Kamis, 05 Agustus 2021

18. Peran Akal dan Penginderaan dalam Pembenaran Akli

 Beberapa Hal tentang Pembenaran Akli 


Perlu sebelumnya kami jabarkan dulu beberapa hal terkait logika, khususnya berkenaan pembenaran akli dan pernyataan (proposisi). 

1. Seperti telah disinggung dalam definisi “gambaran”, tiap gambaran tidak melebihi kadarnya yakni hanya menunjukkan apa yang di luar dirinya. Membayangkan hal khusus atau konsep umum tertentu tidak berarti bahwa apa yang bersesuaian dengannya benar ada. Kadar untuk mewakili itu terwujud saat terbentuk pernyataan dan pembenaran. Dengan pembenaran di sini adalah penilaian yang menunjukkan keyakinan. Contoh, konsep “manusia” dalam dirinya sendiri tidak menyatakan adanya manusia di dunia luar. Namun ketika digabungkan dengan konsep “maujud” dan hubungan kesatuan, ia lalu memberi bentuk pembenaran, yang faktanya bisa dicari di dunia luar. Yakni, orang dapat menganggap pernyataan “Manusia ada”, sebagai sebuah pernyataan yang mewakili dunia luar. 


Setidaknya dua konsep didapat dari setiap pengetahuan saat ia tercermin dalam benak, termasuk pengetahuan langsung. Sementara kita paham bahwa pengetahuan langsung tak pernah tersusun atau berulang. Contohnya rasa takut.  Saat tercermin ia punya dua konsep: pertama adalah konsep keapaan takut, yang kedua adalah konsep wujud, dan dengan ketersusunan mereka tercermin dalam bentuk “ada takut”. Kadang dengan menambahkan konsep lain, menjadi bentuk “saya takut”, atau “saya punya takut.” 


Perlu dicatat bahwa ada kalanya konsep yang tampak sederhana dan tanpa pembenaran pada hakikatnya adalah sebuah pembenaran. Misal apa yang dimaksud oleh ungkapan “Manusia mencari kebenaran” adalah sebagai berikut. Manusia itu, yakni maujud di dunia luar, punya sifat mencari kebenaran. Jadi sebenarnya subjek pernyataan, “manusia”, yang tampaknya konsep sederhana, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan, “Manusia yang ada di dunia luar.” Lalu ditambah predikat “mencari kebenaran.” Pernyataan yang mengandung komponen tersirat seperti ini dalam logika disebut dengan “aqd al-wadh.” 


2. Subjek sebuah pernyataan ada kalanya sebuah konsep khusus yang merujuk pada maujud tertentu, seperti “Everest adalah gunung tertinggi di dunia.” Ada kalanya konsep umum dan berlaku pada sejumlah tak terbatas maujud. Pada kasus kedua, ada kalanya konsep “apa” seperti “logam memuai saat dipanaskan”. Ada kalanya konsep filsafat seperti “Akibat tanpa sebab tidak akan terjadi”. Ada pula kalanya konsep logika seperti “kontradiktori dari universal negatif adalah partikular positif.” 


3. Dalam logika klasik pernyataan punya dua bentuk, berpredikat dan bersyarat. Berpredikat terdiri dari subjek dan predikat, yang hubungan keduanya adalah kesatuan, seperti “Manusia adalah pemikir.” Bersyarat terdiri dari anteseden [syarat] dan konsekuen [bersyarat], yang hubungan keduanya bisa kemestian, seperti “Jika sebuah bidang adalah segitiga, maka jumlah sudut-sudutnya sama dengan dua sudut siku”. Pernyataan bersyarat bisa juga berupa disjungsi khusus (taanud) seperti “Angka bisa genap atau ganjil”. Yakni jika sebuah angka genap, maka tidak ganjil, dan jika ganjil maka tidak genap. Adapun bentuk lain proposisi yang mungkin, semuanya dapat dikembalikan ke bentuk berpredikat. [Semua proposisi tersusun dari proposisi berpredikat.] 


