Kamis, 12 November 2020

14. Pengetahuan Tak Langsung

 Telah kita pahami pengetahuan langsung adalah mendapati fakta tanpa perantara, dan karenanya tak ada celah bagi ragu atau tanya tentang validnya. Namun kita sadar bahwa cakupan pengetahuan langsung terbatas dan secara mandiri tak bisa menyajikan solusi bagi sekian banyak soalan epistemologi. 


Jika tak ada cara memastikan fakta-fakta melalui pengetahuan tak langsung, secara logis kita tak akan bisa membenarkan teori  keilmuan apapun. Bahkan, prinsip-prinsip dasar swabukti bisa kehilangan kepastian dan keniscayaannya, dengan hanya menyisakan label swabukti dan niscaya. Karenanya, kita perlu terus berupaya mengevaluasi pengetahuan tak langsung dan beroleh kriteria-kriteria validnya. Untuk itu berikut kita akan mengulas berbagai macam pengetahuan tak langsung. 


*Gambaran dan Pembenaran*


Logikawan membagi pengetahuan menjadi dua: gambaran (tasawwur) dan pembenaran (tasdiq). Mereka bahkan mendefinisi konsep pengetahuan sebagai pengetahuan tak langsung. Memperluas batasnya hingga mencakup pula gambaran sederhana. 


Makna harfiah tasawwur adalah "membentuk gambaran" dan "beroleh bentuk". Adapun bagi logikawan artinya penampakan akli sederhana yang bersifat menyingkap sesuatu di luar dirinya. Semisal gambaran akli Gunung Damavand dan konsep gunung. 


Makna harfiah tasdiq adalah "menganggap valid" dan "mengiyakan". Sementara bagi logikawan dan filosof maksudnya serupa, dan tampaknya multitafsir: 


a. Pernyataan logika yang secara garis besar mencakup subjek, predikat, dan penilaian berupa penyatuan [pernyataan positif, contoh: Saya ada.]; 


b. Penilaian an sich yakni hal sederhana dan menunjukkan keyakinan orang akan menyatunya subjek dan predikat. 


Sebagian logikawan barat modern menggambarkan "pembenaran" ini sebagai berpindahnya akal dari satu gambaran ke gambaran lain bersandar pada pola keterkaitan gambaran. Namun pahaman ini keliru, karena pembenaran tak selalu ada pada keterkaitan gambaran. Tidak pula keterkaitan gambaran harus ada pada setiap pembenaran. Tepatnya, pembenaran adalah penilaian, dan inilah beda sebenarnya antara proposisi dari sekian gambaran yang saling berjajar tersemat di akal tanpa kaitan satu sama lain. 


*Unsur-unsur Pernyataan*


Kita tau "pembenaran" sebagai bentuk penilaian adalah hal sederhana, namun sebagai bentuk pernyataan ia tersusun atas beberapa unsur. Ada beda pendapat tentang unsur-unsur penyusun pernyataan logika. 


Karena menilik satu-satu sekian pendapat tersebut akan menjadikan bahasan kita panjang lebar, di sini kita akan melihat sekilas saja. Sebagian orang bilang bahwa pernyataan predikatif terdiri atas dua unsur: subjek dan predikat. Sebagian lain menambahkan kaitan antara kedua unsur tadi sebagai unsur ketiga. Yang lain lagi menambahkan penilaian akan ada tidaknya kaitan sebagai unsur keempat. 


Sebagian membedakan pernyataan positif dan negatif dan bilang bahwa pada pernyataan negatif tidak ada penilaian, lebih tepatnya mereka katakan sebagai negasi penilaian. Yang lain menyangkal adanya kaitan pada "pernyataan keberadaan" (halliyyah basitah). Pernyataan keberadaan adalah pernyataan logika yang menyatakan subjek sebagai ada, di dunia luar. 


Tidak pula dibilang ada kaitan pada predikasi primer, yakni pernyataan yang subjeknya semakna dengan predikat. Seperti "manusia adalah hewan berakal." 


