan tanya, apakah pembenaran adalah mafhum inderawi lanjutan setelah beroleh konsep akli sederhana, atau pembenaran adalah mafhum inderawi mandiri. Apakah pembenaran akan kesatuan antara subjek dan predikat dalam pernyataan predikatif selalu bergantung pada pengalaman inderawi? Apakah penilaian berupa kesesuaian atau perlawanan antara pernyataan sebab (anteseden) dan pernyataan akibat (konsekuen) dalam pernyataan bersyarat selalu bergantung pula pada pengalaman inderawi? Dapatkah akal melakukan penilaian mandiri setelah beroleh konsep khayali yang cukup, atau ia perlu bantuan dari pengalaman inderawi? 


Maka tak benar bahwa mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi akan punya pandangan sama tentang pembenarannya. Sangat mungkin mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi di satu sisi, percaya dengan utamanya mafhum akli di sisi lain. 


Mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi dalam pembenaran biasa disebut empirisis. Mereka percaya bahwa akal tak bisa menilai tanpa bantuan pengalaman inderawi. 


Mereka yang percaya dengan utamanya mafhum akli dalam hal pembenaran, percaya bahwa akal punya mafhum penilaian mandiri yang terlepas dari pengalaman inderawi. 


Rasionalis barat biasanya menganggap mafhum ini sebagai fitrah akal. Mereka percaya bahwa akal dicipta sedemikian sehingga ia paham pernyataan-pernyataan seperti itu secara otomatis. 


Namun, pandangan yang tepat adalah bahwa pembenaran akli adalah mandiri, entah terpicu dari pengetahuan langsung atau dari analisis konsep-konsep akli serta pembandingan interrelasinya. Hanya dengan meluaskan cakupan istilah "pengalaman" hingga mencakup pengetahuan langsung, penyaksian batin, dan pengalaman psikologis saja mereka dapat menerima semua pembenaran akli sebagai sebuah pengalaman. Bagaimanapun, pembenaran akli tak selalu butuh pengalaman inderawi atau pemakaian indera. 


Hasilnya, pendapat kaum empirisis maupun pendapat kaum rasionalis tentang gambaran atau pembenaran, tidak sepenuhnya tepat. Pandangan yang tepat dalam masing-masing kasus adalah bahwa mafhum-mafhum inderawi tertentu adalah utama bagi akal. Dalam hal gambaran, konsep akli bukanlah perubahan bentuk gambaran inderawi. Dalam hal pembenaran, akal tak perlu pengalaman inderawi untuk penilaiannya. 


(Dari Philosophical Instructions, oleh M.T Misbah Yazdi)


Jumat, 04 Desember 2020

15. Konsep Umum

 *Macam Konsep* 


Konsep-konsep (makna) umum yang dipakai dalam ilmu akli (ilmu penalaran) ada 3 macam.


1. Konsep "apa", atau mafhum pertama, seperti konsep manusia dan konsep putih; 


2. Konsep filsafat, seperti konsep sebab dan konsep akibat; 


3. Konsep logika, seperti konsep konversi dan konsep kontraposisi. 


Perlu dicamkan bahwa ada jenis-jenis konsep umum lain yang dipakai dalam akhlak dan hukum, akan dirujuk kemudian. 


Pengelompokan yang dilakukan oleh filosof Islam tersebut punya banyak penggunaan, akan banyak disinggung kemudian. Kekurang tepatan dalam pengenalan dan pembedaan satu dengan lainnya bisa menimbulkan bingung dan kesulitan dalam bahasan filsafat. Kebanyakan filosof barat terdahulu kebingungan tentang posisi konsep-konsep tersebut. Silahkan cermati, misalnya, kata-kata Hegel dan Kant. Karenanya konsep-konsep tersebut kita bahas lebih jauh. 


Konsep umum adalah predikat bagi wujud eksternal, atau predikat bagi wujud mental. 


Predikat bagi wujud eksternal dalam istilah teknis dikatakan memiliki pensifatan eksternal. Misalnya konsep manusia yang dipredikatkan kepada Hasan, Husain, dst. Dikatakan "Hasan adalah manusia." 


Predikat bagi wujud dan bentuk akli, secara teknis dikatakan memiliki pensifatan akli. Contohnya adalah konsep umum dan konsep khusus dalam istilah logika. Yang pertama adalah atribut bagi konsep manusia. Sementara yang kedua adalah atribut bagi konsep Hasan. Kadang predikasi semacam ini disebut konsep logika, atau mafhum logika sekunder. 


Konsep yang dipredikatkan ke wujud eksternal dibagi ke dua kelompok. Pertama adalah konsep yang secara otomatis didapat dari kasus-kasus khusus. Saat persepsi muncul dari indera atau intuisi, seketika akal beroleh konsep umum. Seperti konsep "putih" yang seketika muncul setelah melihat benda putih. Atau konsep "takut" yang muncul seketika setelah mengalaminya. Konsep demikian disebut konsep "apa" atau mafhum pertama.  


Ada kelompok konsep lain yang pemisahannya perlu upaya akli dan pembandingan hal. Seperti konsep sebab dan konsep akibat. Keduanya dipisahkan dengan memperhatikan kaitannya, setelah membandingkan dua hal sedemikian bahwa satu wujud bergantung pada yang lain. Contohnya saat kita membandingkan api dengan panasnya, kita sadari  bergantungnya panas pada api. Akal mendapati konsep sebab dari api dan konsep akibat dari panas. Jika tak ada perhatian dan pembandingan, konsep semacam ini tak akan didapat. Andai api dilihat ribuan kali, pun panas dirasakan ribuan kali, namun tak ada pembandingan antara keduanya selain kesan lahiriahnya, maka konsep sebab dan konsep akibat tak akan didapat dari keduanya. Konsep semacam ini disebut konsep filsafat atau mafhum sekunder filsafat. 


Dalam istilah teknis dikatakan:


Terjadi (arud) dan penyematan (ittisal) mafhum pertama bersifat eksternal. 


Terjadinya mafhum filsafat sekunder bersifat akli tapi penyematannya bersifat eksternal. 


Terjadi dan penyematan mafhum logika sekunder bersifat akli. 


Definisi dan penerapan ungkapan "kejadian akli" dan "kejadian eksternal" pun penunjukan "konsep filsafat" dan "mafhum sekunder" masih diperdebatkan. Kami memandangnya hanya sebagai istilah teknis dan menilainya sebagaimana disebutkan. 


*Ciri Masing-masing Konsep* 


1. Konsep logika hanya berlaku pada konsep dan wujud akli, maka hanya dapat dikenali dengan perhatian yang cukup. 


2. Konsep "apa" menggambarkan keapaan benda dan menentukan batas-batas wujudnya. Seperti rangka kosong wujud, kadang ia disebut rangka konseptual. Ia dipakai oleh banyak ilmu kealaman. 


3. Konsep filsafat tak diperoleh kecuali melalui pembandingan dan analisis. Saat diterapkan pada wujud eksternal ia menggambarkan jenis wujud (bukan batas-batas keapaannya). Konsep sebab misalnya, dikaitkan dengan api tapi tidak dalam hal zatnya. Ia menggambarkan api dalam kaitannya sebagai punya dampak, gambaran yang juga ada pada hal-hal lain. Ciri konsep filsafat yang demikian kadang kemudian ia ditafsirkan tak punya rujukan nyata. Meski dapat diperdebatkan dan perlu penjelasan lanjut, konsep filsafat kadang dikatakan bersifat akli semata. 


4. Konsep filsafat tak punya konsep atau mafhum khusus. Kita tak mendapati dalam akal bentuk khusus dari sebab, akibat, atau konsep filsafat yang lain. 


Sementara untuk setiap konsep umum yang terkait indera, khayalan, atau rasa, beda yang ada adalah pada keumuman dan kekhususannya. Maka itu semua adalah konsep "apa", bukan konsep filsafat. 


Perlu dicatat bahwa kebalikan dari sifat-sifat ini tak kemudian berlaku umum bagi konsep "apa". Yakni, bagi setiap konsep "apa" tidak lantas ada bentuk inderawi, khayali, atau rasa. Misal, konsep "jiwa" adalah konsep jenis dan konsep "apa", namun ia tak punya bentuk akli khusus. Yang wujudnya hanya dapat disadari dengan pengetahuan langsung. 


*Konsep Relatif* 


Istilah relatif (iitibari) yang dibahas dalam filsafat seringnya ambigu, punya banyak makna. Perlu kejelian dalam memilah makna-makna tersebut agar tak bingung dan salah kaprah. 


Ada yang berpendapat semua mafhum sekunder, logika maupun filsafat, adalah relatif, termasuk konsep wujud sendiri adalah relatif. Istilah ini banyak digunakan oleh Shaikh al-Ishraq dalam buku-bukunya. 


Pendapat lain menyatakan istilah relatif berlaku pada konsep hukum dan akhlak. Para pakar mutakhir menyebutnya konsep nilai. 


Pendapat ketiga menyatakan konsep relatif adalah yang dibangun hanya dengan khayalan, tanpa wujud eksternal maupun akli. Seperti konsep pegasus. Konsep demikian disebut juga fantasi. 


Konsep relatif dimaknai pula sebagai berlawanan dengan konsep mendasar (asalat). Ini dipakai dalam bahasan tentang kemendasaran wujud (asalat wujud) atau kemendasaran apa (asalat mahuwiyat). Ini akan dibahas pada tempat yang tepat. 


Berikut akan dijelaskan konsep relatif dengan makna "nilai" secukupnya saja. Adapun bahasan yang lebih rinci tentang topik ini bisa disimak dalam filsafat akhlak atau filsafat hukum. 


*Konsep dalam Ilmu Akhlak dan Ilmu Hukum* 


Setiap tema akhlak atau hukum dimaksud mengandung konsep seperti mesti dan mesti tidak (harus dan tidak boleh), perlu dan terlarang, dan seterusnya, yang bisa menjadi predikat pernyataan. Demikian pula konsep seperti adil dan zalim, amanah dan khianat, bisa menjadi subjek pernyataan. 


Memandang konsep demikian kita dapati mereka bukanlah konsep apa melainkan konsep relatif, karena mereka tak punya wujud eksternal. Misal konsep pencuri, yang menjadi atribut, bukan karena ia adalah sifat bawaan, tapi karena seorang mengambil harta orang lain. 


Konsep harta misalnya, kita dapati meski berlaku pada emas dan perak, bukanlah karena mereka logam atau barang tertentu. Itu adalah karena mereka diinginkan dan bisa jadi alat memenuhi kebutuhan. 


Dari cara pandang lain, penguasaan harta oleh seseorang adalah gambaran bagi konsep lain yakni "kepemilikan" yang juga tak punya wujud luar. Ia adalah penanda seseorang dengan atribut "pemilik" dan penanda emas dengan atribut "milik". Ia tak mengubah hakikat orang pun emas tersebut. 


Jadi, ungkapan demikian punya ciri khusus yang bisa dibahas dari berbagai cara pandang. 


Satu dari cara pandang yang ada adalah kebahasaan dan tekstual. Yakni untuk makna seperti apa ia pada awalnya berlaku? Bagaimana pula maknanya berubah hingga sampai ke yang sekarang? Apakah penggunaan makna ini tekstual atau metaforik? 