4. Hubungan antara subjek dan predikat ada kalanya bersifat mungkin, misal “Seorang lebih besar dari orang lain.” Ada kalanya bersifat mesti, misal “Setiap keseluruhan lebih besar dari sebagiannya.” Logikawan menyebut sifat-sifat ini “hal proposisi” (maddah qadhiyyah). Saat sifat ini tersurat dalam satu pernyataan ia disebut mode pernyataan (jahat qadhiyyah). 


Hal proposisi biasanya tersirat, dan bukan bagian darinya, meski bisa saja predikat menyatu dengan subjek dan hal atau mode proposisi mengambil bentuk predikat dan menjadi unsur proposisi. Misal pada pernyataan sebelumnya bisa saja dibilang “Bahwa seorang melebihi ukuran orang lain adalah mungkin” serta “Keseluruhan melebihi ukuran sebagiannya adalah pasti.” Pernyataan seperti ini mewakili kualitas hubungan antara subjek dan predikat proposisi lain. 


5. Kesatuan yang ada antara subjek dan predikat ada kalanya bersifat konseptual, seperti “Orang adalah manusia”. Ada kalanya adalah kesatuan maujud, seperti “Orang mencari kebenaran”, subjek dan predikat dalam hal ini tak punya kesatuan konseptual, namun menyatu dalam maujud. Yang pertama disebut predikasi primer (haml awwali), yang kedua disebut predikasi umum (haml syayi). 


6. Dalam predikasi umum jika predikat pernyataan adalah maujud atau bandingannya maka ia diistilahkan pertanyaan sederhana (halliyah basitah), sementara dalam kasus lain diistilahkan pertanyaan rangkap (halliyah murakkabah). Yang pertama misal“Orang adalah maujud”, sementara yang kedua misalnya “Orang mencari kebenaran.” 

Penerimaan akan pertanyaan sederhana bergantung pada penerimaan akan konsep keberadaan sebagai konsep mandiri yang mungkin dipredikatkan (konsep predikatif). Tapi kebanyakan filosof barat menerima konsep keberadaan hanya sebagai konsep nominal yang tak mandiri. Pembahasan lanjutnya ada di bagian ontologi. 


7. Dalam pertanyaan rangkap, jika konsep predikat diperoleh melalui analisis konsep subjeknya, ia dikatakan “analitik”. Jika tidak demikian maka dikatakan “sintetik”. Misal pernyataan “Semua anak punya ibu” adalah analitik. Yakni saat konsep anak dianalisis akan diperoleh konsep ibu. Adapun pernyataan “Logam memuai saat dipanaskan” adalah sintetik. Yakni dari menganalisis konsep logam kita tak mendapati konsep pemuaian. Dengan cara yang sama pernyataan “Semua orang punya ibu” dikatakan sintetik, karena dari menganalisis makna “orang” tidak didapati konsep “punya ibu.” “Setiap akibat perlu sebab” adalah analitik dan “Semua maujud perlu sebab” adalah sintetik. 


Perlu dicatat bahwa Kant membagi pernyataan sintetik kepada dua jenis, a priori dan a posteriori, serta memandang pernyataan matematik sebagai yang pertama. Namun sebagian positivis berupaya memasukkannya ke dalam pernyataan analitik. 


8. Dalam logika klasik pernyataan dikelompokkan ke dalam swabukti dan teoritik (tidak swabukti). Pernyataan dikatakan swabukti saat pembenarannya tak perlu pemikiran dan penalaran. Sementara pernyataan teoritik, pembenarannya perlu pemikiran dan penalaran. Pernyataan swabukti terbagi dua: pernyataan swabukti primer, yang pembenarannya tak perlu apa pun kecuali pemaknaan yang benar akan subjek dan predikatnya, seperti “Menyatunya dua hal yang berlawanan adalah mustahil”. Pernyataan semacam ini dinamakan “induk semua pernyataan”. Lainnya adalah pernyataan swabukti sekunder yang pembenarannya bergantung pada indera atau hal selain pemaknaan subjek dan predikat. Yang ini terbagi ke dalam enam kelompok: terkait indera, kesadaran, perkiraan, hukum akal, pengalaman, dan kesaksian (testimoni). 


