Minggu, 20 Desember 2020

16. Empirisisme

 *Positivisme*


Sebelumnya secara ringkas kami sebutkan beberapa pahaman beserta silang pendapat yang terkait. Sekarang kami akan paparkan lebih banyak beberapa paham yang ada di barat. 


Setau kami kebanyakan pemikir barat pada dasarnya menyangkal adanya makna umum (universal). Secara alami pula mereka tak mengakui alat untuk memahami mafhum, yakni akal. 


Di masa sekarang positivis tidak hanya senada dengan itu, bahkan melangkah lebih jauh. Mereka beranggapan bahwa pahaman yang benar hanya terbatas pada mafhum inderawi. Mafhum inderawi di sini diperoleh dari kontak dengan fenomena material melalui organ indera, setelah terputus dari kaitan dengan dunia luar bertahan dalam bentuk yang lebih lemah. 


Mereka mengira manusia membangun lambang-lambang ucapan untuk objek-objek mafhum yang serupa. Saat berkata atau berpikir, ia menghadirkan semua kasus sejenis dalam benaknya. Atau, ia mengulang lambang-lambang ucapan yang tersimpan untuk kasus-kasus demikian. Demikianlah, berpikir adalah semacam percakapan dalam benak. Maka dalam pandangan mereka, apa yang disebut oleh filosof sebagai makna umum atau konsep tak lain adalah kata-kata akli yang sama. 


Saat kata mewakili objek inderawi, wujudnya dapat dikenali dengan organ dan dapat ditunjukkan kepada yang lain, itulah yang benar dan dapat diverifikasi. Jika tidak demikian maka kata yang ada sama sekali tak berarti. 


Mereka menerima sebagian saja dari konsep "apa", yakni kata-kata akli yang hakikatnya adalah wujud inderawi, yang bersifat khusus. Mereka tak menerima mafhum sekunder, khususnya konsep-konsep nonfisik, sebatas kata berarti pun tidak. Pada gilirannya mereka memandang bahasan metafisika sebagai tak ilmiah dan sepenuhnya omong kosong. 


Mereka membatasi pengalaman hanya pada pengalaman inderawi, tak peduli pada pengalaman batin yang didapat dengan kehadiran. Paling tidak mereka memandangnya tak ilmiah karena menurut mereka kata "ilmiah" hanya berlaku pada kasus-kasus yang bisa dibuktikan kepada orang lain dengan inderanya. 


Positivis memandang bahasan tentang insting, niat, dan hal-hal psikologis lain yang dipahami melalui batin sebagai tak ilmiah. Hanya perilaku lahiriah saja yang dijadikan objek penelitian psikologi ilmiah. Mereka pun mengosongkan psikologi dari isinya. 


Menurut filsafat ini, yang biasa disebut empirisisme atau empirisisme ekstrim, tak mungkin bahasan dan penelitian tentang metafisika yang ilmiah bisa menghasilkan keyakinan. Mereka pun lalu memandang semua bahasan filsafat sebagai omong kosong dan tak berarti. Mungkin filsafat belum pernah berhadapan dengan musuh lain sekeras kepala ini. Karenanya, mari kita bahas lebih banyak. 


*Kritik atas Positivisme* 


Positivisme, yang sebenarnya lazim ada pada pemikiran manusia di semua era, punya banyak cacat. Berikut akan disebutkan sebagiannya yang penting. 


1. Dengan kecenderungan ini, pondasi paling kokoh pengetahuan, yakni pengetahuan langsung, akan hilang. Demikian pula dengan pernyataan (proposisi) yang murni penalaran. 


Dengan begini penjelasan akli tak bisa lagi dihadirkan demi benarnya pengetahuan. Tidak pula pengetahuan dapat diverifikasi dengan fakta. Positivis mencoba mendefinisi pengetahuan sejati dengan cara lain. Benar dalam hal pengetahuan adalah diterima oleh orang lain, yakni dapat dibuktikan dengan pengalaman inderawi. 


Tentu saja, perubahan dalam istilah tak lantas memecahkan masalah nilai pengetahuan. Sepakat dan setujunya mereka yang tak menyelami masalah ini tidak pula lalu menjadikannya bernilai dan benar. 