Demikian pula siapapun bisa membahas istilah-istilah yang bersifat arahan dan paparan. Apa pula maksud sebuah arahan. Apakah istilah akhlak dan hukum yang ada bersifat arahan atau paparan. 


Bahasan demikian terkait cabang kebahasaan dan keilmiahan. Para pakar usul fikih telah banyak meneliti dan menyelidiki hal-hal ini. 


Cara pandang lain konsep demikian adalah tentang bagaimana ia diperoleh. Bagaimana pula mekanisme berpindahnya perhatian dari konsep ke konsep. Yang ini mesti diulik dalam psikologi. 


Cara pandang lain konsep demikian adalah tentang bagaimana ia terkait dengan wujud objektifnya. Apakah konsep itu juga didapat oleh akal tanpa kaitan dengan wujud luar. 


Misalnya apakah konsep mesti dan mesti tidak, pun konsep nilai lainnya sepenuhnya lepas dari konsep-konsep lain yang dibangun oleh kemampuan akli yang khas. Apakah mereka semacam gambaran kesukaan dan kecenderungan masyarakat. Apakah konsep demikian terkait wujud objektif, atau diabstraksi darinya. 


Apakah pernyataan akhlak dan pernyataan hukum bersifat paparan? Apakah mereka bernilai absolut? Bisa benar atau salah? Ataukah mereka bersifat arahan sehingga tak bisa dikatakan benar atau salah? 


Dalam hal kebenaran mutlak dibayangkan dari mereka, apakah batasan benar dan salahnya. Dengan patokan seperti apa benar dan salah dikenali? Bagian ini terkait epistemologi, mestilah dibahas. 


Berikut kami sampaikan sedikit paparan tentang konsep sederhana akhlak dan hukum. Di bagian akhir bahasan epistemologi kami akan kupas penilaian terhadap pernyataan nilai. Akan diisyaratkan pula beda antara pernyataan akhlak dan pernyataan hukum. 


*Mesti dan Mesti Tidak* 


Ungkapan mesti dan mesti tidak digunakan dalam hal perintah dan larangan. Dalam beberapa bahasa ia diungkapkan dengan satu imbuhan (dalam bahasa Arab misalnya, huruf lam menandai perintah dan kata la menandai larangan). 


Dalam tiap bahasa yang kami kenali, kita dapat mengganti bentuk perintah dan larangan. "Anda mesti mengatakan itu" menggantikan "Katakan itu!". "Anda mestinya tidak mengatakannya" menggantikan "Jangan mengatakannya!". Namun kadang mereka dalam pola konsep lepas bermakna perintah dan larangan, seolah pernyataan paparan. "Wajib bagi anda mengatakan itu" alih-alih ungkapan arahan "Katakan itu!" 


Teknik retorik demikian ada pada banyak bahasa, namun tak bisa dipandang sebagai kunci soalan-soalan filosofis. Siapapun tak bisa begitu saja memperlakukan ungkapan hukum sebagaimana arahan, meski dalam beberapa kasus pernyataan arahan dapat menggunakan kalimat paparan. 


Ungkapan "mesti" yang dipakai dalam pernyataan kadang tidak mungkin menyatakan nilai. Ia kadang dinyatakan sebagai imbuhan atau kata. Semakna dengan ungkap "wajib" atau "perlu" misalnya. Ini didapat misalnya saat guru di laboratorium bilang kepada satu muridnya "Anda mesti mencampurkan sodium dengan klorin untuk membuat garam." Didapat pula misalnya saat dokter bilang kepada satu pasiennya "Anda mesti meminum obat ini hingga kondisi anda membaik." 


Jelas bahwa tujuan dari ungkapan demikian adalah menunjukkan hubungan antara mencampur bahan-bahan kimia dengan hasil reaksinya. Menunjukkan pula hubungan antara minum obat dengan kesembuhannya. Mereka tak lain kecuali mengungkapkan hubungan antara sebab dan akibatnya. 


Dalam istilah filsafat "mesti" di sini menyatakan syarat deduktif antara pendahuluan dan akhirannya, antara sebab dan akibatnya. Jika kejadian tertentu (sebab) tak terjadi maka hasilnya (akibat) tak akan ada. 


Saat ungkapan demikian dipakai dalam kerangka hukum dan akhlak, mereka beroleh sisi "nilai". Berbagai pandangan dihadirkan tentang ini, di antaranya: tujuan istilah demikian adalah untuk menyatakan kecenderungan dan keberatan secara pribadi atau bersama. Jika diungkapkan dalam bentuk kalimat paparan maka artinya tak lain adalah kecenderungan. 


Lebih tepatnya begini, ungkapan demikian tidak secara langsung menunjuk objek kecenderungannya tapi lebih kepada menunjuk nilainya, sementara objek kecenderungan tersebut telah mafhum dengan penandaan yang ada. Tujuan utamanya adalah menegaskan hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan sasaran akhlak dan hukumnya. 


Contohnya saat jaksa bilang "Penjahat ini mesti dihukum." Meski sasaran tindakannya tak dinyatakan, sebenarnya ia ingin menghadirkan kaitan antara hukuman dengan sasaran hukum, yakni keamanan di masyarakat. 


Demikian pula saat seorang penasihat akhlak bilang "Hutang mestilah dibayarkan kepada pemberi hutang." Ia ingin menggambarkan kaitan antara tindakan dan sasaran moralnya, semisal kesempurnaan insani atau kebahagiaan abadi. 


Senada dengan itu jika seorang jaksa ditanya "Mengapa penjahat mesti dihukum?" ia akan bilang "Jika para penjahat tidak dihukum kekacauan dan anarki akan terjadi di masyarakat." Seorang penasihat akhlak pun jika ditanya "Mengapa hutang mesti dikembalikan kepada pemberi hutangnya?" jawab yang sesuai patokan filsafat akhlak akan diberikan. 


Dengan demikian konsep "mesti" juga "kewajiban" akhlak dan hukum adalah juga mafhum filsafat sekunder. Jika ada kemungkinan makna lain, atau jika ada kemungkinan penggunaan lain, maka itu adalah semacam variasi ungkapan. 


*Subjek Pernyataan Hukum dan Akhlak* 


Ada kelompok konsep lain yang biasa dipakai dalam pernyataan hukum dan akhlak sebagai subjek, seperti keadilan, kezaliman, kepemilikan, dan pernikahan. Mereka kadang dibahas dari cara pandang asal kata dan perkembangannya, secara harfiah maupun metaforik, yang tentu saja kental dengan studi literatif dan kebahasaan. 


Pendeknya bisa dikatakan bahwa kebanyakan darinya dipinjam dari konsep "apa" dan konsep filsafat dan dipakai dengan makna umumnya. Selain itu, disesuaikan dengan kebutuhan praktis manusia dalam konteks pribadi dan masyarakat. 


Contohnya: untuk mengendalikan kecenderungan (nafsu) dan membatasi perilaku secara umum, batas-batas pelanggaran dinamai kezaliman dan tirani. Lawannya dinamai keadilan dan kepantasan, di sini terkait perlunya menandai penguasaan seseorang atas harta yang diperoleh dengan cara-cara tertentu. Adapun jenis penguasaan atas harta, yang disepakati bersama, adalah kepemilikan. 


Layak dipertanyakan dari cara pandang epistemologi, apakah konsep demikian hanya bersandar pada kecenderungan seorang atau sekelompok orang. Apakah mereka tak punya kaitan dengan hakikat objektif yang bebas dari kecenderungan seorang atau sekelompok orang? 


Yakni, apakah konsep demikian dipengaruhi oleh analisis akli? Atau seseorang bisa mencari sandaran bagi konsep-konsep itu di hakikat eksternal, sehingga bisa dianalisis dan dijelaskan sebagai sebab akibat? 


Dalam konteks ini pendapat yang tepat begini. Konsep demikian, meski berupa kesepakatan dan pada beberapa kasus bisa ditafsirkan masing-masing, secara umum bukannya tak terkait wujud luar dan bukan di luar jangkauan hukum sebab akibat. Kesahihannya bersandar pada kebutuhan manusia, yang mafhum, dalam meraih kebahagiaan dan kesempurnaan insani. 


Pengenalan ini, seperti banyak kasus lainnya, kadang benar dan sesuai fakta, kadang salah dan menyalahi kenyataan. Sangat mungkin seseorang memberlakukan aturan demi kepentingan pribadinya, bahkan memaksakannya di tengah masyarakat dengan kuasa. Bagaimanapun, tak bisa dikatakan bahwa aturan itu ngawur dan tanpa patokan. Dengan alasan yang sama maka ia kemudian bisa dikritisi, sebagian kesepakatan bisa diiyakan sementara sebagian lainnya ditidakkan. Bagi masing-masingnya alasan dan argumen bisa diberikan. 


Jika sebuah aturan hanyalah ungkapan kecenderungan pribadi, seperti selera dalam warna favorit atau cara berpakaian misalnya, maka ia tak layak dipuji tak pula disalahkan. Persetujuan dan penolakan tak akan punya makna selain kesamaan dan perbedaan dalam selera. 


Alhasil, nilai konsep demikian, meski bergantung pula pada kesepakatan dan persetujuan, dipandang sebagai lambang relasi hakiki yang objektif antara perbuatan manusia dengan hasilnya. Malah, konsep kesepakatan dan persetujuan ini sebenarnya disandarkan pada relasi nyata dan kebahagiaan sejati. 


(Dari Philosophical Instructions, oleh M.T Misbah Yazdi)


Kamis, 12 November 2020

14. Pengetahuan Tak Langsung

 Telah kita pahami pengetahuan langsung adalah mendapati fakta tanpa perantara, dan karenanya tak ada celah bagi ragu atau tanya tentang validnya. Namun kita sadar bahwa cakupan pengetahuan langsung terbatas dan secara mandiri tak bisa menyajikan solusi bagi sekian banyak soalan epistemologi. 


Jika tak ada cara memastikan fakta-fakta melalui pengetahuan tak langsung, secara logis kita tak akan bisa membenarkan teori  keilmuan apapun. Bahkan, prinsip-prinsip dasar swabukti bisa kehilangan kepastian dan keniscayaannya, dengan hanya menyisakan label swabukti dan niscaya. Karenanya, kita perlu terus berupaya mengevaluasi pengetahuan tak langsung dan beroleh kriteria-kriteria validnya. Untuk itu berikut kita akan mengulas berbagai macam pengetahuan tak langsung. 


*Gambaran dan Pembenaran*


Logikawan membagi pengetahuan menjadi dua: gambaran (tasawwur) dan pembenaran (tasdiq). Mereka bahkan mendefinisi konsep pengetahuan sebagai pengetahuan tak langsung. Memperluas batasnya hingga mencakup pula gambaran sederhana. 


Makna harfiah tasawwur adalah "membentuk gambaran" dan "beroleh bentuk". Adapun bagi logikawan artinya penampakan akli sederhana yang bersifat menyingkap sesuatu di luar dirinya. Semisal gambaran akli Gunung Damavand dan konsep gunung. 