Hakikatnya tak semua pernyataan tersebut swabukti. Hanya dua kelompok saja yang layak dipandang swabukti. Pertama adalah pernyataan swabukti primer. Yang kedua adalah pernyataan terkait kesadaran, yakni cerminan akli pengetahuan langsung. Adapun yang terkait perkiraan dan hukum akal ia hanya mendekati pernyataan swabukti. Pernyataan yang lain mesti dipandang sebagai teoritik dan perlu argumen, akan dibahas lebih lanjut pada “nilai pengetahuan”. 


Pembahasan


Masalah lebih penting indera atau akal biasanya tidak dibahas secara terpisah. Namun demikian kita bisa memahami pandangan para rasionalis dan empirisis dengan menelaah pandangan-pandangan ini. Misal positivis, yang membatasi pengetahuan hakiki hanya pada pengetahuan inderawi. Karena keras kepala mereka berada di sisi mengutamakan indera. Mereka memandang setiap pernyataan non empirik sebagai tak bermakna atau tak bernilai secara keilmuan. Sebagian empirisis mengutamakan peran pengalaman inderawi, sementara dalam beberapa kasus menerima pula peran akal. Adapun rasionalis menekankan pentingnya akal, sementara percaya akan lepasnya pernyataan dari pengalaman. Misalnya Kant, di samping memandang pernyataan analitik tak perlu pengalaman, juga memandang sebagian pernyataan sintetik, termasuk semua pernyataan matematik sebagai lebih mendasar dari pengalaman dan tak perlu kepadanya. 


Agar bahasan kita tidak berpanjang lebar, kita tak akan membahas semua pendapat tokoh empirisis dan rasionalis. Kita akan cukupkan dengan mengutarakan pandangan yang benar dalam hal ini. 


Dengan fakta bahwa pada pernyataan swabukti primer hanya cukup dengan pemaknaan yang tepat akan subjek dan predikat untuk menentukan kesatuannya, jelaslah bahwa pembenaran semacam ini tak perlu pengalaman inderawi. Masalahnya adalah bahwa setelah subjek dan predikatnya dimaknai dengan tepat, entah pemaknaan ini bergantung pada penggunaan indera atau tidak, apakah penyematan predikat kepada subjek perlu penggunaan indera atau tidak? Diasumsikan bahwa pada pernyataan swabukti primer pemaknaan subjek dan predikat itu saja memadai bagi akal untuk menilai kesatuannya. 


Penilaian yang sama berlaku pada semua pernyataan analitik, karena pada pernyataan demikian konsep dari predikat diperoleh dari analisis akan konsep subjeknya. Tentu saja, analisis konsep adalah hal batiniah yang tak perlu pengalaman inderawi. Dengan demikian penyematan predikat yang didapat dari subjeknya bersifat pasti, seperti “penyematan sesuatu pada dirinya sendiri” (tsubut al-syay li nafsih). 


Penilaian yang sama berlaku pula pada predikasi primer, jelas. 


Demikian pula pernyataan yang didapat dari pencerminan akli akan pengetahuan langsung, tak perlu pengalaman inderawi sama sekali. Dalam hal ini konsep akli pun didapat dari pengetahuan langsung, sementara pengalaman inderawi tak berperan sama sekali. 


Faktanya bentuk akli dalam ragam apapun, entah inderawi, khayali, ataupun akli, dipahami dengan pengetahuan langsung. Maka pembenaran akan wujudnya sebagai aksi dan reaksi jiwa, adalah sejenis pengalaman batin dan tak perlu pengalaman inderawi. Meski, jika tanpa pengalaman inderawi sebagiannya tak akan didapat. Sebut saja misalnya bentuk-bentuk inderawi. Namun demikian, setelah akal memperoleh dan menganalisisnya menjadi konsep wujud dan “apa”, apakah penilaian akan menyatunya konsep-konsep tersebut yang  juga subjek dan predikat satu pernyataan perlu pengalaman inderawi? Jelas bahwa penilaian pertanyaan sederhana yang terkait pengalaman batin tak perlu penggunaan indera, namun ia adalah penilaian swabukti, dan menandai pengetahuan langsung yang benar. 


