Minggu, 02 Januari 2022

19. Nilai Pengetahuan

 Kembali ke Masalah Awal


Kita tahu bahwa masalah mendasar epistemologi adalah apakah manusia bisa mencapai kebenaran dan beroleh petunjuk mengenai kenyataan. Jika bisa, bagaimana? Apa saja patokan untuk kita membedakan konsep benar dari yang salah (dan bertentangan dengan kenyataan)? Yakni, pembahasan pokok epistemologi adalah “nilai pengetahuan”, juga hal-hal lain yang jadi pengantar dan pelengkapnya.


Karena ada bermacam jenis pengetahuan, maka wajar jika pembahasan nilai pengetahuan punya banyak sisi. Namun demikian, yang paling penting bagi filsafat adalah mencermati pengetahuan akli dan pembuktian mampu tidaknya akal memecahkan masalah epistemologi dan cabang-cabang filsafat lain.


Telah kami paparkan berbagai jenis pengetahuan yang umum, dan kita sampai pada kesimpulan bahwa ada jenis pengetahuan manusia yang tanpa perantara, yaitu pengetahuan langsung. Yakni, subjek langsung mendapatkan hakikatnya. Dalam pengetahuan semacam ini mustahil terjadi kesalahan. Namun faktanya pengetahuan semacam ini saja tak mampu memenuhi kebutuhan keilmuan manusia, maka kita bahas pula pengetahuan tak langsung dan semua jenisnya. Kami telah jelaskan pula peranan indera dan akal dalam hal itu.


Sekarang kita kembali ke pembahasan awal dan menjelaskan nilai dari pengetahuan tak langsung. Karena pengetahuan tak langsung setara dengan pembenaran dan pernyataan dalam hal kesesuaiannya dengan fakta, maka wajarnya penilaian pengetahuan tak langsung diperoleh dari sana. Jika konsep-konsep disebutkan maka secara langsung atau tidak ia adalah bagian dari pernyataan.


Apa itu Nyata?


Masalah mendasar dalam nilai pengetahuan adalah membuktikan apakah pengetahuan manusia selaras dengan kenyataan. Problem muncul saat ada perantara antara si tahu dengan yang ditahu. Si tahu dalam hal ini adalah subjek yang dikatakan berpengetahuan, sementara yang ditahu adalah objek yang disasar oleh pengetahuan. Yakni, pengetahuan kemudian berbeda dari yang ditahu. Dalam kasus tak berperantara, si tahu mendapati secara langsung yang ditahu, wajar jika tanya semacam itu tak muncul.


Karenanya, pengetahuan, yakni pengetahuan tak langsung, bisa benar dan bisa salah. Adapun pengetahuan langsung, ia pasti benar, maksudnya mustahil ia berbeda dari kenyataan.


Sementara definisi benar, yang dibahas dalam nilai pengetahuan, jelas adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan fakta yang diwakilinya. Namun, sangat mungkin ada definisi lain tentang benar. Misalnya definisi oleh kaum pragmatis, “Benar adalah konsep yang berguna bagi manusia secara praktek.” Atau definisi oleh relativis, “Benar adalah pengetahuan yang cocok dengan sistem berpikir yang sehat.” Atau definisi ketiga, “Benar adalah disetujui semua orang.” Atau definisi keempat, “Benar adalah pengetahuan yang bisa dibuktikan dengan pengalaman inderawi.” Semua ini di luar pokok masalah dan bukan jawaban atas masalah inti tentang nilai pengetahuan. Mereka dapat dipandang sebagai tanda ketak mampuan pendefinisi dalam memecahkan masalah ini. Dengan anggapan bahwa sebagiannya dimaknai secara tepat, atau dianggap sebagai definisi yang perlu untuk hal-hal khusus (meski jika definisi itu sendiri tidak tepat), yakni ia dianggap sebagai tanda-tanda khusus sebagian kebenaran, atau ia menandai beberapa istilah khusus, namun tetap saja tidak satu pun dari pembenaran ini bisa memecahkan masalah sebenarnya. Tanya tentang kebenaran dalam hal apakah pengetahuan sesuai dengan fakta tetap tak terjawab, padahal kita perlu jawab yang tepat dan terang.