2. Positivis bersandar pada mafhum inderawi, pondasi pengetahuan yang paling goyah dan dapat diragukan. Pengetahuan inderawi sangat mudah salah dibanding pengetahuan lain. Sementara pengetahuan inderawi pada hakikatnya terjadi di dalam diri, mereka telah menutup jalan bagi bukti penalaran dunia luar. Mereka tak mungkin kemudian menjawab keraguan kaum idealis. 


3. Cacat yang kami sebutkan terkait nominalis berlaku pula pada positivis. 


4. Menyatakan konsep-konsep metafisika sebagai tak berarti sangatlah aneh dan pastinya tidak tepat. Jika kata-kata yang merujuk kepada konsep-konsep tersebut secara umum kosong dari makna maka sama saja dengan omong kosong, penyangkalan atau penerimaannya akan setara. Misal, api adalah sebab panas tak akan pernah setara dengan kebalikannya. Bahkan jika seseorang menyangkal sebab akibat, pada hakikatnya ia menyangkal pernyataan yang konsepnya ia pahami. 


5. Menurut positivis tak mungkin kaidah ilmiah berlaku umum, selalu, dan pasti, karena ciri seperti ini mustahil dibenarkan oleh indera. Kaidah mereka terima hanya jika kaidah tersebut diperoleh dengan pengalaman inderawi (sementara mereka tak peduli dengan masalah yang muncul karena ketak-mampuan indera pada kesemua kasus). Yakni, kapanpun pengalaman inderawi tak bisa didapat, kita mesti diam, jangan menyangkal atau membenarkan. 


6. Kebuntuan paling mencolok yang dihadapi positivis adalah bahasan matematis, yang dijelaskan dan dipecahkan dengan konsep-konsep penalaran. Konsep yang mereka anggap tak berarti  dan aib. Sementara tak seorang bijak pun berani menyatakan pernyataan matematika sebagai tak berarti atau tak ilmiah. 


Makanya, sekelompok positivis terkini tak punya pilihan selain menerima sejenis pengetahuan akli sebagai konsep-konsep logis, dan berupaya menyertakan konsep-konsep matematis. Satu contoh konsep-konsep logis membingungkan di antara konsep-konsep lain. 


Cukuplah menunjukkan keluputan mereka dengan menilik bahwa konsep-konsep matematis berlaku di dunia luar, misalnya dalam istilah-istilah teknis, pensifatannya ada di dunia luar. Sementara ciri konsep-konsep logis adalah bahwa mereka tidak berlaku kecuali hanya pada konsep-konsep dalam akal. 


*Mafhum Inderawi atau Mafhum Akli* 


Di antara para filosof barat ada penganut empirisisme selain positivisme, yang lebih lunak dan kurang bermasalah. Kebanyakannya menerima mafhum akli, namun tetap percaya bahwa mafhum inderawi adalah lebih utama. Ada pula lawan mereka yang percaya bahwa mafhum akli lebih utama. 


Bahasan dengan tema besar "lebih utama mafhum inderawi atau akli" terbagi dua. 


Kelompok pertama terkait penilaian terhadap pengetahuan inderawi dan akli, serta memilih yang lebih utama di antaranya. Ini dibahas dalam nilai pengetahuan. 


Kelompok lainnya berkenaan dengan saling lepas atau saling terkaitnya mafhum satu dengan mafhum lain. Apakah mafhum inderawi dan mafhum akli terpisah dan saling lepas? Atau mafhum akli dalam kerangka besarnya terkait dengan mafhum inderawi? 


Kelompok kedua ini bisa dibagi ke dua bagian lagi. Pertama terkait bahasan gambaran, kedua terkait bahasan pembenarannya. 


Sub tema pertama yang kita bahas adalah keutamaan gambaran inderawi atau gambaran akli. 


Setelah memahami konsep dalam bentuk makna umum, dan memahami kemampuan khas akal berupa penalaran, pertanyaan berikut muncul dengan sendirinya. Apakah fungsi akal hanya mengubah bentuk dan mengabstraksi dan membentuk gambaran umum mafhum inderawi? Atau ia punya mafhum mandiri sedemikian sehingga mafhum inderawi paling jauhnya adalah sebagai pernyataan yang dinilai (premis) dengan mafhum akli? 


Mereka yang meyakini keutamaan mafhum inderawi memandang bahwa akal tak punya fungsi selain abstraksi, membentuk gambaran umum, serta mengubah bentuk mafhum inderawi. Yakni, tak ada mafhum akli yang tak mengikuti mafhum inderawi. 