Adapun untuk pembenaran maujud yang terindera di dunia luar, meski menurut sebagian orang didapat saat terjadinya pengalaman inderawi, dengan perenungan akan jelas bahwa ketetapan nilainya tetap perlu pembuktian akli. Ini sebagaimana dijelaskan oleh para filosof besar Islam seperti Ibn Sina, Mulla Sadra, dan Allamah Tabatabai. Yakni karena bentuk inderawi tidak menjamin kebenaran dan kesesuaian sempurna dengan maujud di dunia luar. 


Karenanya, hanya dalam pernyataan semacam inilah pengalaman inderawi berperan, namun tidak dalam peranan yang menentukan, namun sebagai penyiap dan berperan tak langsung. 


Demikian pula dalam pengalaman inderawi umum, yang dalam logika disebut “pengalaman” atau “hal yang dialami”, selain perlu penilaian akli dalam mengiyakan maujud yang disebutkan, perlu pula pembuktian akli akan generalisasi dan peng-umum-an, seperti disebutkan pada bab 9. 


Pembenaran ulang (rekonfirmasi) pengetahuan dalam setiap pernyataan dan ilmu, karena demikian penting tujuannya dan tidak bolehnya mengalami kontradiksi, perlu kepada “induk pernyataan” yakni pernyataan mustahilnya menghadirkan kontradiksi secara bersamaan. 


Maka, tak ada pembenaran pasti yang bisa didapat hanya dengan pengalaman inderawi, namun ada banyak pernyataan pasti yang sama sekali tak perlu pengalaman inderawi. Dengan demikian miskinnya pemikiran positivis jelas sudah.  (Dari Philosophical Instructions, oleh Ayatullah M. T. Misbah Yazdi)


Kamis, 06 Mei 2021

17. Peran Gambaran Akli dan Gambaran Inderawi

 Lebih Penting Gambaran Akli atau Gambaran Inderawi 


Seperti kami sebutkan, filosof barat terbagi dua kelompok dalam menjelaskan gambaran. 


Satu kelompok darinya percaya bahwa mafhum akli adalah rangkaian konsep yang tak perlu penginderaan. Misal Descartes, bagaimana ia memandang konsep non material seperti Tuhan dan jiwa. Juga bagaimana ia memandang konsep panjang dan bentuk material. 


Ia menyebut sifat material demikian sebagai kualitas primer. Mereka tak secara langsung didapat dari penginderaan. Sebaliknya, ia menyebut sifat yang didapat dengan indera sebagai kualitas sekunder. Semisal warna, aroma, dan rasa. 


Tampak ia percaya lebih pentingnya pengetahuan akli. Ia memandang pengetahuan kualitas sekunder yang diperoleh dengan indera bisa salah dan kurang terpercaya. Ia menunjukkan pengutamaan mafhum akli, yang secara umum dibahas dalam nilai pengetahuan. 


Serupa itu, Kant mengenalkan rangkaian konsep yang disebut apriori. Di antaranya ia mengenalkan konsep ruang dan konsep waktu pada tingkat-tingkat penginderaan. Mengenalkan pula "dua belas kategori" pada tingkatan mafhum. Ia memandang mafhum akan konsep-konsep ini sebagai fitrah akal. 


Kelompok lain percaya bahwa akal manusia dicipta seperti bidang kosong, tanpa pahatan. Sentuhan dengan wujud luar melalui indera menyebabkan muncul gambar dan pahatan di sana. Beginilah berbagai mafhum muncul. Epicures dikutip bilang "Tak ada apa pun dalam akal kecuali sebelumnya ada di indera." Ungkapan yang sama kemudian diulang oleh John Locke, emprisis dari Inggris. 


Namun demikian, pernyataan mereka tentang wujud konsep akli berbeda. Rangkuman dari apa yang mereka ungkap adalah bahwa mafhum inderawi berubah bentuk dan terjadilah mafhum akli. Sebagaimana tukang kayu memotong bilah-bilah kayu untuk menjadikannya bermacam bentuk dan jadilah meja, kursi, pintu, atau jendela. Konsep akli, menurut mereka, adalah gambaran inderawi yang bentuknya telah berubah. 


Pernyataan sebagian lainnya bisa diartikan bahwa mafhum inderawi menyediakan lahan dan bahan bagi mafhum akli. Ini tak sama dengan menyatakan gambaran inderawi benar-benar berubah menjadi konsep akli. 