Patokan Mengenali Kenyataan


Rasionalis berpegang bahwa patokan mengenali kenyataan adalah “sifat mendasar akal” (fitrah akal). Pernyataan yang disimpulkan secara tepat dari pernyataan-pernyataan yang langsung terbukti dan yang benar-benar bagian darinya maka bisa dipandang benar. Adapun pernyataan-pernyataan inderawi dan pengalaman hanya dipandang sahih jika dibuktikan dengan bantuan argumen akli. Namun demikian, kita tidak mendapati penjelasan apa pun mereka berikan tentang kesesuaian antara pernyataan yang langsung terbukti dan pernyataan fitri dengan fakta, kecuali apa yang diutarakan oleh Descartes. Ia bicara tentang kebijaksanaan dan kejujuran Tuhan dalam hal akal fitri. Kelemahannya jelas dan telah dikutip pada bab 17.


Tak diragukan bahwa akal, setelah memaknai subjek dan predikat pernyataan yang langsung terbukti, secara otomatis menilai kesatuannya, tanpa perlu pengalaman. Mereka yang ragu akan pernyataan seperti ini pasti tidak tepat memaknai subjek dan predikatnya, punya kelainan mental atau menyimpan niatan tertentu. Bahasan kita berkutat pada: entah pemahaman yang dikatakan fitri ini adalah prasyarat bagi penciptaan akal manusia, sehingga mungkin akal lain (misalnya saja akal jin) memahami pernyataan yang tepat sama namun dengan bentuk lain, atau jika akal manusia dicipta dalam cara yang lain akankah ia memahami dengan bentuk yang lain, atau apakah pahaman-pahaman ini sesuai sempurna dengan kenyataan dan adalah perwakilan dari hal-hal itu sendiri, dan bahwa maujud lain mana pun yang berakal akan paham dengan bentuk yang sama.


Pendek kata, yang dimaksud dengan pengetahuan akli bernilai dan benar adalah yang terakhir itu, namun kefitriannya saja (dengan anggapan dimaknai dengan tepat) tidak lantas menjadi bukti. Di sisi lain empirisis berpegang bahwa patokan kebenaran pengetahuan adalah kemampuannya dibuktikan dengan pengalaman, sebagiannya lagi menambahkan dibuktikan dengan pengalaman praktek.  Persoalan logika dan matematik murni tak dapat dinilai dengan patokan ini. Kedua, hasil pengalaman inderawi dan praktek mestinya dipahami dengan pengetahuan tak langsung. Tanya yang persis sama akan berulang terkait apakah yang menjamin benarnya pengetahuan tak langsung, dengan patokan apa kebenarannya didapat.


Pembahasan


Kesulitan utama terkait pengetahuan tak langsung adalah bagaimana ia dapat dinilai punya kesesuaian (dengan fakta), sementara bentuk pengenalan dan pengetahuan tak langsung ini saja yang jadi perantara kita dengan dunia luar.


Karenanya, kunci pemecahan masalah ini harus dicari sehingga kita bisa punya gambaran umum akan bentuk pahaman sekaligus apa yang dirujuknya dan kita bisa memahami kesesuaiannya secara langsung tanpa perantara satu pun. Itulah pernyataan-pernyataan batiniah. Di satu sisi kita mendapati secara langsung fakta dengan kesadaran, misalnya rasa takut itu sendiri. Di sisi lain kita memahami secara langsung bentuk akli terkaitnya. Karenanya pernyataan “Saya ada,” atau “Saya takut”, atau “Saya ragu” sepenuhnya jelas. Maka pernyataan-pernyataan (batiniah) ini adalah pernyataan-pernyataan awal yang nilainya seratus persen terbukti, tak mungkin salah. Tentunya kita harus memastikan bahwa pernyataan-pernyataan ini tak bercampur dengan tafsiran akli, seperti kami singgung pada bab 13.


Kita mendapati cara pandang demikian ada juga dalam pernyataan-pernyataan logika, yang menggambarkan bentuk akli dan konsep lain. Meski gambaran dan objeknya berada di dua tahapan akal, kedua tahapan itu hadir bagi diri (yakni subjek yang memahami). Misalnya pernyataan “Konsep manusia adalah konsep umum”, ia adalah pernyataan yang menggambarkan ciri-ciri “konsep manusia”. Satu konsep yang hadir dalam benak. Kita bisa membedakan ciri-ciri ini dari pengalaman batin, yang tanpa penggunaan indera maupun perantara bentuk akli apa pun. Kita paham bahwa konsep ini tidak hanya menggambarkan sosok tertentu, namun ia berlaku pada banyak sekali sosok. Maka pernyataan “Konsep manusia adalah konsep umum” bernilai benar.


Melalui ini cara mengenali dua kelompok pernyataan telah terbuka, namun ini saja tak cukup untuk mengenali semua pengetahuan tak langsung. Jika kita bisa beroleh jaminan akan benarnya pernyataan-pernyataan primer yang langsung terbukti kita akan berhasil, karena dalam pancarannya kita akan mengenali dan menilai pernyataan-pernyataan teoritik seperti pernyataan-pernyataan inderawi dan praktek.