Makna harfiah tasdiq adalah "menganggap valid" dan "mengiyakan". Sementara bagi logikawan dan filosof maksudnya serupa, dan tampaknya multitafsir: 


a. Pernyataan logika yang secara garis besar mencakup subjek, predikat, dan penilaian berupa penyatuan [pernyataan positif, contoh: Saya ada.]; 


b. Penilaian an sich yakni hal sederhana dan menunjukkan keyakinan orang akan menyatunya subjek dan predikat. 


Sebagian logikawan barat modern menggambarkan "pembenaran" ini sebagai berpindahnya akal dari satu gambaran ke gambaran lain bersandar pada pola keterkaitan gambaran. Namun pahaman ini keliru, karena pembenaran tak selalu ada pada keterkaitan gambaran. Tidak pula keterkaitan gambaran harus ada pada setiap pembenaran. Tepatnya, pembenaran adalah penilaian, dan inilah beda sebenarnya antara proposisi dari sekian gambaran yang saling berjajar tersemat di akal tanpa kaitan satu sama lain. 


*Unsur-unsur Pernyataan*


Kita tau "pembenaran" sebagai bentuk penilaian adalah hal sederhana, namun sebagai bentuk pernyataan ia tersusun atas beberapa unsur. Ada beda pendapat tentang unsur-unsur penyusun pernyataan logika. 


Karena menilik satu-satu sekian pendapat tersebut akan menjadikan bahasan kita panjang lebar, di sini kita akan melihat sekilas saja. Sebagian orang bilang bahwa pernyataan predikatif terdiri atas dua unsur: subjek dan predikat. Sebagian lain menambahkan kaitan antara kedua unsur tadi sebagai unsur ketiga. Yang lain lagi menambahkan penilaian akan ada tidaknya kaitan sebagai unsur keempat. 


Sebagian membedakan pernyataan positif dan negatif dan bilang bahwa pada pernyataan negatif tidak ada penilaian, lebih tepatnya mereka katakan sebagai negasi penilaian. Yang lain menyangkal adanya kaitan pada "pernyataan keberadaan" (halliyyah basitah). Pernyataan keberadaan adalah pernyataan logika yang menyatakan subjek sebagai ada, di dunia luar. 


Tidak pula dibilang ada kaitan pada predikasi primer, yakni pernyataan yang subjeknya semakna dengan predikat. Seperti "manusia adalah hewan berakal." 


Bagaimanapun, tak satupun pernyataan logika tanpa kaitan atau penilaian. Sebagaimana kami katakan, pembenaran adalah penilaian, sementara penilaian adalah mengenai kedua unsur pernyataan. Dan, kadang kita mesti membedakan pernyataan bersudut filosofis dari pernyataan bersudut ontologis. 


*Pembagian Gambaran Akli*


Gambaran akli kadang dibedakan menjadi dua: umum [universal] dan khusus [partikular]. "Gambaran umum" adalah konsep yang dapat mewakili banyak hal atau banyak orang. Misal konsep "manusia" yang dapat diterapkan pada sekian juta sosok. "Gambaran khusus" adalah bentuk akli yang hanya mewakili satu wujud. Misal bentuk akli Sokrates. 


Masing-masing gambaran akli, baik umum maupun khusus, lebih jauh dapat dibagi sebagai berikut. 


Gambaran inderawi: fenomena sederhana dalam jiwa yang dihasilkan dari efek-efek relasi antara indera dengan realitas material. Misal gambar pemandangan yang dilihat dengan mata, atau suara yang didengar dengan telinga. Keberlangsungan gambaran ini bergantung pada hubungan langsung dengan dunia luar, setelah kontak dengan dunia eksternal terputus ia segera menghilang (sekitar sepersepuluh detik). 


Gambaran imajiner: fenomena khas sederhana dalam jiwa yang dihasilkan dari gambaran inderawi, dan dari kaitan dengan dunia luar. Namun keberlangsungannya tak bergantung pada kaitan langsung dengan dunia luar. Misal gambaran mental dari pemandangan sebuah taman yang tetap ada dalam benak meski setelah mata tertutup, dan dapat diingat kembali bahkan setelah bertahun kemudian. 


Gambaran perasaan: banyak filosof menyebutkan gambaran akli tertentu yang terkait dengan makna-makna khas. Ia dicontohkan dengan perasaan benci sebagian hewan terhadap sebagian hewan lain, yang memicu mereka untuk pergi menjauh. Sebagian filosof memperluas istilah ini hingga mencakup sebagian besar makna khusus, termasuk perasaan suka dan benci pada manusia. 


Tentu, konsep umum perasaan suka dan benci adalah gambaran akli yang umum (universal). Itu semua tak bisa dihitung sebagai jenis gambaran khusus (partikular). 


Kesadaran akan perasaan suka dan benci tertentu dalam diri si subjek. Perasaan suka atau benci yang ia rasakan terhadap dirinya atau selainnya, adalah benar-benar sejenis pengetahuan langsung tentang kualitas jiwa. Maka, kita tak dapat memandangnya sebagai pengetahuan tak langsung. 


Perasaan kita terkait kebencian orang lain, tak seperti itu, bukanlah perasaan tanpa perantara. Ia adalah pembandingan keadaan yang ia dapati dalam dirinya lalu dialamatkan kepada orang lain dalam kondisi serupa. Adapun penilaian tentang kesadaran hewan-hewan, tampaknya perlu pembahasan berbeda yang tak mungkin kita sertakan di sini. 


Yang dapat dipandang sebagai gambaran khusus adalah gambaran akli yang dihasilkan dari kondisi-kondisi jiwa, yang mungkin diingat kembali. Sebagaimana gambaran imajiner terkait gambaran inderawi, semisal mengingat rasa takut spesifik yang hadir di saat tertentu. Atau, perasaan suka spesifik yang ada di momen tertentu. Kadang gambaran perasaan ini dinyatakan tidak terkait dengan realitas manapun dan disebut "fantasi". 


*Gambaran Umum Akli (Universal)*


Telah kita lihat bahwa gambaran akli dapat dibagi ke dua bagian, umum (universal) dan khusus (partikular). Gambaran akli yang telah kita bahas sejauh ini adalah gambaran khusus. Gambaran umum, yakni "konsep-konsep akli" atau "mafhum" adalah pusat perdebatan filosofis yang penting, pun sejak dulu menjadi topik diskusi. 


Dari zaman kuno ada pandangan bahwa pada dasarnya tak ada konsep yang berlaku umum. Istilah-istilah yang digunakan untuk menunjuk konsep umum hakikatnya adalah semacam istilah ambigu yang menunjuk banyak hal. Misal, istilah "orang" yang digunakan untuk menunjuk banyak sosok adalah seperti nama diri yang digunakan oleh beberapa keluarga untuk menamai anak-anaknya, atau seperti sebuah nama keluarga yang berlaku pada semua anggotanya. 


Para pendukung teori ini dikenal sebagai "nominalis". Pada akhir abad pertengahan William dari Ockham condong pada teori ini, kemudian diiyakan oleh Berkeley. Di zaman modern, positivis dan beberapa aliran lain dipastikan berpegang pada posisi serupa. 


Teori lain yang serupa dengan itu adalah bahwa gambaran umum adalah gambaran khusus yang mengambang, yakni beberapa bagian yang khusus dan spesifik dapat diabaikan sehingga bisa sesuai dengan hal atau sosok lain. Misal, gambaran kita tentang sosok tertentu dapat diterapkan kepada saudaranya dengan menghapus beberapa bagian. Dengan menghapus lebih banyak bagian lain ia bahkan dapat diterapkan pada lebih banyak orang. Demikian seterusnya gambaran akli jadi lebih umum dan berlaku pada jauh lebih banyak orang hingga akhirnya bahkan dapat diterapkan pada hewan-hewan, atau bahkan tanam-tanaman dan bebatuan.  Seperti bayangan yang nampak dari kejauhan, karena samar ia dapat sesuai dengan gambaran batu, pohon, hewan, atau orang. Inilah sebabnya pada kilasan pertama kita ragu apakah itu orang atau yang lain. Semakin mendekat dan semakin jelas kita lihat, semakin terbatas cakupan dan kemungkinannya. Hingga akhirnya, kita mendapati sosok atau hal yang tertentu. 


Hume meyakini semacam itu tentang gambaran umum, dan banyak lagi yang berpandangan demikian tentang gambaran umum (universal). 


Di sisi lain ada filosof kuno, seperti Plato. Mereka berkeras akan keberadaan konsep umum, dan bahkan memandangnya memiliki semacam wujud mandiri di luar lingkup ruang-waktu. Gambaran umum (universal) adalah semacam pengamatan terhadap wujud nonmateri dan model akli (gambaran akli Platonis). 


Teori ini telah ditafsirkan dalam berbagai cara dan banyak teori lain bersumber darinya. Yakni, sebagian berpandangan bahwa jiwa manusia sebelum beroleh tubuh telah melihat hakikat akli di alam immateri. Setelah beroleh tubuh ia lupa.  Dengan melihat sosok-sosok material, jiwa diingatkan lagi kepada hakikat-hakikat immateri. Pahaman akan gambaran umum (universal) adalah pengingatan ini. Adapun mereka yang tak mengakui wujud jiwa sebelum melekat pada tubuh, memahami pahaman inderawi sebagai alat bagi diri mempersiapkan pengamatan wujud immateri. 


Pengamatan yang didapat dengan kemampuan ini adalah pengamatan dari kejauhan. Pahaman akan gambaran umum adalah pengamatan serupa akan wujud-wujud nonmateri dari kejauhan. Ia berbeda dari penyingkapan mistis, yang didapat dengan persiapan tertentu, teramati dari dekat. 


Sebagian filosof Islam, seperti Mulla Sadra dan Allamah Tabatabai mengiyakan tafsiran ini. 


Teori paling mafhum akan gambaran umum adalah bahwa itu adalah konsep akli khas yang disadari dengan label keumuman dalam tingkatan (martabah) benak tertentu. Bahkan benak sendiri ada yang mendefinisi sebagai alat memahami gambaran umum. Teori ini dialamatkan kepada Aristoteles dan diiyakan oleh hampir semua filosof Islam. 


Teori yang pertama dan kedua berdampak pada penyangkalan pahaman akli. Itu merupakan titik tumpu penolakan metafisika dan peremehan diskusi literatif serta analisis kebahasaan. Karenanya penggalian lebih dalam tentang hal ini penting, untuk beroleh pondasi yang kokoh bagi diskusi kita kemudian. 


*Tentang Gambaran Umum*


Nominalis berpandangan bahwa gambaran umum melibatkan semacam ekuivokasi atau semacamnya sehingga bisa mengacu kepada banyak hal. Karenanya, untuk menjawab mereka dengan pasti perlu kiranya  penjelasan tentang ambiguitas (mustarak lafzi) dan makna umum (mustarak maanawi). 


Ambiguitas (mustarak lafzi) adalah ungkapan tertentu yang digunakan untuk beberapa objek berbeda. Ia terjadi saat satu kata memberikan beberapa penunjukan atau digunakan untuk merujuk makna-makna berbeda melalui banyak kesepakatan. Seperti kata "spring" yang digunakan untuk pegas, musim, mata air, dan lompatan. 