Telah disebutkan bahwa empirisis ekstrem, seperti positivis, pada dasarnya menyangkal ada konsep akli, mereka menafsirkannya sebagai semata bentuk kata dalam benak. 


Sebagian empirisis, seperti French Condiac, membatasi pengalaman yang menyebabkan munculnya konsep akli hanya pada pengalaman inderawi. Sementara yang lain, seperti John Locke dari Inggris, memasukkan pula pengalaman batin. Di antara mereka ada Berkeley yang berposisi khas, ia membatasi pengalaman hanya pada pengalaman batin, karena ia menyangkal ada wujud material. Menurut pandangan terakhir ini pengalaman inderawi adalah mustahil. 


Kami harus tambahkan bahwa kebanyakan empirisis tidak membatasi wilayah pengetahuan hanya pada yang material. Ini khususnya mereka yang menerima pengalaman batin. Mereka membuktikan hal-hal metafisika dengan penalaran. Meski menurut doktrin mereka pandangan demikian tidak cukup logis. Bukankah bagi mereka lebih pokok penginderaan? Bukankah konsep akli bergantung pada konsep inderawi? Penyangkalan metafisika pun karenanya adalah tanpa alasan. Karenanya, Hume, yang menyadari ini, menganggap hal-hal yang tak dialami langsung sebagai bisa diragukan. 


Jelas bahwa kritik panjang lebar dan rinci terhadap keduanya perlu tulisan yang tebal dan tersendiri.  Yakni agar pernyataan-pernyataan masing-masing pemikir dapat disertakan dan diteliti. Namun itu bukan dalam buku ini. Di sini akan dicukupkan dengan kritik singkat akan pandangan-pandangan mereka tanpa merujuk ke posisi mereka secara rinci. 


Kritik 


1. Tak mungkin mengasumsikan bahwa dari awal wujudnya akal punya konsep-konsep khusus. Tak pula bahwa akal tercampuri dengan itu. Tidak pula bahwa setelah beberapa saat akal memahaminya secara otomatis tanpa pengaruh faktor lain. Akal sehat setiap orang menyangkal ini. Entah itu konsep-konsep yang diasumsikan terkait materi, terkait abstraksi, atau terkait keduanya. 


2. Anggapan bahwa serangkaian konsep bersifat niscaya pada asal dan bangunan dasar akal, tidak dapat dibuktikan. Secara umum dapat dikata bahwa beberapa hal diterima secara alami oleh akal. Mungkin jika akal dicipta dengan pola yang berbeda, ia akan menerima objek dengan cara yang berbeda pula. 


Dalam menutupi kelemahan ini Descartes berpegang pada adanya hikmah ilahiah. Ia bilang bahwa jika Tuhan menempatkan konsep-konsep demikian pada akal secara alami, sementara itu bertentangan dengan fakta dan kebenaran, Dia pastilah penipu. Bagaimanapun, jelas bahwa sifat-sifat Tuhan yang Kuasa, pun ketakmungkinanNya menipu harus dibuktikan dengan penalaran. Namun jika persepsi akli tidak benar maka fondasi argumen ini akan runtuh. Jaminan benar melalui argumen ini makanya bersifat daur. 


3. Anggapan bahwa konsep akli berasal dari perubahan gambaran inderawi. Ini mengharuskan bahwa gambaran awal yang berubah menjadi konsep akli pastilah tidak bertahan dalam bentuk aslinya. Yakni saat muncul konsep umum dalam benak. Padahal dalam waktu bersamaan dan seterusnya kita dapati bahwa gambaran inderawi dan gambaran khayali tetap bertahan. Lebih jauh, sebenarnya yang terkena perubahan hanyalah wujud material. Adapun gambaran yang terpersepsi, ia bersifat abstrak. Ini akan dibuktikan kemudian. 


4. Kebanyakan konsep akli, seperti konsep sebab dan konsep akibat, sama sekali tak punya bentuk gambaran inderawi atau khayali. Jadi tak bisa dibilang mereka berasal dari perubahan gambaran inderawi. 