Berseberangan dengan itu, kaum rasionalis barat percaya bahwa akal punya mafhum mandiri yang secara alami dihasilkan dari wujudnya, yang bersifat fitrah. Akal tak perlu mafhum apapun sebelumnya untuk beroleh mafhum akli ini. 


Alhasil, pandangan yang tepat adalah bahwa mafhum atau gambaran akli yang bermakna umum selalu diawali mafhum-mafhum lain yang bermakna khusus dan tertentu. Kadang berupa pengetahuan langsung, yang pada dasarnya bukanlah gambaran. Bagaimanapun, akal tak berfungsi mengubah bentuk mafhum inderawi. 


Sub tema kedua adalah tentang keutamaan mafhum inderawi atau mafhum akli dalam pembenarannya. Ini mesti dipandang sebagai bahasan mandiri, tidak sebagai cabang bahasan sebelumnya. Ia memunculkan tanya, apakah pembenaran adalah mafhum inderawi lanjutan setelah beroleh konsep akli sederhana, atau pembenaran adalah mafhum inderawi mandiri. Apakah pembenaran akan kesatuan antara subjek dan predikat dalam pernyataan predikatif selalu bergantung pada pengalaman inderawi? Apakah penilaian berupa kesesuaian atau perlawanan antara pernyataan sebab (anteseden) dan pernyataan akibat (konsekuen) dalam pernyataan bersyarat selalu bergantung pula pada pengalaman inderawi? Dapatkah akal melakukan penilaian mandiri setelah beroleh konsep khayali yang cukup, atau ia perlu bantuan dari pengalaman inderawi? 


Maka tak benar bahwa mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi akan punya pandangan sama tentang pembenarannya. Sangat mungkin mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi di satu sisi, percaya dengan utamanya mafhum akli di sisi lain. 


Mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi dalam pembenaran biasa disebut empirisis. Mereka percaya bahwa akal tak bisa menilai tanpa bantuan pengalaman inderawi. 


Mereka yang percaya dengan utamanya mafhum akli dalam hal pembenaran, percaya bahwa akal punya mafhum penilaian mandiri yang terlepas dari pengalaman inderawi. 


Rasionalis barat biasanya menganggap mafhum ini sebagai fitrah akal. Mereka percaya bahwa akal dicipta sedemikian sehingga ia paham pernyataan-pernyataan seperti itu secara otomatis. 


Namun, pandangan yang tepat adalah bahwa pembenaran akli adalah mandiri, entah terpicu dari pengetahuan langsung atau dari analisis konsep-konsep akli serta pembandingan interrelasinya. Hanya dengan meluaskan cakupan istilah "pengalaman" hingga mencakup pengetahuan langsung, penyaksian batin, dan pengalaman psikologis saja mereka dapat menerima semua pembenaran akli sebagai sebuah pengalaman. Bagaimanapun, pembenaran akli tak selalu butuh pengalaman inderawi atau pemakaian indera. 


Hasilnya, pendapat kaum empirisis maupun pendapat kaum rasionalis tentang gambaran atau pembenaran, tidak sepenuhnya tepat. Pandangan yang tepat dalam masing-masing kasus adalah bahwa mafhum-mafhum inderawi tertentu adalah utama bagi akal. Dalam hal gambaran, konsep akli bukanlah perubahan bentuk gambaran inderawi. Dalam hal pembenaran, akal tak perlu pengalaman inderawi untuk penilaiannya. 


(Dari Philosophical Instructions, oleh M.T Misbah Yazdi)


Jumat, 04 Desember 2020

15. Konsep Umum

 *Macam Konsep* 


Konsep-konsep (makna) umum yang dipakai dalam ilmu akli (ilmu penalaran) ada 3 macam.


1. Konsep "apa", atau mafhum pertama, seperti konsep manusia dan konsep putih; 


2. Konsep filsafat, seperti konsep sebab dan konsep akibat; 


3. Konsep logika, seperti konsep konversi dan konsep kontraposisi. 


Perlu dicamkan bahwa ada jenis-jenis konsep umum lain yang dipakai dalam akhlak dan hukum, akan dirujuk kemudian. 


Pengelompokan yang dilakukan oleh filosof Islam tersebut punya banyak penggunaan, akan banyak disinggung kemudian. Kekurang tepatan dalam pengenalan dan pembedaan satu dengan lainnya bisa menimbulkan bingung dan kesulitan dalam bahasan filsafat. Kebanyakan filosof barat terdahulu kebingungan tentang posisi konsep-konsep tersebut. Silahkan cermati, misalnya, kata-kata Hegel dan Kant. Karenanya konsep-konsep tersebut kita bahas lebih jauh. 