Adapun makna umum (mustarak maanawi), ia terjadi saat satu ungkapan oleh satu kesepakatan merujuk kepada sisi umum beberapa kasus. Dengan satu makna ia menunjukkan kesemuanya. Beberapa perbedaan terpenting ambiguitas dengan makna umum adalah seperti berikut.


1. Ambiguitas perlu banyak kesepakatan dasar, sementara makna umum perlu hanya satu darinya. 


2. Makna umum mungkin memiliki sosok atau objek sejumlah tak terbatas, sementara ambiguitas hanya mungkin memiliki sejumlah tertentu makna. 


3. Makna umum adalah satu makna lazim yang dipahami tanpa pembandingan, sementara ambiguitas melibatkan beberapa makna tujuan yang perlu perujukan tertentu [yang sesuai]. 


Berdasar pembedaan tersebut mari kita simpulkan diskusi kita tentang ungkapan seperti "manusia", "hewan", dst. Apakah masing-masing ungkapan ini dapat dipahami punya satu makna tanpa perlu penjelasan tentang perujukannya? Apakah beberapa makna hadir dalam akal siapapun saat mendengarnya? Apakah tak ada lagi pertanyaan tentang perujukan mana yang dimaksud oleh pembicara? 


Tak diragukan, kita tak menganggap Muhammad, Ali, Hasan, dan Husain sebagai makna kata "manusia". Karenanya, saat kita mendengar ungkapan "manusia" ini kita tak ragu tentang kewajaran ungkapan ini, yakni tak menanyakan lagi tentang maknanya. Bahkan kita tau bahwa ungkapan ini punya satu makna yang berlaku umum bagi sosok-sosok ini, juga selainnya. Itu bukanlah ambiguitas. 


Sekarang mari lihat apakah ungkapan semacam ini punya  keterbatasan jumlah objek. Atau ia berlaku bagi sejumlah tak terbatas objek? Jelas bahwa makna ungkapan ini tidak punya semacam batasan jumlah objek, yakni bisa berlaku pada sejumlah tak terbatas objek. 


Kemudian, kita lihat bahwa tak satupun dari ungkapan manapun yang punya sejumlah tak terbatas kesepakatan penunjukan. Tak seorangpun bisa membayangkan di benaknya sejumlah tak terbatas figur, sementara menentukan sejumlah tak terbatas kesepakatan penunjukan untuk satu ungkapan tertentu. Di sisi lain, kita lihat bahwa kita sendiri bisa menentukan satu ungkapan sedemikian sehingga ia selaras dengan sejumlah tak terbatas figur. Demikianlah, makna umum (universal) tak perlu sejumlah tak terbatas kesepakatan penunjukan. 


Kesimpulannya, gambaran umum adalah istilah dengan makna umum, bukan istilah yang ambigu. 


Mungkin ada yang menyangkal bahwa ungkapan tersebut tidaklah cukup untuk menjelaskan mustahilnya banyak kesepakatan penunjukan, karena mungkin saja seorang yang menunjuk membayangkan satu hal (dan bukan sejumlah tak hingga hal) di benaknya, dan memakai satu ungkapan untuk semua figur yang serupa. 


Kita tau bahwa orang ini harus membayangkan makna "semua" dan "figur" dan "serupa" untuk membuat sebuah konvensi (ketentuan). Maka pertanyaannya kembali kepada bagaimana ungkapan ini ditujukan. Bagaimana itu bisa diterapkan kepada sejumlah tak terbatas kasus? Kita tak punya pilihan selain membenarkan bahwa benak punya kemampuan menampung konsep yang berlaku pada sejumlah tak terbatas kasus. Karenanya, mustahil konsep demikian dipakai untuk sejumlah tak terbatas kasus di satu waktu, karena ini tak terjangkau oleh manusia manapun. 


*Tanggapan atas Keraguan* 


Nominalis, dalam menyangkal adanya gambaran umum (universal), memunculkan keraguan berikut: setiap gambaran yang muncul dalam satu benak adalah gambaran yang khusus dan spesifik, yang beda dari gambaran serupa pada benak lain. Bahkan jika seorang menyadari gambaran yang sama pada waktu lain, itu sebenarnya gambaran yang lain. Bagaimana dikata bahwa gambaran umum ada dalam benak dengan label keumuman dan ketunggalan? 


Keraguan ini berasal dari kebingungan antara gambaran dengan wujud, yakni bingung antara prinsip logika dengan prinsip filsafat. Kita tak ragu bahwa setiap gambaran, sejauh itu ada, adalah khusus, dalam bahasa filosofis "wujud adalah setara dengan kekhususan". Saat dibayangkan lagi, ia akan punya wujud lain, namun keumuman dan ketunggalan aklinya bukanlah dalam hal wujud melainkan dalam hal ia akli, yakni dalam hal mewakili berbagai figur dan objek. 


Saat benak kita memandang satu gambaran dari sudut fungsi, bahwa ia mencerminkan, dan menilai fungsi tersebut terkait berbagai objek, nilai keumuman terabstraksi darinya. Sebaliknya, saat wujudnya disadari ada dalam akal, itu adalah contoh kekhususan. 


*Sekilas Pandangan Lain* 


Mereka yang menduga gambaran umum akli sebagai gambaran khusus yang samar, pun makna umum menunjuk pola samar dan lemah yang sama [seolah kekhususan telah dipisahkan darinya], tak akan menemukan hakikat makna umum. 


Cara terbaik menunjukkan kesalahan mereka adalah memperhatikan makna yang tak punya wujud di dunia luar, seperti "nonwujud" atau "mustahil". Atau, yang tak punya wujud material atau inderawi, seperti makna Tuhan, malaikat, dan ruh. Atau, yang sesuai dengan wujud material dan nonmaterial sekaligus, seperti makna sebab dan akibat. Makna-makna tersebut tak bisa dikatakan pola-pola yang lemah. Juga, terkait makna-makna yang benar untuk hal-hal berlawanan, seperti warna, yang berlaku untuk hitam dan putih. Tak bisa dikatakan warna putih demikian samar sehingga ia menjadi bentuk absolut warna yang juga benar untuk hitam. Atau, bahwa warna hitam menjadi demikian lemah dan pucat hingga mungkin berlaku untuk putih. 


Platonis juga beroleh masalah, karena kebanyakan makna, seperti nonwujud dan mustahil, tak punya model mafhum, sehingga mereka tak mungkin berkeras bahwa persepsi kata umum adalah pengamatan kepada semacam wujud akli dan nonmaterial. Karenanya, posisi yang tepat adalah yang dipegang oleh kebanyakan filosof Islam dan rasionalis. Yakni, kita punya kemampuan kognitif khas yang disebut akal, berfungsi menangkap gambaran umum mental, entah itu wujud inderawi atau tidak.


(Dari Philosophical Instructions, oleh MT Misbah Yazdi)


Kamis, 04 Juni 2020

13. Pembagian Pengetahuan

*Mencari Batu Pijakan Pengetahuan*

Disebut dalam bahasan sebelumnya bahwa sebagian pengetahuan dan persepsi sepenuhnya pasti. Bahkan, sekian argumen yang diajukan kaum skeptis untuk membenarkan pandangan-pandangan menyimpang mereka, yang bersandar pada penyangkalan mutlak pengetahuan, justru menunjukkan dan mengharuskan adanya pengetahuan. Namun di sisi lain, kita sadar bahwa tak semua "pengetahuan" dan keyakinan kita benar atau sesuai fakta, lebih jauh, dalam banyak hal kita sendiri menemukan sekian kesalahan. 

Membandingkan dua sisi ini, lalu muncul soalan tentang apa saja yang membedakan sekian macam persepsi manusia. Apa-apa persepsi yang pasti dan luput dari kesalahan, apa-apa pula yang bisa salah dan boleh diragukan. Bagaimana memilahnya. 

Mafhum bahwa Descartes coba meramu filsafat yang solid dalam memerangi skeptisisme, ia menggunakan ketakpastian ragu itu sendiri sebagai batu pijakan filsafat. Lebih jauh, adanya "diri" si peragu dan pemikir adalah kemestian yang ia sandarkan pada pondasi itu. Selain itu, ia mengajukan kejelasan dan keterbedaan sebagai syarat bagi kepastian. Ia jadikan keduanya sebagai patokan dalam memilah benar dari ide-ide yang salah. Ia juga coba menerapkan pendekatan matematis pada filsafat, yakni dalam mengenalkan logika yang baru. 

Sekarang kita tak dalam posisi menilai filsafat Descartes, tak pula melihat sejauh mana ia berhasil dalam target pribadinya. Kami ingin menekankan bahwa memakai keraguan sebagai titik tolak perdebatan dengan skeptis cukuplah masuk akal. Ini seperti nampak pada bahasan terdahulu. Namun, jika ada yang membayangkan bahwa tak ada apapun yang cukup jelas dan pasti, hingga adanya si peragu harus disimpulkan dari keraguan, ini keliru. Adanya "diri" yang sadar dan berpikir mestinya paling tidak sejelas dan sepasti adanya ragu itu sendiri, yang merupakan salah satu keadaan diri. 

Demikian pula, jelas dan keterbedaan tak bisa dipandang sebagai syarat umum dalam memilah ide benar dari ide yang salah. Hal ini karena syarat ini sendiri tak cukup jelas dan terbedakan tak pula bebas dari multitafsir. Bukan pula patokan yang pokok dan paling signifikan, wajar ia tak mampu menguak rahasia pastinya beberapa macam persepsi. Bahkan, sekian pendapat Descartes dapat didebat panjang lebar. Namun, evaluasi demikian akan di luar kajian kita sekarang. 

*Pembagian Mendasar Pengetahuan*

Pembagian mendasar pengetahuan yang perlu dipertimbangkan adalah beda dua hal ini:

1) pengetahuan yang ditau langsung dari esensi/zat objek, dalam hal ini adanya objek pengetahuan secara nyata dan asli tersingkap bagi si penerima atau si tau, 

2) pengetahuan yang adanya objek secara eksternal tak teramati atau tersaksikan "langsung" oleh si tau.  Alih-alih, ia menyadarinya melalui perantara sesuatu yang mewakilinya, yakni bentuk akli atau konsep aklinya. 

Macam pertama disebut pengetahuan dengan kehadiran atau pengetahuan langsung (ilm al hudhuri), yang kedua disebut pengetahuan tak langsung (ilm al husuli). 

Pembagian pengetahuan ke dalam dua jenis ini masuk akal, menyeluruh, dan khas. Dengan cara ini tak ada posisi pengetahuan ketiga yang dapat menyanding keduanya. Yakni tak ada pengetahuan selain dua jenis pengetahuan ini. Ada perantara antara sosok yang tau dengan esensi objek yang ditau, dengannya persepsi diperoleh, inilah pengetahuan "tak langsung". Atau, jika tak ada keperantaraan, inilah pengetahuan "langsung". Selanjutnya, dua macam pengetahuan ini pada manusia kiranya perlu dijelaskan. 