5. Anggapan bahwa gambaran inderawi menjadi bahan dan fondasi bagi konsep akli, mereka tak benar-benar berubah menjadi konsep akli. Meski ini kurang disangkal dan lebih dekat kepada fakta [dibanding anggapan-anggapan sebelumnya], dan dapat diterima dalam kaitannya dengan sebagian "konsep apa", tetap saja, tidak tepat untuk membatasi fondasi konsep akli hanya pada gambaran inderawi. Misal, tak bisa dikatakan bahwa konsep filsafat didapat dari abstraksi dan generalisasi gambaran inderawi. Seperti telah diungkap bahwa tak ada gambaran inderawi ataupun khayali yang menyamai konsep filsafat. 


Penyelidikan 


Supaya jelas peranan indera dan nalar dalam benak, kita akan melihat sekilas berbagai jenis konsep dan bagaimana mereka muncul. 


Saat membuka mata ke arah indahnya taman, beragam warna bunga dan dedaunan menarik perhatian kita. Berbagai gambaran inderawi terpampang di benak kita. Saat menutup mata, kita tak lagi melihat warna-warni berkilau tadi, inilah persepsi inderawi yang seketika menghilang saat kaitan dengan dunia luar terputus. Namun, kita bisa bayangkan bunga-bunga yang sama di benak kita, dan mengingat pemandangan indah itu. Inilah persepsi khayali. 


Menambahi gambaran inderawi dan khayali yang mewakili hal-hal tertentu, kita juga menangkap serangkaian konsep umum yang tidak mewakili hal-hal khusus, seperti konsep hijau, merah, kuning, ungu, indigo, dst. 


Demikian pula konsep “warna” itu sendiri, yang dapat diterapkan pada berbagai warna berbeda, tak bisa dianggap sebagai bentuk samar dan kabur dari salah satunya. 


Tentunya, jika kita belum melihat warna dedaunan dan pepohonan dan hal-hal dengan warna sama, kita mustahil memunculkan gambaran khayali maupun konsep aklinya. Maka, mereka yang buta tak mungkin membayangkan warna-warni dan mereka yang tak punya pembau tak bisa punya konsep aroma. Karenanya dibilang “Yang tak punya indera tak punya pengetahuan,” yakni mereka yang tak punya satu indera akan terhalang dari sejenis konsep dan kesadaran. 


Tak ayal munculnya konsep umum demikian bergantung pada adanya persepsi-persepsi khusus. Namun hal ini tak sama dengan persepsi inderawi yang berubah menjadi persepsi akli serupa kayu menjadi kursi. Tak sama dengan materi menjadi energi. Tidak pula seperti energi tertentu berubah ke bentuk lain. Seperti kita bilang, perubahan semacam itu meniscayakan bahwa kondisi awalnya tidak ada lagi sementara persepsi khusus bisa tetap ada setelah muncul konsep aklinya. Selain itu, perubahan adalah sifat materi, sementara persepsi sepenuhnya adalah abstrak, seperti akan kita buktikan, insya Allah. 


Karenanya, peranan indera dalam memunculkan konsep umum demikian adalah sebatas sandaran atau syarat perlu. 


Ada jenis konsep lain yang tak ada kaitannya dengan hal inderawi, melainkan semacam gambaran keadaan kejiwaan, yakni kondisi yang tersingkap melalui pengetahuan langsung dan pengalaman batin, seperti konsep tentang takut, suka, benci, nikmat, dan sakit. 


Tak ayal, jika kita tak punya rasa batiniah, kita tak mungkin memahami konsep umumnya. Maka, anak kecil tak bisa paham bentuk kenikmatan orang dewasa hingga mereka mencapai kematangan, dan sebelum itu mereka tak punya konsep khusus tentangnya. Karenanya, jenis konsep ini juga perlu persepsi khusus awal. Tapi tentu bukan persepsi yang didapat dengan bantuan indera. Karenanya, pengalaman inderawi tak punya andil dalam perolehan konsep “apa” jenis ini. 


Di sisi lain, kita punya rangkaian konsep yang tak punya wujud di dunia luar, hanya punya wujud dalam benak, seperti konsep “umum”. Ia mewakili konsep akli lain. Tak ada hal luar benak yang dapat disebut “umum” dengan makna konsep yang dapat diterapkan pada banyak objek. 