Bagaimanapun, tak satupun pernyataan logika tanpa kaitan atau penilaian. Sebagaimana kami katakan, pembenaran adalah penilaian, sementara penilaian adalah mengenai kedua unsur pernyataan. Dan, kadang kita mesti membedakan pernyataan bersudut filosofis dari pernyataan bersudut ontologis. 


*Pembagian Gambaran Akli*


Gambaran akli kadang dibedakan menjadi dua: umum [universal] dan khusus [partikular]. "Gambaran umum" adalah konsep yang dapat mewakili banyak hal atau banyak orang. Misal konsep "manusia" yang dapat diterapkan pada sekian juta sosok. "Gambaran khusus" adalah bentuk akli yang hanya mewakili satu wujud. Misal bentuk akli Sokrates. 


Masing-masing gambaran akli, baik umum maupun khusus, lebih jauh dapat dibagi sebagai berikut. 


Gambaran inderawi: fenomena sederhana dalam jiwa yang dihasilkan dari efek-efek relasi antara indera dengan realitas material. Misal gambar pemandangan yang dilihat dengan mata, atau suara yang didengar dengan telinga. Keberlangsungan gambaran ini bergantung pada hubungan langsung dengan dunia luar, setelah kontak dengan dunia eksternal terputus ia segera menghilang (sekitar sepersepuluh detik). 


Gambaran imajiner: fenomena khas sederhana dalam jiwa yang dihasilkan dari gambaran inderawi, dan dari kaitan dengan dunia luar. Namun keberlangsungannya tak bergantung pada kaitan langsung dengan dunia luar. Misal gambaran mental dari pemandangan sebuah taman yang tetap ada dalam benak meski setelah mata tertutup, dan dapat diingat kembali bahkan setelah bertahun kemudian. 


Gambaran perasaan: banyak filosof menyebutkan gambaran akli tertentu yang terkait dengan makna-makna khas. Ia dicontohkan dengan perasaan benci sebagian hewan terhadap sebagian hewan lain, yang memicu mereka untuk pergi menjauh. Sebagian filosof memperluas istilah ini hingga mencakup sebagian besar makna khusus, termasuk perasaan suka dan benci pada manusia. 


Tentu, konsep umum perasaan suka dan benci adalah gambaran akli yang umum (universal). Itu semua tak bisa dihitung sebagai jenis gambaran khusus (partikular). 


Kesadaran akan perasaan suka dan benci tertentu dalam diri si subjek. Perasaan suka atau benci yang ia rasakan terhadap dirinya atau selainnya, adalah benar-benar sejenis pengetahuan langsung tentang kualitas jiwa. Maka, kita tak dapat memandangnya sebagai pengetahuan tak langsung. 


Perasaan kita terkait kebencian orang lain, tak seperti itu, bukanlah perasaan tanpa perantara. Ia adalah pembandingan keadaan yang ia dapati dalam dirinya lalu dialamatkan kepada orang lain dalam kondisi serupa. Adapun penilaian tentang kesadaran hewan-hewan, tampaknya perlu pembahasan berbeda yang tak mungkin kita sertakan di sini. 


Yang dapat dipandang sebagai gambaran khusus adalah gambaran akli yang dihasilkan dari kondisi-kondisi jiwa, yang mungkin diingat kembali. Sebagaimana gambaran imajiner terkait gambaran inderawi, semisal mengingat rasa takut spesifik yang hadir di saat tertentu. Atau, perasaan suka spesifik yang ada di momen tertentu. Kadang gambaran perasaan ini dinyatakan tidak terkait dengan realitas manapun dan disebut "fantasi". 


*Gambaran Umum Akli (Universal)*


Telah kita lihat bahwa gambaran akli dapat dibagi ke dua bagian, umum (universal) dan khusus (partikular). Gambaran akli yang telah kita bahas sejauh ini adalah gambaran khusus. Gambaran umum, yakni "konsep-konsep akli" atau "mafhum" adalah pusat perdebatan filosofis yang penting, pun sejak dulu menjadi topik diskusi. 