*Pengetahuan Langsung*

Pengetahuan dan persepsi yang dipunya setiap orang tentang dirinya sendiri sebagai wujud yang menyadari adalah satu pengetahuan yang tak terbantah. Sofis sekalipun, yang memandang manusia sebagai patokan ukur semua hal, tak membantah adanya manusia beserta pengetahuan pribadi yang dipunyainya. 

Tentu manusia, yakni "diri", adalah dia yang merasa, yang berpikir. Dia yang dengan penyaksian internal menyadari diri sendiri, tidak melalui sensasi atau pengalaman, tidak pula melalui bentuk dan konsep akli. Yakni, ia sendirilah pengetahuan itu, dalam pengetahuan dan persepsi ini tak ada kejamakan atau beda antara pengetahuan, si tau, dengan objek yang ditau. Seperti disebut sebelumnya, "ketunggalan si tau dan yang ditau" adalah contoh paling sempurna tentang "hadirnya objek yang ditau pada subjeknya". 

Adapun, persepsi manusia tentang warna, bentuk, dan sifat-sifat lain tubuh tidaklah demikian. Ia diperoleh dengan penglihatan, sentuhan, dan indera-indera lain, juga dengan bentuk-bentuk akli. Juga, bahwa di dalam tubuh ada banyak sekali organ internal yang tak kita sadari langsung. Namun, kita mengenalnya melalui sekian tanda dan efek, atau kita menyadarinya dengan belajar anatomi, fisiologi, dan ilmu biologi lain. 

Demikian, pengetahuan tentang diri adalah sederhana dan tak terbagi, tak semacam proposisi, "saya adalah", atau "saya ada", yang tersusun dari beberapa konsep. Jadi, maksud "mengetahui diri" adalah kesadaran yang sangat intuitif, sederhana, dan langsung akan jiwa-jiwa kita sendiri. Pengetahuan dan kesadaran inilah ciri mendasar "mengetahui diri". Akan dibuktikan pada tempat yang tepat, bahwa jiwa adalah nonmateri, pun bahwa setiap wujud nonmateri mengetahui akan dirinya. Topik-topik ini terkait ontologi dan psikologi filosofis, tentunya bahasan ini bukanlah tempat untuk mengulasnya. 

Pengetahuan kita akan keadaan, kecenderungan, dan hasrat psikologis kita sendiri adalah juga contoh pengetahuan langsung. Saat takut, seketika kita tau akan keadaan psikologis ini tanpa perantara apapun, tanpa media bentuk atau konsep akli apapun. Saat menyukai seorang atau sesuatu, kita mendapati kecenderungan ini dalam diri sendiri. Saat memutuskan untuk melakukan satu hal, kita tau akan keputusan dan niat kita. Takut akan sesuatu, atau suka dengan sesuatu, atau memutuskan melakukan sesuatu tanpa tau akan rasa takut, rasa suka, atau niat adalah omong kosong. Dengan cara yang sama, adanya ragu atau dugaan adalah tak terbantah. Tak seorangpun bisa mengklaim ia tak tau tentang keraguannya sendiri, tidak pula bahwa ia ragu akan adanya keraguan dirinya. 

Contoh lain pengetahuan langsung adalah pengetahuan tentang kemampuan perseptif [berpikir, merenung, dst] dan kemampuan motorik. Kesadaran diri akan kemampuannya berpikir dan mengkhayal atau akan berbagai kemampuan motorik merupakan pengetahuan dengan kehadiran dan langsung. Ini semua tak ditau melalui bentuk dan konsep akli. Karena itu seorang tak pernah salah dalam penempatannya. Ia tak pernah menggunakan kemampuan perseptif menggantikan motorik, tak pula menggunakan kecakapan bergerak menggantikan berpikir akan sesuatu. 

Di antara hal-hal yang ditau dengan kehadiran adalah bentuk dan konsep akli, yang ditau tanpa melalui perantara bentuk dan konsep akli lainnya. Jika pengetahuan akan apapun harus diperoleh melalui bentuk dan konsep akli, manusia mestinya tau setiap bentuk akli melalui bentuk akli yang lain. Pengetahuan akan bentuk akli tersebut juga melalui bentuk akli yang lain lagi. Dengan begini, untuk setiap hal yang anda tau anda harus mengenal sejumlah tak terbatas hal lain dan harus punya bentuk akli sebanyak tak terbatas. 

Mungkin ada yang bertanya, jika pengetahuan langsung adalah hadirnya objek pengetahuan itu sendiri, dan pengetahuan tak langsung adalah yang berperantara, maka bentuk-bentuk akli adalah pengetahuan langsung sekaligus tak langsung. Bentuk-bentuk akli ini di satu sisi dikenal secara langsung, yakni pengetahuan dengan kehadiran. Di sisi lain mereka dinyatakan sebagai pengetahuan tak langsung akan hal-hal eksternal. Bagaimana mungkin satu pengetahuan adalah langsung sekaligus tak langsung? 

Bentuk-bentuk akli bersifat mencerminkan dan mewakili objek eksternal, dan memang mereka adalah sarana untuk mengenal hal-hal di luar diri. Dengan begini dianggaplah mereka sebagai contoh pengetahuan tak langsung. Dari sisi faktual bahwa mereka hadir di hadapan diri, dan diri mengetahui mereka secara langsung, dihitunglah mereka sebagai pengetahuan langsung. Dua sisi ini beda satu sama lain: di satu sisi mereka hadir yakni mereka secara langsung disadari, di sisi lain mereka tak langsung yakni mewakili ihwal eksternal. 

Lebih jauh tentang hal ini, mari cermati analogi cermin. Kita bisa mengamati satu cermin dari dua cara pandang berbeda. Dari satu cara pandang katakan ada orang yang ingin membeli cermin, ia mengamati kedua sisinya ada yang cacat atau tidak. Dari cara pandang lain ada orang yang memakai cermin, melihat cermin untuk menatap wajah, meski arah pandang adalah pada cermin, perhatiannya tertuju pada wajah bukan pada cermin. 

Bentuk-bentuk akli dapat secara langsung disasar oleh diri, inilah kita bilang mereka sebagai pengetahuan langsung. Mereka dapat pula menjadi sarana untuk mengenal berbagai hal dan sekian sosok luar, di sini kita bilang mereka sebagai pengetahuan tak langsung. Perlu dicatat bahwa maksud penjelasan ini bukanlah memisahkan kedua kasus itu dalam waktu; melainkan pembedaan dua sudut pandang saja. Saat konsep akli adalah contoh pengetahuan tak langsung akan objek luar, tak mesti bahwa ia tak disadari secara langsung, tak mesti ia kehilangan sisi kehadirannya. 

*Sahihnya Pengetahuan Langsung*

Dari keterangan tentang pengetahuan langsung dan pengetahuan tak langsung serta beda keduanya, menjadi jelas mengapa pengetahuan tentang diri, rasa, dan contoh lain pengetahuan langsung bersifat pasti. Ini karena fakta itu sendiri yang teramati. Sebaliknya, pada pengetahuan tak langsung, bentuk dan konsep akli berperan sebagai perantara, dan mungkin tidak  persis serupa dengan fakta dan sosok luarnya. 

Atau, salah persepsi dapat terjadi saat ada perantara antara si tau dengan entitas yang ditau, lalu ada pengetahuan diperoleh. Dalam hal ini mungkin ada yang bertanya, apakah bentuk atau konsep yang menengahi si tau dengan objek yang ditau mewakili objek tersebut secara tepat dan persis serupa dengannya atau tidak. Kecuali terbukti bahwa bentuk dan konsep akli tepat sesuai dengan objek yang ditau, keyakinan akan sahihnya persepsi tak akan didapat. 

Namun, jika sesuatu atau sosok yang ditau hadir secara langsung bagi si tau tanpa perantara apapun, atau bahkan menyatu dengannya, maka tak ada celah kekeliruan, tak bisa dipertanyakan apakah pengetahuan itu sesuai atau tidak dengan objeknya, karena di sini pengetahuannya adalah objek itu sendiri. 

Sejauh ini pahaman tentang persepsi yang sahih dan keliru telah jelas. Sahih artinya persepsi yang sesuai dengan fakta dan sepenuhnya mengungkapkannya. Keliru artinya keyakinan yang tak sesuai dengan fakta. 

*Pengetahuan Tak Langsung yang Serempak dengan Pengetahuan Langsung*

Ada satu hal, akal selalu memotret apa yang hadir seperti mesin otomatis. Darinya ia mendapat bentuk dan konsep khas lalu menganalisa dan menafsirkannya. Contoh, saat seorang merasa takut, akalnya akan memotret kondisi takut itu, yang akan dapat diingat kembali setelahnya. Selanjutnya ia menangkap konsep umum darinya dan dengan menyematkan konsep lain ia menampilkan pernyataan (proposisi) seperti "saya takut", atau "saya punya rasa takut", atau "takut ada pada saya". Ia menafsirkan hadirnya kondisi psikologis ini serta merta berdasar pengetahuan sebelumnya dan mencoba cari sebabnya. 

Segenap proses akal ini, yang terjadi sangat cepat, beda dari kondisi takut dan pengetahuan langsungnya. Dan, keserempakannya dengan pengetahuan langsung sering jadi sumber kekeliruan. Orang kadang menduga bahwa karena ia mendapati rasa takut dan pengetahuan langsung iapun tau sebabnya dengan pengetahuan langsung. Nyatanya apa yang ditangkap dengan pengetahuan langsung adalah sederhana, tanpa bentuk atau konsep akli sama sekali, bebas pula dari tafsir bagaimanapun, makanya itu tak mungkin salah. Sebaliknya, tafsir yang seketika ada adalah dari persepsi tak langsung, yang pada dasarnya tak selalu benar dan tak selalu sesuai fakta. Menjadi jelas kemudian mengapa dan bagaimana kesalahan-kesalahan terjadi pada sebagian pengetahuan tak langsung. 

Contoh: orang merasa lapar dan langsung beranggapan bahwa ia perlu makanan. Sementara kadang yang ada adalah hasrat yang keliru, yakni ia tidak benar-benar perlu makanan. Apa yang sebenarnya ditangkap oleh pengetahuan langsung yang pasti benar adalah rasa khasnya. Yang itu seketika diikuti oleh tafsir akli, berdasar pembandingan dengan rasa-rasa semisal, itu disebabkan oleh perlu makanan. 

Pembandingan ini tentu saja tidak selalu tepat dan karenanya sebuah kesalahan dapat terjadi dalam menentukan sebab dan dalam memberi tafsiran aklinya. Berbagai kesalahan yang terjadi dalam penyingkapan mistis adalah semacam ini. Makanya penting menentukan pengetahuan langsung secara cermat dan membedakannya dari tafsiran akli yang menyertai, agar tak keliru seperti tersebut. 

*Gradasi Pengetahuan Langsung*

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengetahuan langsung tidaklah seragam dalam intensitasnya. Pengetahuan langsung ada kalanya hadir cukup kuat dan membekas pada kesadaran manusia, ada kalanya sangat lemah dan ringan sehingga orang setengah menyadari atau bahkan tak menyadarinya sama sekali. 