Jelas bahwa konsep jenis ini tidak diperoleh melalui abstraksi dan generalisasi dari persepsi inderawi. Ia perlu semacam pengalaman mental, yakni, hingga serangkaian konsep akli didapat oleh benak. Hingga itu terjadi kita tak bisa bilang apakah mereka bisa dipakai untuk banyak objek atau tidak. Inilah pengalaman batin yang kami maksud. Yakni, benak manusia punya kemampuan menyadari konsep dalam dirinya sendiri, dan memperlakukannya seolah objek dari dunia luar. Ia pun mampu mengabstraksi konsep-konsep khusus darinya. Wujud konsep-konsep yang terabstraksi ini sama dengan konsep primer. Karena inilah konsep yang dipakai dalam logika tersebut dinamai “mafhum logika sekunder”. 


Akhirnya kita sampai pada rantai lain konsep akli, yang dipakai dalam filsafat. Darinya terbentuk proposisi-proposisi swabukti primer, karenanya konsep-konsep ini sangatlah penting. Banyak pendapat dihadirkan tentang terbentuknya konsep-konsep ini. Bahasannya saja akan sangat panjang, yang dalam bahasan ontologi nanti kita akan ulas syarat-syarat pembentukan masing-masing konsep terkait. Sekarang kami hanya akan menyampaikan sekadar yang perlu saja. Perlu dicatat bahwa konsep-konsep ini, karena semuanya dimaksudkan kepada objek-objek di luar; dalam istilah teknis mereka ini seperti konsep “apa”, yakni penyematannya eksternal, namun karena mereka tak menggambarkan “apa” secara spesifik dan dalam istilah teknis perwujudannya ada di batin, mereka seperti konsep logika. Karena inilah mereka kadang disalah artikan dengan dua kelompok konsep lain tersebut. Kesalahan ini dilakukan oleh para pemikir besar, khususnya para filosof barat. 


Telah kita pelajari bahwa kita mengenali diri dan keadaan-keadaan psikologis kita sendiri dengan pengetahuan langsung. Pun gambaran-gambaran batin dan perbuatan ruhaniah, seperti keputusan kita. Sekarang kita tambahkan bahwa manusia bisa membandingkan setiap aspek diri dengan diri itu sendiri. Itu tanpa mempedulikan “apa” mereka itu, namun dengan mempedulikan hubungan mendasarnya. Ia mendapati bahwa si diri bisa ada tanpa itu semua. Namun, tak ada satu pun darinya bisa ada tanpa diri. Memperhatikan relasi ini disimpulkan bahwa tiap aspek jiwa butuh akan diri, namun diri tak perlu akan satu pun dari aspek jiwa, ia mandiri, tak butuh, dan bebas darinya. Demikianlah, akal mengabstraksi konsep sebab dari diri dan konsep akibat dari tiap aspek jiwa tadi. 


Jelasnya, gambaran inderawi tak punya peran dalam pembentukan konsep butuh, bebas, mandiri, sebab, dan akibat. Abstraksi konsep-konsep ini tak berasal dari gambaran inderawi semata. Bahkan pengetahuan langsung dan pengalaman batin terkait masing-masingnya tak cukup untuk mengabstraksi konsep-konsep yang terkait. Yakni, pembandingannya perlu, juga kaitan khusus di antara mereka harus dipertimbangkan. Karenanya dikatakan bahwa konsep-konsep demikian tak punya penyematan objektif, meski penunjukannya bersifat eksternal. 


Dapat disimpulkan setiap konsep akli perlu gambaran individual yang mendahuluinya, gambaran yang menyediakan bahan abstraksi bagi konsep “jenis”. Gambaran ini dalam beberapa kasus adalah gambaran inderawi, dan dalam beberapa adalah pengetahuan langsung dan pengalaman batin. Karenanya peran indera dalam pembentukan konsep umum adalah dalam menyediakan bahan bagi sekelompok konsep “apa”. Adalah akal yang memainkan peran mendasar dalam pembentukan semua konsep umum. (Berdasar pada buku Philosophical Instructions, oleh MT Misbah Yazdi)