Demi tugas ini kita mesti jeli memperhatikan hakikat pernyataan-pernyataan ini. Di satu sisi kita harus memeriksa konsep yang diterapkan kepadanya dan menimbang jenis apa konsepnya, bagaimana pula mereka didapat. Di sisi lain kita harus melihat hubungan di antara mereka dan menimbang bagaimana akal mampu memutuskan kesatuan antara subjek dan predikatnya.


Sisi pertama telah dijelaskan pada bab 17. Kita tahu bahwa pernyataan-pernyataan ini adalah bentuk-bentuk konsep filsafat, konsep yang berujung pada pengetahuan langsung. Yakni, kelompok pertama konsep filsafat, seperti “butuh” dan “mandiri” juga “sebab” dan “akibat” disarikan dari pengetahuan langsung dan fakultas batin. Kita mendapati kecocokan dengan sumbernya melalui kehadiran. Sebagian konsep filsafat lain juga singkatnya demikian.


Sisi kedua, yakni nilai kesatuan antara subjek dan predikatnya menjadi jelas dengan pembandingan antara subjek predikat pernyataan-pernyataan ini satu sama lain. Makna dari semua pernyataan itu analitik, yakni konsep yang predikatnya didapat dari menganalisis konsep subjek. Misal pada pernyataan “Setiap akibat perlu sebab”, saat menganalisis konsep akibat kita akan sampai pada kesimpulan bahwa akibat adalah maujud yang keberadaannya bersandar kepada maujud lain, yakni ia butuh maujud lain, yang disebut sebab. Karenanya konsep butuh akan sebab tersirat dalam konsep akibat. Kesatuannya didapat dengan pengalaman batin. Sebaliknya, dalam pernyataan “Setiap maujud perlu sebab”, karena analisis akan konsep maujud tidak didapat konsep “perlu sebab”, kita tak bisa memandangnya sebagai pernyataan yang langsung terbukti. Tidak pula ia pernyataan dugaan yang benar.


Dengan demikian menjadi terang bahwa pernyataan primer yang langsung terbukti juga berujung pada pengetahuan dengan kehadiran, maka ia mendapati dirinya terjamin benar.


Satu soal mungkin akan mengemuka, jika yang kita dapati dengan pengetahuan langsung adalah akibat khusus, bagaimana kemudian kita menarik kesimpulan umum penilaiannya kepada setiap akibat dan memandang penilaian umum demikian sebagai pernyataan yang langsung terbukti?


Jawabnya, meski men-sari-kan konsep akibat dari fenomena tertentu, kita tidak menilainya sebagai hakikat tertentu, tapi karena maujud itu terkait dengan maujud lain. Misalnya saja niat kita, yang dipandang sebagai bagian dari kualitas jiwa. Maka di mana pun kualitas ini didapat maka penilaiannya juga terjadi. Tentu saja pembenaran akan kualitas ini pada kasus lain perlu pembuktian nalar. Karena itu, pernyataan ini dengan sendirinya tak bisa menjawab perlunya materi kepada sebab. Yakni kecuali telah ada pembuktian nalar akan hubungan keberadaannya. Insya Allah akan kami jelaskan pembuktiannya pada bab sebab akibat. Dengan pernyataan yang sama kita dapat pula menilai bahwa di mana pun ada hubungan keberadaan, di situ ada pula term dan hubungan, juga keberadaan sebabnya.


Alhasil, rahasia dari terjaganya pernyataan primer yang langsung terbukti adalah kebersandarannya kepada pengetahuan kehadiran.


Nilai Benar Salah Pernyataan


Dengan paparan kami tentang patokan kebenaran menjadi jelas bahwa pernyataan yang langsung terbukti dan pernyataan batiniah punya nilai pasti. Rahasia keterjagaannya adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objeknya yang terbuktikan dengan pengetahuan langsung. Pernyataan yang tak terbukti secara langsung dinilai dengan patokan logika, yakni jika satu pernyataan didapat melalui hukum logika maka benar. Jika tidak demikian maka salah. Tentu saja harus dicermati bahwa ketidak benaran argumen tidak selalu berdampingan dengan tidak benarnya kesimpulan. Mungkin saja sesuatu yang benar disampaikan dengan argumen yang tidak benar. Karenanya, tidak sahihnya argumen hanya membuktikan ketidak kokohan kesimpulan,  bukan sandaran bagi kesalahannya secara aktual.


Mungkin sebuah keraguan akan muncul di sini. Sesuai definisi kebenaran yakni pengetahuan yang selaras dengan kenyataan, benar dan salah hanya didapat saat pernyataan dibandingkan dengan fakta di dunia luar. Pernyataan batin, bagaimanapun tak punya fakta luar. Karena ia tak bisa dipandang benar atau salah, maka ia lalu dikatakan absurd dan tak bermakna.


Keraguan ini muncul dengan asumsi bahwa fakta objektif luar adalah fakta material. Pertama, untuk menghilangkan keraguan ini perlu dicermati bahwa fakta objektif luar tidaklah terbatas pada fakta material, tetapi mencakup pula imaterial. Lebih dari itu, akan dibuktikan di tempat yang tepat bahwa imaterial jauh lebih berperan secara faktual dari materi. Kedua, fakta yang dimaksud adalah yang harus dirujuk oleh pernyataan, sementara dunia luar yang dimaksud adalah apa yang di luar konsep tentangnya. Meski fakta dan rujukan itu ada dalam akal atau batin. Seperti telah kami jelaskan bahwa pernyataan logika murni menggambarkan hal-hal batiniah lain. Hubungan antara tahap akal pernyataan dan tahap akal yang dirujuknya diibaratkan akal dan luar akal.


Karenanya patokan umum tentang benar dan salahnya pernyataan adalah sesuai tidaknya ia dengan konsep di luarnya. Yakni, pengenalan benar salah pernyataan empiris adalah pembandingan antara ia dengan fakta materialnya. Misalnya untuk menemukan benar salahnya pernyataan “Besi memuai saat dipanaskan”, kita memanaskan besi di dunia material dan mengamati perbedaan ukurannya. Adapun pernyataan logika, ia mesti diteliti dengan konsep akli lain yang terkait. Untuk menimbang benar salah pernyataan filsafat, orang harus menimbang hubungan antara bentuk akli dengan objeknya. Yaitu, ia dikata benar jika rujukan objektifnya, entah material atau imaterial selaras dengan konsep terkaitnya. Penimbangan ini terjadi secara langsung dalam hal pernyataan batiniah, terjadi dengan perantara dalam hal pernyataan lainnya, seperti dijelaskan.


Hal Itu Sendiri (Nafs al-Amr)


Kita mendapati ini dalam ungkapan banyak filosof, bahwa beberapa hal itu cocok dengan “hal itu sendiri”. Di antaranya adalah “pernyataan benar” yang sebagiannya tak punya contoh objek di dunia luar. Jika satu hal ada, maka predikat berlaku padanya, pernyataan ini akan bernilai benar. Dikatakan bahwa patokan benarnya pernyataan demikian adalah kesesuaiannya dengan hal itu sendiri. Ini karena tak semua contohnya ada di dunia luar untuk kita bisa menimbang kesesuaian antara maksud pernyataan dengannya. Tidak pula kita bisa bilang bahwa ia selaras dengan dunia luar.


Demikian pula dengan pernyataan yang terbentuk dari mafhum sekunder, seperti pernyataan logika dan pernyataan tentang ketiadaan atau kemustahilan, dikata bahwa penilaian akan benarnya adalah kesesuaiannya dengan dirinya sendiri.


Terkait pemaknaan ungkapan ini, ada beberapa kasus yang entah sangat mengada-ada atau malah tidak memecahkan masalahnya. Yang pertama misalnya ungkapan filosof yang menyatakan bahwa “hal” di sana adalah alam imaterial. Yang kedua misalnya bahwa ungkapan “nafs al-amr” adalah hal itu sendiri, ia membiarkan soalannya tak terjawab sama sekali untuk menimbang pernyataan-pernyataan ini, dengan apa ia dinilai?


Melalui bahasan benar salah pernyataan menjadi jelas bahwa maksud nafs al-amr adalah sesuatu selain maujud luar, ia adalah nama bagi maujud akli dalam banyak jenis. Dalam beberapa hal ia adalah tahap tertentu akal, seperti terkait pernyataan logika. Dalam hal lain ia adalah asumsi akan maujud luar, seperti rujukan bagi pernyataan mustahil bersatunya kontradiksi. Dalam hal ada kaitan kebetulan dengan dunia luar, seperti saat dikatakan, “Sebab bagi tiadanya akibat adalah tiadanya sebab”, maka disimpulkan bahwa kaitan sebab akibat sebenarnya adalah wujud sebab dan wujud akibat, dan kebetulan kaitan itu juga terjadi pada ketiadaannya. (Dari Philosophical Instructions, oleh M.T Misbah Yazdi)