Beda tingkatan pengetahuan langsung kadang disebabkan bedanya tingkat wujud si tau. Jika diri si tau lemah dalam gradasi wujud, maka pengetahuan langsungnya juga lemah dan ringan. Jika tingkatan wujudnya lebih sempurna, pengetahuan langsungnya akan lebih sempurna dan lebih disadari. Penjelasannya tentu bergantung pada paparan tentang gradasi wujud dan gradasi kesempurnaan diri, yang mesti dibuktikan di ranah lain filsafat. Sementara akan kita terima saja, berdasar dua prinsip ini, bahwa pengetahuan langsung bisa kuat dan bisa lemah. 

Pengetahuan langsung akan kondisi psikologis dapat pula kuat dan lemah. Contoh: orang sakit, yang menangkap rasa sakit dengan pengetahuan langsung, saat mengalihkan perhatian kepada seorang teman akrab, tak lagi merasakan sakit. Sebaliknya saat sepi, khususnya di malam larut saat tak ada pengalih perhatian, ia merasakan sakit yang lebih kuat, sebabnya adalah kuatnya perhatian. 

Beda tingkat pengetahuan langsung bisa berdampak pada beda tafsiran akli sesuai kuat lemahnya. Contoh: meski diri pada tingkat paling rendah punya pengetahuan langsung akan dirinya, tak mustahil karena lemahnya pengetahuan ini ia menduga bahwa hubungan antara diri dan tubuhnya adalah identitas. Ia mungkin menyimpulkan bahwa hakikat diri adalah semata tubuh material atau fenomenanya. Namun, saat pengetahuan langsung yang hadir lebih sempurna, yakni saat hakikat si diri tersempurnakan, kesalahan demikian tak akan ada lagi. 

Pada tempat yanh sesuai akan dibuktikan bahwa manusia punya pengetahuan langsung akan Penciptanya. Namun, karena lemahnya tingkat wujud dan perhatian yang hanya tercurah pada tubuh dan hal-hal material, pengetahuan ini lalu tak tersadari. Namun, dengan menyempurnanya diri dan berkurangnya perhatian pada tubuh juga hal-hal material, serta menguatnya perhatian qalbu pada Allah Taala, pengetahuan yang ini akan mencapai tahapan terang dan tersadari hingga orang ini bilang "[Ya Allah] adakah perwujudan dari selain Anda dan bukan dari Anda?" (Philosophical Instructions, oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdi)

Minggu, 31 Mei 2020

12. Tentang Aksioma Epistemologi

*Bagaimana Filsafat Bergantung pada Epistemologi* 

Konsep pengetahuan dalam arti luas mencakup setiap jenis kesadaran dan persepsi. Ia dapat disajikan oleh epistemologi melalui topik-topik kajiannya. Namun demikian, ada beberapa dari konsep pengetahuan yang tidak secara formal berada dalam lingkup epistemologi. Yakni seperti wahyu, ilham, serta berbagai penyingkapan dan intuisi mistis. Adapun, soalan yang biasa disertakan dalam diskusi cabang filsafat ini adalah korelasi antara indera dan akal. 

Kami tak mungkin membahas semua topik ini di sini. Ini karena tujuan utama kami adalah menjelaskan nilai persepsi akli [penerimaan realitas oleh akal] dan membuktikan benarnya filsafat juga kesahihan metode-metode rasionalnya. Untuk itu, kami hanya akan menghadirkan beberapa topik yang berguna dalam metafisika dan teologi. Sesekali itu juga berguna bagi ranah lain filsafat seperti psikologi filosofis dan akhlak filosofis. 

Pada titik ini boleh kita ajukan tanya: Apa premis-premis dasar yang mendukung epistemologi? Di mana dapat ditemukan? Jawabnya adalah bahwa epistemologi tak perlu meminjam aksioma-aksioma untuk semua bahasannya. Ini karena berbagai topik yang ada dapat diklarifikasi secara mandiri pada pengetahuan-pengetahuan mudah (badihiyyat awwaliyyah) yang swabukti [membuktikan dirinya sendiri]. 

Dikatakan bahwa ontologi dan ilmu rasional lain tak perlu kepada ilmu lain. Nyatanya semua solusi untuk mereka ini bergantung pada mampu tidaknya akal menjawab soalan-soalannya. Bukankah berarti ranah filsafat tersebut perlu epistemologi untuk menyajikan aksioma-aksioma dasarnya?

Di bagian lain kami telah mengisyaratkan jawab untuk soal ini. Adapun gamblangnya, begini. Pertama, sekian premis yang secara langsung dibutuhkan oleh ilmu-ilmu rasional adalah penilaian-penilaian [tasdiq] yang swabukti dan tanpa perlu pembuktian. 

Adapun jabaran tentang penilaian-penilaian tersebut dalam logika atau epistemologi sebenarnya bersifat eksposisi atau keterangan, bukan argumentatif. Yakni, itu semua adalah alat untuk mengarahkan perhatian benak kepada hakikat yg dipahami akal tanpa perlu dalil apapun. Alasan di balik pembahasan penilaian macam ini dalam ilmu-ilmu tersebut adalah salah paham tentangnya yang pada gilirannya menjadikan keraguan. Seperti dalam kasus penilaian paling swabukti, "mustahilnya kontradiksi". Pada sebagian orang ini mengarah pada anggapan bahwa kontradiksi tidaklah mustahil. Bahkan kontradiksi kadang dianggap sebagai pondasi realitas. 

Sekian ragu yang mengemuka tentang nilai pengetahuan rasionalpun polanya sama. Diskusi kita ini ada untuk menghapus keraguan dan kesalah-pahaman seperti tersebut. Sebenarnya, menyelipkan penilaian-penilaian ini di antara topik logika dan epistemologi adalah perhatian, sikap mengalah, atau sikap sopan terhadap mereka yg mengarah kepada ragu. 

Jika seorang, tanpa sadar, tak mengakui adanya pengetahuan rasional, bagaimana orang lain berdiskusi dengannya bersandar pada bukti rasional? Bahkan, argumen-argumen yg diajukan untuk mendukung ragu demikian adalah berupa argumen rasional (perhatikan). 

Kedua, butuhnya berbagai ranah filsafat kepada prinsip-prinsip logika dan epistemologi adalah penerapan pengetahuan pada pengetahuan. Yakni, seorang yg benaknya belum teracuni oleh ragu dapat menalar hingga kesimpulan tertentu terkait kebanyakan topik. Dan penalarannya akan sesuai dengan prinsip-prinsip logika tanpa perlu ia mempelajarinya dan tanpa ia tau. Misal, bahwa penalarannya sesuai dengan bentuk pertama silogisme serta syarat-syaratnya, atau tanpa menyadari bahwa ada benak yg menyadari premis-premis ini dan menerima sahihnya kesimpulan yg mengikuti. 

Di sisi lain, mungkin sebagian orang, dalam menolak rasionalisme atau metafisika menggunakan penalaran dan tanpa sadar dg premis-premis metafisika. Atau, dalam menolak aturan-aturan logika mereka malah menyandarkan penalaran pada sekian aturan logika. Bahkan, dalam menolak mustahilnya kontradiksi, mereka malah menggunakannya tanpa sadar, dan saat dikatakan, "Penalaran anda ini sahih sekaligus tak sahih" mereka akan tersinggung dan menganggapnya pelecehan. 

Dengan demikian, bergantungnya penalaran filosofis pada prinsip-prinsip logika dan prinsip-prinsip epistemologi bukanlah seperti meletakkan prinsip-prinsip pada bahasan keilmuan. Tapi ia adalah kebutuhan sekunder, yakni terkait menggantungkan prinsip-prinsip keilmuan ini pada dirinya masing-masing. Yaitu, ia adalah kebutuhan untuk pembenaran ulang keilmuan. Yakni untuk beroleh konfirmasi lebih lanjut bagi penilaian-penilaian ini. 

Seperti swabukti pada proposisi-proposisi, yang bergantung pada mustahilnya kontradiksi. Jelas bahwa bergantungnya proposisi-proposisi swabukti pada prinsip ini tak sama dengan bergantungnya proposisi-proposisi spekulatif pada proposisi-proposisi swabukti. Jika tidak, maka beda antara proposisi swabukti dan spekulatif tak akan ada. Dan setidaknya, satu proposisi, yakni prinsip mustahilnya kontradiksi, harus diterima sebagai swabukti. 

*Mungkinnya Pengetahuan*

Setiap orang yang berakal sehat percaya bahwa ia benar tau sekian hal, pun bahwa ia mungkin untuk tahu sekian hal. Ia bahkan berupaya untuk beroleh informasi tentang ihwal yang ia perlu atau suka. Tanda terbaik untuk upaya macam ini adalah yang telah dilakukan oleh para ilmuwan dan filosof, dengan membawakan berbagai ranah ilmu dan filsafat. 

Bahkan, mungkin dan aktualnya ilmu bukanlah suatu yang disangkal atau diragukan oleh orang berakal yang benaknya belum tercemari ragu. Apa yg terbuka untuk diskusi atau telaah dan apa yg masuk akal untuk diperdebatkan adalah penentuan batas-batas pengetahuan manusia, syarat alat-alat untuk beroleh pengetahuan tertentu, cara memilah pemikiran benar dari yg salah, dan semisalnya. 

Seperti disinggung sebelumnya, gelombang-gelombang skeptisisme telah muncul berulang-ulang di Eropa, bahkan para pemikir hebatpun tertelan olehnya. Sejarah filsafat mencatat sekian aliran pemikiran yg sepenuhnya menyangkal pengetahuan, semisal sofisme, skeptisisme, agnostisisme. Penjelasan terbaik tentang penyangkalan total pengetahuan (jika anggapan ini benar) adalah bahwa korban-korbannya terjangkit kecerobohan akut, satu keadaan yg dialami sebagian orang terkait beberapa hal lain juga. Selayaknya dianggap sebagai semacam penyakit jiwa. 

Adanya orang-orang demikian, niat di balik pandangan-pandangannya, ataupun fakta atas tuduhan kepada yang diklaim memilikinya, biarlah kita serahkan rinciannya kepada putusan riset sejarah. Adapun kami, menganggapnya sebagai deskripsi keraguan atau tanya yang perlu jawaban filosofis. 

*Menilik Klaim Kaum Skeptis*

Kutipan-kutipan dari kaum sofis dan skeptis dapat dibagi menjadi dua: satunya adalah ungkap mereka tentang ada dan yang ada (wujud), lainnya adalah tentang ilmu dan pengetahuan. Ungkap-ungkap tersebut punya dua aspek: satu aspek terkait ontologi, yang lain terkait epistemologi. 

Contoh, kutipan yg di sandarkan kepada sofis paling ekstrim, Gorgias: "Tiada wujud, jikapun ada sesuatu, ia mustahil ditau, dan meski ada pengetahuan tentang wujud, pengetahuan ini mustahil disampaikan kepada yg lain." Frasa pertama adalah tentang wujud, mesti dibahas di bagian ontologi. Namun yang kedua, relevan dengan diskusi sekarang, epistemologi, maka wajarnya frasa kedua inilah yang kita bahas lebih lanjut. 