Dari zaman kuno ada pandangan bahwa pada dasarnya tak ada konsep yang berlaku umum. Istilah-istilah yang digunakan untuk menunjuk konsep umum hakikatnya adalah semacam istilah ambigu yang menunjuk banyak hal. Misal, istilah "orang" yang digunakan untuk menunjuk banyak sosok adalah seperti nama diri yang digunakan oleh beberapa keluarga untuk menamai anak-anaknya, atau seperti sebuah nama keluarga yang berlaku pada semua anggotanya. 


Para pendukung teori ini dikenal sebagai "nominalis". Pada akhir abad pertengahan William dari Ockham condong pada teori ini, kemudian diiyakan oleh Berkeley. Di zaman modern, positivis dan beberapa aliran lain dipastikan berpegang pada posisi serupa. 


Teori lain yang serupa dengan itu adalah bahwa gambaran umum adalah gambaran khusus yang mengambang, yakni beberapa bagian yang khusus dan spesifik dapat diabaikan sehingga bisa sesuai dengan hal atau sosok lain. Misal, gambaran kita tentang sosok tertentu dapat diterapkan kepada saudaranya dengan menghapus beberapa bagian. Dengan menghapus lebih banyak bagian lain ia bahkan dapat diterapkan pada lebih banyak orang. Demikian seterusnya gambaran akli jadi lebih umum dan berlaku pada jauh lebih banyak orang hingga akhirnya bahkan dapat diterapkan pada hewan-hewan, atau bahkan tanam-tanaman dan bebatuan.  Seperti bayangan yang nampak dari kejauhan, karena samar ia dapat sesuai dengan gambaran batu, pohon, hewan, atau orang. Inilah sebabnya pada kilasan pertama kita ragu apakah itu orang atau yang lain. Semakin mendekat dan semakin jelas kita lihat, semakin terbatas cakupan dan kemungkinannya. Hingga akhirnya, kita mendapati sosok atau hal yang tertentu. 


Hume meyakini semacam itu tentang gambaran umum, dan banyak lagi yang berpandangan demikian tentang gambaran umum (universal). 


Di sisi lain ada filosof kuno, seperti Plato. Mereka berkeras akan keberadaan konsep umum, dan bahkan memandangnya memiliki semacam wujud mandiri di luar lingkup ruang-waktu. Gambaran umum (universal) adalah semacam pengamatan terhadap wujud nonmateri dan model akli (gambaran akli Platonis). 


Teori ini telah ditafsirkan dalam berbagai cara dan banyak teori lain bersumber darinya. Yakni, sebagian berpandangan bahwa jiwa manusia sebelum beroleh tubuh telah melihat hakikat akli di alam immateri. Setelah beroleh tubuh ia lupa.  Dengan melihat sosok-sosok material, jiwa diingatkan lagi kepada hakikat-hakikat immateri. Pahaman akan gambaran umum (universal) adalah pengingatan ini. Adapun mereka yang tak mengakui wujud jiwa sebelum melekat pada tubuh, memahami pahaman inderawi sebagai alat bagi diri mempersiapkan pengamatan wujud immateri. 


Pengamatan yang didapat dengan kemampuan ini adalah pengamatan dari kejauhan. Pahaman akan gambaran umum adalah pengamatan serupa akan wujud-wujud nonmateri dari kejauhan. Ia berbeda dari penyingkapan mistis, yang didapat dengan persiapan tertentu, teramati dari dekat. 


Sebagian filosof Islam, seperti Mulla Sadra dan Allamah Tabatabai mengiyakan tafsiran ini. 


Teori paling mafhum akan gambaran umum adalah bahwa itu adalah konsep akli khas yang disadari dengan label keumuman dalam tingkatan (martabah) benak tertentu. Bahkan benak sendiri ada yang mendefinisi sebagai alat memahami gambaran umum. Teori ini dialamatkan kepada Aristoteles dan diiyakan oleh hampir semua filosof Islam. 