Konsep umum adalah predikat bagi wujud eksternal, atau predikat bagi wujud mental. 


Predikat bagi wujud eksternal dalam istilah teknis dikatakan memiliki pensifatan eksternal. Misalnya konsep manusia yang dipredikatkan kepada Hasan, Husain, dst. Dikatakan "Hasan adalah manusia." 


Predikat bagi wujud dan bentuk akli, secara teknis dikatakan memiliki pensifatan akli. Contohnya adalah konsep umum dan konsep khusus dalam istilah logika. Yang pertama adalah atribut bagi konsep manusia. Sementara yang kedua adalah atribut bagi konsep Hasan. Kadang predikasi semacam ini disebut konsep logika, atau mafhum logika sekunder. 


Konsep yang dipredikatkan ke wujud eksternal dibagi ke dua kelompok. Pertama adalah konsep yang secara otomatis didapat dari kasus-kasus khusus. Saat persepsi muncul dari indera atau intuisi, seketika akal beroleh konsep umum. Seperti konsep "putih" yang seketika muncul setelah melihat benda putih. Atau konsep "takut" yang muncul seketika setelah mengalaminya. Konsep demikian disebut konsep "apa" atau mafhum pertama.  


Ada kelompok konsep lain yang pemisahannya perlu upaya akli dan pembandingan hal. Seperti konsep sebab dan konsep akibat. Keduanya dipisahkan dengan memperhatikan kaitannya, setelah membandingkan dua hal sedemikian bahwa satu wujud bergantung pada yang lain. Contohnya saat kita membandingkan api dengan panasnya, kita sadari  bergantungnya panas pada api. Akal mendapati konsep sebab dari api dan konsep akibat dari panas. Jika tak ada perhatian dan pembandingan, konsep semacam ini tak akan didapat. Andai api dilihat ribuan kali, pun panas dirasakan ribuan kali, namun tak ada pembandingan antara keduanya selain kesan lahiriahnya, maka konsep sebab dan konsep akibat tak akan didapat dari keduanya. Konsep semacam ini disebut konsep filsafat atau mafhum sekunder filsafat. 


Dalam istilah teknis dikatakan:


Terjadi (arud) dan penyematan (ittisal) mafhum pertama bersifat eksternal. 


Terjadinya mafhum filsafat sekunder bersifat akli tapi penyematannya bersifat eksternal. 


Terjadi dan penyematan mafhum logika sekunder bersifat akli. 


Definisi dan penerapan ungkapan "kejadian akli" dan "kejadian eksternal" pun penunjukan "konsep filsafat" dan "mafhum sekunder" masih diperdebatkan. Kami memandangnya hanya sebagai istilah teknis dan menilainya sebagaimana disebutkan. 


*Ciri Masing-masing Konsep* 


1. Konsep logika hanya berlaku pada konsep dan wujud akli, maka hanya dapat dikenali dengan perhatian yang cukup. 


2. Konsep "apa" menggambarkan keapaan benda dan menentukan batas-batas wujudnya. Seperti rangka kosong wujud, kadang ia disebut rangka konseptual. Ia dipakai oleh banyak ilmu kealaman. 


3. Konsep filsafat tak diperoleh kecuali melalui pembandingan dan analisis. Saat diterapkan pada wujud eksternal ia menggambarkan jenis wujud (bukan batas-batas keapaannya). Konsep sebab misalnya, dikaitkan dengan api tapi tidak dalam hal zatnya. Ia menggambarkan api dalam kaitannya sebagai punya dampak, gambaran yang juga ada pada hal-hal lain. Ciri konsep filsafat yang demikian kadang kemudian ia ditafsirkan tak punya rujukan nyata. Meski dapat diperdebatkan dan perlu penjelasan lanjut, konsep filsafat kadang dikatakan bersifat akli semata. 


4. Konsep filsafat tak punya konsep atau mafhum khusus. Kita tak mendapati dalam akal bentuk khusus dari sebab, akibat, atau konsep filsafat yang lain. 


Sementara untuk setiap konsep umum yang terkait indera, khayalan, atau rasa, beda yang ada adalah pada keumuman dan kekhususannya. Maka itu semua adalah konsep "apa", bukan konsep filsafat. 


Perlu dicatat bahwa kebalikan dari sifat-sifat ini tak kemudian berlaku umum bagi konsep "apa". Yakni, bagi setiap konsep "apa" tidak lantas ada bentuk inderawi, khayali, atau rasa. Misal, konsep "jiwa" adalah konsep jenis dan konsep "apa", namun ia tak punya bentuk akli khusus. Yang wujudnya hanya dapat disadari dengan pengetahuan langsung. 


*Konsep Relatif* 


Istilah relatif (iitibari) yang dibahas dalam filsafat seringnya ambigu, punya banyak makna. Perlu kejelian dalam memilah makna-makna tersebut agar tak bingung dan salah kaprah. 


Ada yang berpendapat semua mafhum sekunder, logika maupun filsafat, adalah relatif, termasuk konsep wujud sendiri adalah relatif. Istilah ini banyak digunakan oleh Shaikh al-Ishraq dalam buku-bukunya. 


Pendapat lain menyatakan istilah relatif berlaku pada konsep hukum dan akhlak. Para pakar mutakhir menyebutnya konsep nilai. 


Pendapat ketiga menyatakan konsep relatif adalah yang dibangun hanya dengan khayalan, tanpa wujud eksternal maupun akli. Seperti konsep pegasus. Konsep demikian disebut juga fantasi. 


Konsep relatif dimaknai pula sebagai berlawanan dengan konsep mendasar (asalat). Ini dipakai dalam bahasan tentang kemendasaran wujud (asalat wujud) atau kemendasaran apa (asalat mahuwiyat). Ini akan dibahas pada tempat yang tepat. 


Berikut akan dijelaskan konsep relatif dengan makna "nilai" secukupnya saja. Adapun bahasan yang lebih rinci tentang topik ini bisa disimak dalam filsafat akhlak atau filsafat hukum. 


*Konsep dalam Ilmu Akhlak dan Ilmu Hukum* 


Setiap tema akhlak atau hukum dimaksud mengandung konsep seperti mesti dan mesti tidak (harus dan tidak boleh), perlu dan terlarang, dan seterusnya, yang bisa menjadi predikat pernyataan. Demikian pula konsep seperti adil dan zalim, amanah dan khianat, bisa menjadi subjek pernyataan. 


Memandang konsep demikian kita dapati mereka bukanlah konsep apa melainkan konsep relatif, karena mereka tak punya wujud eksternal. Misal konsep pencuri, yang menjadi atribut, bukan karena ia adalah sifat bawaan, tapi karena seorang mengambil harta orang lain. 


Konsep harta misalnya, kita dapati meski berlaku pada emas dan perak, bukanlah karena mereka logam atau barang tertentu. Itu adalah karena mereka diinginkan dan bisa jadi alat memenuhi kebutuhan. 


Dari cara pandang lain, penguasaan harta oleh seseorang adalah gambaran bagi konsep lain yakni "kepemilikan" yang juga tak punya wujud luar. Ia adalah penanda seseorang dengan atribut "pemilik" dan penanda emas dengan atribut "milik". Ia tak mengubah hakikat orang pun emas tersebut. 


Jadi, ungkapan demikian punya ciri khusus yang bisa dibahas dari berbagai cara pandang. 


Satu dari cara pandang yang ada adalah kebahasaan dan tekstual. Yakni untuk makna seperti apa ia pada awalnya berlaku? Bagaimana pula maknanya berubah hingga sampai ke yang sekarang? Apakah penggunaan makna ini tekstual atau metaforik? 


Demikian pula siapapun bisa membahas istilah-istilah yang bersifat arahan dan paparan. Apa pula maksud sebuah arahan. Apakah istilah akhlak dan hukum yang ada bersifat arahan atau paparan. 


Bahasan demikian terkait cabang kebahasaan dan keilmiahan. Para pakar usul fikih telah banyak meneliti dan menyelidiki hal-hal ini. 


Cara pandang lain konsep demikian adalah tentang bagaimana ia diperoleh. Bagaimana pula mekanisme berpindahnya perhatian dari konsep ke konsep. Yang ini mesti diulik dalam psikologi. 


Cara pandang lain konsep demikian adalah tentang bagaimana ia terkait dengan wujud objektifnya. Apakah konsep itu juga didapat oleh akal tanpa kaitan dengan wujud luar. 


Misalnya apakah konsep mesti dan mesti tidak, pun konsep nilai lainnya sepenuhnya lepas dari konsep-konsep lain yang dibangun oleh kemampuan akli yang khas. Apakah mereka semacam gambaran kesukaan dan kecenderungan masyarakat. Apakah konsep demikian terkait wujud objektif, atau diabstraksi darinya. 


Apakah pernyataan akhlak dan pernyataan hukum bersifat paparan? Apakah mereka bernilai absolut? Bisa benar atau salah? Ataukah mereka bersifat arahan sehingga tak bisa dikatakan benar atau salah? 


Dalam hal kebenaran mutlak dibayangkan dari mereka, apakah batasan benar dan salahnya. Dengan patokan seperti apa benar dan salah dikenali? Bagian ini terkait epistemologi, mestilah dibahas. 


Berikut kami sampaikan sedikit paparan tentang konsep sederhana akhlak dan hukum. Di bagian akhir bahasan epistemologi kami akan kupas penilaian terhadap pernyataan nilai. Akan diisyaratkan pula beda antara pernyataan akhlak dan pernyataan hukum. 


*Mesti dan Mesti Tidak* 


Ungkapan mesti dan mesti tidak digunakan dalam hal perintah dan larangan. Dalam beberapa bahasa ia diungkapkan dengan satu imbuhan (dalam bahasa Arab misalnya, huruf lam menandai perintah dan kata la menandai larangan). 


Dalam tiap bahasa yang kami kenali, kita dapat mengganti bentuk perintah dan larangan. "Anda mesti mengatakan itu" menggantikan "Katakan itu!". "Anda mestinya tidak mengatakannya" menggantikan "Jangan mengatakannya!". Namun kadang mereka dalam pola konsep lepas bermakna perintah dan larangan, seolah pernyataan paparan. "Wajib bagi anda mengatakan itu" alih-alih ungkapan arahan "Katakan itu!" 


Teknik retorik demikian ada pada banyak bahasa, namun tak bisa dipandang sebagai kunci soalan-soalan filosofis. Siapapun tak bisa begitu saja memperlakukan ungkapan hukum sebagaimana arahan, meski dalam beberapa kasus pernyataan arahan dapat menggunakan kalimat paparan. 


Ungkapan "mesti" yang dipakai dalam pernyataan kadang tidak mungkin menyatakan nilai. Ia kadang dinyatakan sebagai imbuhan atau kata. Semakna dengan ungkap "wajib" atau "perlu" misalnya. Ini didapat misalnya saat guru di laboratorium bilang kepada satu muridnya "Anda mesti mencampurkan sodium dengan klorin untuk membuat garam." Didapat pula misalnya saat dokter bilang kepada satu pasiennya "Anda mesti meminum obat ini hingga kondisi anda membaik." 


Jelas bahwa tujuan dari ungkapan demikian adalah menunjukkan hubungan antara mencampur bahan-bahan kimia dengan hasil reaksinya. Menunjukkan pula hubungan antara minum obat dengan kesembuhannya. Mereka tak lain kecuali mengungkapkan hubungan antara sebab dan akibatnya. 


Dalam istilah filsafat "mesti" di sini menyatakan syarat deduktif antara pendahuluan dan akhirannya, antara sebab dan akibatnya. Jika kejadian tertentu (sebab) tak terjadi maka hasilnya (akibat) tak akan ada. 


Saat ungkapan demikian dipakai dalam kerangka hukum dan akhlak, mereka beroleh sisi "nilai". Berbagai pandangan dihadirkan tentang ini, di antaranya: tujuan istilah demikian adalah untuk menyatakan kecenderungan dan keberatan secara pribadi atau bersama. Jika diungkapkan dalam bentuk kalimat paparan maka artinya tak lain adalah kecenderungan. 


Lebih tepatnya begini, ungkapan demikian tidak secara langsung menunjuk objek kecenderungannya tapi lebih kepada menunjuk nilainya, sementara objek kecenderungan tersebut telah mafhum dengan penandaan yang ada. Tujuan utamanya adalah menegaskan hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan sasaran akhlak dan hukumnya. 


Contohnya saat jaksa bilang "Penjahat ini mesti dihukum." Meski sasaran tindakannya tak dinyatakan, sebenarnya ia ingin menghadirkan kaitan antara hukuman dengan sasaran hukum, yakni keamanan di masyarakat. 


Demikian pula saat seorang penasihat akhlak bilang "Hutang mestilah dibayarkan kepada pemberi hutang." Ia ingin menggambarkan kaitan antara tindakan dan sasaran moralnya, semisal kesempurnaan insani atau kebahagiaan abadi. 


Senada dengan itu jika seorang jaksa ditanya "Mengapa penjahat mesti dihukum?" ia akan bilang "Jika para penjahat tidak dihukum kekacauan dan anarki akan terjadi di masyarakat." Seorang penasihat akhlak pun jika ditanya "Mengapa hutang mesti dikembalikan kepada pemberi hutangnya?" jawab yang sesuai patokan filsafat akhlak akan diberikan. 


Dengan demikian konsep "mesti" juga "kewajiban" akhlak dan hukum adalah juga mafhum filsafat sekunder. Jika ada kemungkinan makna lain, atau jika ada kemungkinan penggunaan lain, maka itu adalah semacam variasi ungkapan. 


*Subjek Pernyataan Hukum dan Akhlak* 


Ada kelompok konsep lain yang biasa dipakai dalam pernyataan hukum dan akhlak sebagai subjek, seperti keadilan, kezaliman, kepemilikan, dan pernikahan. Mereka kadang dibahas dari cara pandang asal kata dan perkembangannya, secara harfiah maupun metaforik, yang tentu saja kental dengan studi literatif dan kebahasaan. 


Pendeknya bisa dikatakan bahwa kebanyakan darinya dipinjam dari konsep "apa" dan konsep filsafat dan dipakai dengan makna umumnya. Selain itu, disesuaikan dengan kebutuhan praktis manusia dalam konteks pribadi dan masyarakat. 


Contohnya: untuk mengendalikan kecenderungan (nafsu) dan membatasi perilaku secara umum, batas-batas pelanggaran dinamai kezaliman dan tirani. Lawannya dinamai keadilan dan kepantasan, di sini terkait perlunya menandai penguasaan seseorang atas harta yang diperoleh dengan cara-cara tertentu. Adapun jenis penguasaan atas harta, yang disepakati bersama, adalah kepemilikan. 


Layak dipertanyakan dari cara pandang epistemologi, apakah konsep demikian hanya bersandar pada kecenderungan seorang atau sekelompok orang. Apakah mereka tak punya kaitan dengan hakikat objektif yang bebas dari kecenderungan seorang atau sekelompok orang? 


Yakni, apakah konsep demikian dipengaruhi oleh analisis akli? Atau seseorang bisa mencari sandaran bagi konsep-konsep itu di hakikat eksternal, sehingga bisa dianalisis dan dijelaskan sebagai sebab akibat? 


Dalam konteks ini pendapat yang tepat begini. Konsep demikian, meski berupa kesepakatan dan pada beberapa kasus bisa ditafsirkan masing-masing, secara umum bukannya tak terkait wujud luar dan bukan di luar jangkauan hukum sebab akibat. Kesahihannya bersandar pada kebutuhan manusia, yang mafhum, dalam meraih kebahagiaan dan kesempurnaan insani. 


Pengenalan ini, seperti banyak kasus lainnya, kadang benar dan sesuai fakta, kadang salah dan menyalahi kenyataan. Sangat mungkin seseorang memberlakukan aturan demi kepentingan pribadinya, bahkan memaksakannya di tengah masyarakat dengan kuasa. Bagaimanapun, tak bisa dikatakan bahwa aturan itu ngawur dan tanpa patokan. Dengan alasan yang sama maka ia kemudian bisa dikritisi, sebagian kesepakatan bisa diiyakan sementara sebagian lainnya ditidakkan. Bagi masing-masingnya alasan dan argumen bisa diberikan. 


Jika sebuah aturan hanyalah ungkapan kecenderungan pribadi, seperti selera dalam warna favorit atau cara berpakaian misalnya, maka ia tak layak dipuji tak pula disalahkan. Persetujuan dan penolakan tak akan punya makna selain kesamaan dan perbedaan dalam selera. 


Alhasil, nilai konsep demikian, meski bergantung pula pada kesepakatan dan persetujuan, dipandang sebagai lambang relasi hakiki yang objektif antara perbuatan manusia dengan hasilnya. Malah, konsep kesepakatan dan persetujuan ini sebenarnya disandarkan pada relasi nyata dan kebahagiaan sejati. 


(Dari Philosophical Instructions, oleh M.T Misbah Yazdi)