Hal pertama yang perlu diungkapkan: Yang meragukan semua hal tak akan mampu meragukan adanya diri mereka sendiri, adanya ragu mereka, tidak pula organ-organ persepsi, seperti penglihatan dan pendengaran, pun adanya bentuk mental dan berbagai keadaan psikologisnya. 

Jika seorang bahkan menyatakan keraguan tentang ihwal ini, ia pasti sakit, dan perlu penyembuh, atau ia bohong dan punya niat jahat, karenanya perlu dikoreksi dan ditegur. Demikian pula, siapa yang bicara dan berdiskusi atau menulis buku mustahil menolak adanya lawan diskusi, atau adanya kertas atau pena yang dipakai. 

Pada titik ekstrim bisa dikatakan seorang menyadari semua hal dalam kediriannya namun ia ragu akan adanya mereka di dunia luar. Sebagaimana muncul dari pernyataan-pernyataan Berkeley dan beberapa idealis lain. Mereka menerima semua objek persepsi sebagai semata berbagai bentuk dalam benak, dan menyangkal adanya secara eksternal. Namun begitu, mereka menerima adanya orang-orang lain yang punya benak dan persepsi. Pandangan ini tak sepenuhnya menyangkal pengetahuan dan keberadaan, namun menyangkal keberadaan material, segenap keraguan mereka adalah tentang wujud terkait beberapa objek pengetahuan. 

Jika seorang mengklaim bahwa pengetahuan-yakin adalah mustahil, tanya yang harus diberikan kepadanya apakah ia tau itu, ataukah ia juga punya keraguan tentangnya. Jika ia bilang ia tau, maka setidaknya satu hal diketahui telah dibenarkan, dan klaimnya sendiri gugur. Jika ia bilang ia tak tau itu, artinya ia mungkin berkesempatan mendapat pengetahuan-yakin. Dengan kata lain, ungkapannya sendiri terbukti salah. Namun, jika seorang bilang bahwa ia ragu tentang klaim kemungkinan pengetahuan dan pengetahuan-yakin, mesti ditanya apakah ia tau bahwa ia ragu atau tidak. Jika menjawab ia tau bahwa ia ragu, maka bukan hanya mungkin bahkan pengetahuan secara aktual telah diakui. Jikapun, ia bilang meragukan ragu yg ada padanya, ungkap ini entah disebabkan penyakit jiwa atau niatan buruk, perlu tanggapan nonteoritis. 

Para pembela kenisbian semua pengetahuan mengklaim bahwa tak ada proposisi yang sahih secara mutlak, berlaku umum, selalu. Sesiapa boleh menanyai orang-orang itu apakah klaimnya tersebut sahih secara mutlak, berlaku umum, selalu, atau apakah ia nisbi, partikular, dan temporal. Jika itu berlaku selalu, dalam semua kasus, tanpa syarat dan tanpa kecuali, maka itulah sahih. Maka setidaknya ada satu proposisi yang mutlak, berlaku umum, selalu yang telah terbukti. Jika pengetahuan ini sendiri juga relatif berarti ia tak berlaku pada beberapa kasus. Dan, pada kasus-kasus yg ia tak berlaku itu ada proposisi yang mutlak, berlaku umum, selalu. 

*Menolak Ragu Skeptis*

Satu ragu yang jadi sandaran kaum sofis dan skeptis, mereka ungkap dalam berbagai bentuk, dan dengan bermacam contoh adalah: Kadang orang beroleh kepastian tentang adanya sesuatu melalui indera, namun kemudian sadar bahwa ia salah. Demikianlah seorang tau bahwa persepsi inderawi ternyata tak dapat dipercaya. Polanya lalu seperti mengemuka, persepsi-persepsi inderawi yang lain mungkin juga salah, akan datang hari saat sekian luput itu nampak juga. Demikian pula kadang seorang mendapati satu prinsip sebagai benar secara rasional, namun kemudian ia dapati bahwa penalarannya tidak tepat, keyakinannya pun berubah ke ragu. Begitulah, penalaran juga nyatanya tak dapat dipercaya. Dengan cara yang sama kemungkinan salah berimbas ke persepsi akal yang lain. Kesimpulannya tak inderawi tak pula penalaran dapat dipercaya. Tak ada yg tersisa bagi manusia kecuali ragu. 

Tanggapannya begini: 

1. Sasaran argumentasi ini adalah sampai kepada sahihnya skeptisisme, dan sampainya pengetahuan akan benarnya ia melalui penalaran, dan paling tidak menarik lawan diskusi agar menerima ide anda. Yakni, anda berharap bahwa ia akan mencapai pengetahuan tentang sahihnya klaim-klaim anda, sementara anda berkeras bahwa mencapai pengetahuan adalah mustahil mutlak. 

2. Ditemukannya kesalahan persepsi inderawi dan akli menuntun kepada pengetahuan bahwa persepsi-persepsi tersebut tak sesuai dengan realitas. Ini secara logis menunjukkan bahwa kita menerima adanya pengetahuan tentang kelirunya persepsi. 

3. Kemestian lainnya adalah kita tau bahwa ada realitas yang tak sesuai dengan persepsi keliru kita, jika tidak maka tak akan ada konsep kelirunya persepsi. 

4. Kemestian lainnya adalah bahwa kita pasti tau bahwa persepsi yang keliru dan bentuk aklinya berlawanan dengan realitas. 

5. Akhirnya, adanya orang yang keliru, begitupun indera dan akalnya pastilah diterima. 

6. Penalaran ini sendiri adalah argumentasi akli (meski cacat) dan bersandar padanya adalah  anggapan bahwa akal dan persepsinya sebagai dapat dipercaya. 

7. Sebagai tambahan, pengetahuan lain diasumsikan ada, yaitu persepsi-persepsi yang keliru itu, dalam keadaan keliru, tak mungkin benar. Jadi, argumentasi kaum skeptis itu sendiri meniscayakan diterimanya beberapa contoh pengetahuan, bagaimana seorang demikian lalu menafikan mungkinnya pengetahuan sepenuhnya, atau bahkan meragukannya?!

Semua jawab ini menyangkal argumentasi kaum skeptis. Dengan meneliti dan menunjukkan cacatnya, kita membuktikan sahih dan tidaknya persepsi inderawi dengan bantuan penalaran. Bagaimanapun, seperti telah dinyatakan, tidak benar bahwa ditemukannya salah pada persepsi akli juga berimbas ke semua persepsi akli yang lain, karena kemungkinan salah hanya dapat terjadi pada persepsi-persepsi spekulatif, yang tak swabukti. Adapun proposisi-proposisi akli swabukti yang menjadi sandaran pembuktian filosofis tidak pernah luput sama sekali, penjelasannya akan disajikan pada bab ke 19. (Philosophical Instructions, oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdi)

Sabtu, 30 Mei 2020

11. Menuju Epistemologi

Nilai Epistemologi

Ada serangkaian soalan mendasar menghadang manusia, sebagai zat sadar yang segenap aktifitasnya muncul dari kesadaran. Jika ia abai dan gagal dalam upayanya menemukan jawab-jawab yang tepat untuk rangkaian soalan ini, ia akan mendapati dirinya melewati batas kemanusiaan menuju batas kehewanan. 

Berdiam dalam keraguan atau bertindak sembrono menghalangi manusia dari tabiatnya yang haus akan kebenaran. Selain itu menyisakan risau ihwal tanggung jawab-tanggung jawab yang menjadi kemestiannya. Seringnya ia akan terlemahkan, atau dalam beberapa kasus, menjadikannya makhluk yang berbahaya. 

Solusi-solusi yang salah dan menyimpang, semisal materialisme dan nihilisme, tak mampu memberikan kenyamanan psikologis dan kemakmuran sosial. Kita perlu mencari sebab mendasar dari kerusakan individu dan sosial berupa pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran yang melenceng. Karenanya, tak ada jalan lain kecuali mencari jawab untuk soalan-soalan ini dengan tekad yang mantap dan sungguh-sungguh. Mestinya kita berupaya total menancapkan pondasi kemanusiaan kita sendiri. Dengan ini membantu pula yang lain. Menghalangi pengaruh merusak pemikiran-pemikiran salah dalam masyarakat dan ajaran-ajaran menyimpang yang kini ada. 

Jelas sekarang bahwa upaya intelektual dan filosofis niscaya perlu. Tak ada ruang lagi untuk ragu atau ketak-pastian dan sembrono. Yang tersisa adalah mengambil langkah dalam perjalanan wajib yang tak terelakkan. Dengannya kita menjawab tanya berikut: Mampukah akal manusia menjawab soalan-soalan ini? 

Pertanyaan ini mengarahkan pada pembentukan inti soalan-soalan epistemologi. Hingga kita menjawab soalan-soalan cabang filsafat yang ini, kita tak akan sampai pada solusi-solusi soalan-soalan ontologi, tak pula cabang-cabang filsafat yang lain. Hingga nilai dari pengetahuan akal ditentukan, maka klaim-klaim yang dihadirkan sebagai solusi-solusi aktual untuk soalan-soalan demikian tidaklah bernilai dan tak dapat diterima. Akan selalu tersisa pertanyaan-pertanyaan bagaimana akal dapat menyajikan solusi yang tepat untuk soalan-soalan ini. 

Di sinilah banyak tokoh-tokoh filasafat barat, seperti Hume, Kant, Auguste Compte, dan semua positifis telah kebingungan. Dengan pandangan-pandangan keliru mereka telah meletakkan pondasi peradaban secara salah bagi masyarakat barat. Bahkan para pakar ilmu lain, misal psikolog behavioris, telah sesat karena mereka. Sayang, gelombang bertubi ajaran-ajaran yang menghempas dan menghancurkan itu telah menyebar ke belahan-belahan lain bumi. Menyisakan hanya filsafat ilahiah, puncak-puncak tinggi dan tebing-tebing tak tertembus yang berdiri di atas pondasi-pondasi stabil yang kokoh. Semua selainnya bisa dikata berada dalam pengaruh mereka. 

Karenanya, kita mesti berupaya mengambil langkah pertama dengan meletakkan pondasi rumah pemikiran-pemikiran filosofis kita secara kokoh dan mapan untuk lalu layak menapaki tahap-tahap selanjutnya dan sampai ke tujuan, insya Allah. 

Kilas Sejarah Epistemologi

Meski epistemologi sebagai cabang filsafat tak punya sejarah panjang sebagai ilmu yang terpisah, dapat dikatakan bahwa soalan tentang nilai pengetahuan, yang membentuk porosnya, telah muncul kira-kira sejak filsafat paling purba. Bisa jadi perhatian para pemikir terpapar dengan soalan ini saat mendapati cacat dan cela dalam penyingkapan berbagai peristiwa eksternal oleh indera. Hal inilah yang memicu kaum Eleatik untuk tak percaya dengan persepsi inderawi dan lebih bergantung pada pengetahuan rasional. 

Di sisi lain, beda pendapat para pemikir ihwal soalan-soalan rasional, dan berbagai pembuktian berlawanan yang diajukan masing-masing kelompok, untuk menguatkan  bermacam ide dan pandangan masing-masing, lalu memberi kaum sofis kesempatan menyangkal nilai pengetahuan rasional itu sendiri. Melangkah jauh di jalan ini, yakni meragu, mereka bahkan hingga menyangkal realitas eksternal. 