Teori yang pertama dan kedua berdampak pada penyangkalan pahaman akli. Itu merupakan titik tumpu penolakan metafisika dan peremehan diskusi literatif serta analisis kebahasaan. Karenanya penggalian lebih dalam tentang hal ini penting, untuk beroleh pondasi yang kokoh bagi diskusi kita kemudian. 


*Tentang Gambaran Umum*


Nominalis berpandangan bahwa gambaran umum melibatkan semacam ekuivokasi atau semacamnya sehingga bisa mengacu kepada banyak hal. Karenanya, untuk menjawab mereka dengan pasti perlu kiranya  penjelasan tentang ambiguitas (mustarak lafzi) dan makna umum (mustarak maanawi). 


Ambiguitas (mustarak lafzi) adalah ungkapan tertentu yang digunakan untuk beberapa objek berbeda. Ia terjadi saat satu kata memberikan beberapa penunjukan atau digunakan untuk merujuk makna-makna berbeda melalui banyak kesepakatan. Seperti kata "spring" yang digunakan untuk pegas, musim, mata air, dan lompatan. 


Adapun makna umum (mustarak maanawi), ia terjadi saat satu ungkapan oleh satu kesepakatan merujuk kepada sisi umum beberapa kasus. Dengan satu makna ia menunjukkan kesemuanya. Beberapa perbedaan terpenting ambiguitas dengan makna umum adalah seperti berikut.


1. Ambiguitas perlu banyak kesepakatan dasar, sementara makna umum perlu hanya satu darinya. 


2. Makna umum mungkin memiliki sosok atau objek sejumlah tak terbatas, sementara ambiguitas hanya mungkin memiliki sejumlah tertentu makna. 


3. Makna umum adalah satu makna lazim yang dipahami tanpa pembandingan, sementara ambiguitas melibatkan beberapa makna tujuan yang perlu perujukan tertentu [yang sesuai]. 


Berdasar pembedaan tersebut mari kita simpulkan diskusi kita tentang ungkapan seperti "manusia", "hewan", dst. Apakah masing-masing ungkapan ini dapat dipahami punya satu makna tanpa perlu penjelasan tentang perujukannya? Apakah beberapa makna hadir dalam akal siapapun saat mendengarnya? Apakah tak ada lagi pertanyaan tentang perujukan mana yang dimaksud oleh pembicara? 


Tak diragukan, kita tak menganggap Muhammad, Ali, Hasan, dan Husain sebagai makna kata "manusia". Karenanya, saat kita mendengar ungkapan "manusia" ini kita tak ragu tentang kewajaran ungkapan ini, yakni tak menanyakan lagi tentang maknanya. Bahkan kita tau bahwa ungkapan ini punya satu makna yang berlaku umum bagi sosok-sosok ini, juga selainnya. Itu bukanlah ambiguitas. 


Sekarang mari lihat apakah ungkapan semacam ini punya  keterbatasan jumlah objek. Atau ia berlaku bagi sejumlah tak terbatas objek? Jelas bahwa makna ungkapan ini tidak punya semacam batasan jumlah objek, yakni bisa berlaku pada sejumlah tak terbatas objek. 


Kemudian, kita lihat bahwa tak satupun dari ungkapan manapun yang punya sejumlah tak terbatas kesepakatan penunjukan. Tak seorangpun bisa membayangkan di benaknya sejumlah tak terbatas figur, sementara menentukan sejumlah tak terbatas kesepakatan penunjukan untuk satu ungkapan tertentu. Di sisi lain, kita lihat bahwa kita sendiri bisa menentukan satu ungkapan sedemikian sehingga ia selaras dengan sejumlah tak terbatas figur. Demikianlah, makna umum (universal) tak perlu sejumlah tak terbatas kesepakatan penunjukan. 


Kesimpulannya, gambaran umum adalah istilah dengan makna umum, bukan istilah yang ambigu. 


Mungkin ada yang menyangkal bahwa ungkapan tersebut tidaklah cukup untuk menjelaskan mustahilnya banyak kesepakatan penunjukan, karena mungkin saja seorang yang menunjuk membayangkan satu hal (dan bukan sejumlah tak hingga hal) di benaknya, dan memakai satu ungkapan untuk semua figur yang serupa. 


Kita tau bahwa orang ini harus membayangkan makna "semua" dan "figur" dan "serupa" untuk membuat sebuah konvensi (ketentuan). Maka pertanyaannya kembali kepada bagaimana ungkapan ini ditujukan. Bagaimana itu bisa diterapkan kepada sejumlah tak terbatas kasus? Kita tak punya pilihan selain membenarkan bahwa benak punya kemampuan menampung konsep yang berlaku pada sejumlah tak terbatas kasus. Karenanya, mustahil konsep demikian dipakai untuk sejumlah tak terbatas kasus di satu waktu, karena ini tak terjangkau oleh manusia manapun. 


*Tanggapan atas Keraguan* 


Nominalis, dalam menyangkal adanya gambaran umum (universal), memunculkan keraguan berikut: setiap gambaran yang muncul dalam satu benak adalah gambaran yang khusus dan spesifik, yang beda dari gambaran serupa pada benak lain. Bahkan jika seorang menyadari gambaran yang sama pada waktu lain, itu sebenarnya gambaran yang lain. Bagaimana dikata bahwa gambaran umum ada dalam benak dengan label keumuman dan ketunggalan? 


Keraguan ini berasal dari kebingungan antara gambaran dengan wujud, yakni bingung antara prinsip logika dengan prinsip filsafat. Kita tak ragu bahwa setiap gambaran, sejauh itu ada, adalah khusus, dalam bahasa filosofis "wujud adalah setara dengan kekhususan". Saat dibayangkan lagi, ia akan punya wujud lain, namun keumuman dan ketunggalan aklinya bukanlah dalam hal wujud melainkan dalam hal ia akli, yakni dalam hal mewakili berbagai figur dan objek. 


Saat benak kita memandang satu gambaran dari sudut fungsi, bahwa ia mencerminkan, dan menilai fungsi tersebut terkait berbagai objek, nilai keumuman terabstraksi darinya. Sebaliknya, saat wujudnya disadari ada dalam akal, itu adalah contoh kekhususan. 


*Sekilas Pandangan Lain* 


Mereka yang menduga gambaran umum akli sebagai gambaran khusus yang samar, pun makna umum menunjuk pola samar dan lemah yang sama [seolah kekhususan telah dipisahkan darinya], tak akan menemukan hakikat makna umum. 


Cara terbaik menunjukkan kesalahan mereka adalah memperhatikan makna yang tak punya wujud di dunia luar, seperti "nonwujud" atau "mustahil". Atau, yang tak punya wujud material atau inderawi, seperti makna Tuhan, malaikat, dan ruh. Atau, yang sesuai dengan wujud material dan nonmaterial sekaligus, seperti makna sebab dan akibat. Makna-makna tersebut tak bisa dikatakan pola-pola yang lemah. Juga, terkait makna-makna yang benar untuk hal-hal berlawanan, seperti warna, yang berlaku untuk hitam dan putih. Tak bisa dikatakan warna putih demikian samar sehingga ia menjadi bentuk absolut warna yang juga benar untuk hitam. Atau, bahwa warna hitam menjadi demikian lemah dan pucat hingga mungkin berlaku untuk putih. 


Platonis juga beroleh masalah, karena kebanyakan makna, seperti nonwujud dan mustahil, tak punya model mafhum, sehingga mereka tak mungkin berkeras bahwa persepsi kata umum adalah pengamatan kepada semacam wujud akli dan nonmaterial. Karenanya, posisi yang tepat adalah yang dipegang oleh kebanyakan filosof Islam dan rasionalis. Yakni, kita punya kemampuan kognitif khas yang disebut akal, berfungsi menangkap gambaran umum mental, entah itu wujud inderawi atau tidak.


(Dari Philosophical Instructions, oleh MT Misbah Yazdi)