Setelah itu, soalan pengetahuan tak muncul secara serius hingga Aristoteles. Ia menyusun prinsip-prinsip logika sebagai standar berpikir tepat, dan penguji berbagai dalil. Setelah duapuluh sekian abad prinsip-prinsip ini masih tetap berguna. Bahkan Marxis, setelah berseteru sekian tahun melawannya, akhirnya membenarkan butuhnya manusia akan bagian dari logika. 

Setelah abad-abad yang menyuburkan filsafat Yunani, gejolak muncul dalam menilai pengetahuan inderawi dan rasional. Dua kali eropa berhadapan dengan krisis skeptisisme. Setelah Renaisans dan berkembangnya ilmu empiris, empirisme perlahan berkuasa. Sekarang empirisme masih mendominasi aliran pemikiran, meski para rasionalis bermunculan dari waktu ke waktu. 

Secara terbatas penyidikan sistematik pertama dalam epistemologi dilakukan oleh Leibniz di daratan eropa, dan oleh John Locke di Inggris. Demikianlah satu cabang filsafat yang mandiri terbentuk. Penyidikan Locke pun dilanjutkan oleh para penerusnya, Berkeley dan Hume. Filsafat empirisme naik daun dan perlahan posisi para rasionalis melemah sedemikian hingga Kant, seorang rasionalispun, faktanya sangat terpengaruh oleh ide-ide Hume.

Kant mendeklarasikan bahwa perombakan pengetahuan dan penalaran merupakan tugas terpenting filsafat. Namun, ia hanya menerima berbagai kesimpulan penalaran teoritis dalam batasan ilmu-ilmu empiris, matematika, dan sekian wilayah subordinatnya. Serangan pertama dari kaum rasionalis adalah kepada metafisika. Setelah sebelumnya Hume, tokoh dominan di antara kaum empiris, telah memulai serangan tsb dengan cukup telak, yang lalu diikuti oleh kaum positifis secara lebih serius. Selanjutnya pengaruh langsung epistemologi di ranah-ranah lain filsafat dan penalaran kian meredup, yang menandai antiklimaks filsafat barat. 

Pengetahuan dalam Filsafat Islam

Naik turun dan krisis telah menimpa filsafat barat, khususnya ranah epistemologi. Setelah rentang hidupnya yang duapuluh lima abad, filsafat barat bukan saja tak beroleh pijakan dan pondasi yang kuat. Bahkan dapat dikata dukungan baginya semakin labil. 

Filsafat islam sebaliknya, secara lestari beroleh tenaga dan kestabilan, tak pernah goncang, mengalami naik turun, apatah krisis. Kecuali beberapa kecenderungan negatif yang kadang menghadang para filosof islam, mereka telah menjaga doktrin bahwa akal adalah hal mendasar dalam mencari solusi soalan-soalan metafisik. Tanpa meremehkan pentingnya pengalaman inderawi, tak pula menyangkal perlunya metode penelitian dalam ilmu-ilmu alam, mereka bertahan menerapkan metode rasional pada soalan-soalan filosofis. 

Benturan dengan pandangan-pandangan yang berlawanan dan bergulat dengan berbagai kritik, jauh dari menjadikan para filosof islam lemah, justru menguatkan dan meningkatkan keterampilan mereka. Karena alasan inilah, pohon filsafat islam terus tumbuh dan makin berbuah dari hari ke hari, bahkan tahan dan imun terhadap serangan-serangan para seterunya. Ia kini mampu sepenuhnya mempertahankan posisinya yang layak dan melibas para pesaingnya. 

Beberapa kecenderungan yang kurang lebih berbenturan dengan filsafat punya dua sumber utama. Di satu sisi ada kaum yang menilai beberapa pandangan filsafat sebagai bertentangan dengan tafsir-tafsir literal dari Kitab dan hadis, khawatir bahwa tersebarnya filsafat akan melemahkan keimanan orang-orang. Di sisi lain ada urafa (kaum gnostik) yang menenkankan pentingnya perjalanan ruhani, takut bahwa kecenderungan-kecenderungan filosofis akan mengarah kepada pengabaian laku gnosis dan minimnya kemajuan dalam perjalanan batiniah. Merekapun mengabaikannya, mengklaim bahwa para rasionalis hanya memakai kaki kayu. (Lihat Matsnawi, oleh Maulana Jalaluddin Rumi) 

Orang mestinya sadar bahwa agama yang benar seperti Islam sejati tak akan pernah terancam oleh ide-ide para filosof. Terlepas dari berbagai kekurangan dan penyimpangan ide-ide tsb, dengan pertumbuhan dan kematangan filosofis setelah melalui fasa mentah dan naifnya, doktrin-doktrin Islam akan tampil ke depan dan kebenarannya akan makin jelas. Filsafat malah jadi pelayan (Islam) yang penting dan tak terganti di satu sisi dengan menjelaskan ajaran-ajarannya yang luhur, di sisi lain dengan membelanya dari berbagai aliran pemikiran yang sesat dan berbahaya, sebagaimana telah dan akan terus ia lakukan dengan semakin baik, insya Allah. 

Perjalan ruhani dan gnostik tak sedikitpun bertentangan dengan filsafat ilahiah; bahkan ia membantu dan terbantu olehnya. Mesti dicatat bahwa serangkaian ketegangan ini benar berguna dalam menghindarkan fanatisme dan ekstrimisme, pun dalam menentukan sekian batas masing-masing. 

Karena kokoh, tak tergoyahkannya posisi akal dalam filsafat islam, tak mengemuka perlunya studi rinci tentang soalan-soalan pengetahuan secara metodis dan sitematis sebagai cabang filsafat yang mandiri. Tak lebih dari beberapa topik acak tentang pengetahuan, yang ada pada beberapa bab logika dan filsafat, dianggap memadai, misal dalam satu bahasan tentang ajaran sofis saat kekeliruannya dibahas, juga dalam bahasan tentang pembagian ilmu dan prinsip-prinsipnya. Bahkan soalan wujud akli, satu dari sekian topik relevan bagi soalan-soalan pengetahuan, tak berkembang sebagai topik mandiri hingga Ibn Sina. Bahkan setelahnya, semua sudut dan sisi dari masalah tsb belum secara serius diteliti dan dikaji. 

Menimbang kondisi yang ada kini, saat pemikiran barat telah nyaris masuk ke kultur masyarakat kita, muncul berbagai tanya tentang sekian aksioma filsafat ilahiah, soalan-soalan filosofis tak lagi dapat dibatasi pada kerangka yang lama, pembahasan tak lagi dapat dibawakan dengan cara-cara tradisional. Bukan hanya karena cara-cara tsb mencegah tumbuh kembang filsafat melalui pertukaran antar aliran pemikiran, pun menjadikan kaum terpelajar kita, yang mau tak mau telah dan akan makin akrab dengan pemikiran barat, pesimis tentang filsafat islam, menghadirkan bayang bahwa filsafat islam telah kehilangan aji dan tak mampu bersaing dengan berbagai aliran filsafat lain. Bahkan hari demi hari kecenderungan mereka kepada budaya barat makin bertambah, dengan dampak-dampaknya yang merusak. Situasi seperti ini nampak di banyak universitas kita selama rezim sebelumnya [yakni rezim Pahlevi di Iran]

Melunasi hutang kita kepada revolusi islam dan darah suci yang tumpah untuk itu, pun memenuhi tanggung jawab ilahiah kita, kita mesti menambah upaya untuk menjelaskan pondasi-pondasi filsafat dan menyebarkannya sedemikian hingga ia dapat menjawab sekian keraguan yang dimunculkan oleh berbagai aliran pemikiran yang amoral dan ateistik, pun kita mesti peduli akan kebutuhan akan keyakinan dan memungkinkannya terjangkau oleh kaum muda yang mencari dan meneliti kebenaran, sehingga pengajaran filsafat islam dapat menyebar, pada gilirannya budaya islam mampu bertahan dari rong-rongan berbagai ide asing. 

Definisi Epistemologi

Sebelum mendefinisi epistemologi [ilmu tentang pengetahuan] perlu kiranya mengurai kata pengetahuan. Kata yang semakna dengan ma'rifah dalam bahasa Arab ini memiliki beberapa penggunaan. Makna umumnya meliputi segenap mafhum, kesadaran, informasi. Kadang digunakan untuk persepsi khusus, kadang untuk pengenalan. Kadang ia digunakan untuk pengetahuan yang bersesuaian dengan realitas secara meyakinkan. Ada beberapa perdebatan dalam filologi dan etimologi tentang sinonim bahasa asingnya, yang bukan tempatnya diungkap di sini. 

Pengetahuan sebagai objek ilmu epistemologi dapat dipahami mengandung makna-makna tsb atau selainnya. Faktanya ia hanya bersandar pada kesepakatan. Namun karena sasaran telaah soalan-soalan epistemologis tidak khusus untuk pengetahuan spesifik manapun, baik digunakan saja makna lazimnya yakni setara dengan pengetahuan dalam pahaman umum. 

Konsep pengetahuan adalah satu dari sekian konsep yang paling jelas dan swabukti [membuktikan dirinya sendiri], bukan hanya tak perlu definisi, pun mustahil didefinisi, karena tak ada term lain yang lebih mafhum untuk mendefinisinya. 

Berbagai frasa dan pernyataan yang digunakan dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan dan ilmu bukanlah definisi-definisi asli. Tujuan penyebutannya adalah untuk membatasi cakupan-cakupannya dalam ilmu atau ranah studi tertentu. Misal, logikawan mendefinisi pengetahuan sebagai "beroleh bentuk sesuatu dalam benak", yang  maksud definisi ini adalah menentukan cakupan yang dimau yakni "pengetahuan tak langsung". Atau, merujuk kepada pandangan beberapa filosof ihwal soalan-soalan tertentu ontologi  yang mendefinisi pengetahuan sebagai "hadirnya wujud nonmateri pada wujud nonmateri lain", atau "hadirnya sesuatu pada wujud nonmateri". Sasaran definisi-definisi ini adalah menyatakan pandangan mereka tentang ke-nonmateri-an pengetahuan dan subjeknya. 

Jikapun kita menjabarkan pengetahuan, lebih baik dikatakan bahwa ia adalah hadirnya sesuatu itu sendiri atau bentuk tertentunya atau konsep umumnya dalam satu wujud nonmateri. Kita bilang juga bahwa tak perlu bahwa pengetahuan dan subjek yang tau harus selalu lain. Tak mustahil, sebagaimana kesadaran seorang akan dirinya, bahwa tak ada beda antara subjek dan objek pengetahuan. Nyatanya dalam kasus-kasus demikian kesatuan adalah contoh paling tepat untuk kehadiran. Per definisi kita telah menghadirkan kata pengetahuan. Dengan demikian epistemologi adalah "ilmu yang membahas pengetahuan manusia, memilah jenis-jenis, dan kriteria-kriteria kesahihannya". (Philosophical Instructions, oleh Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi)