Kamis, 04 Juni 2020

13. Pembagian Pengetahuan

*Mencari Batu Pijakan Pengetahuan*

Disebut dalam bahasan sebelumnya bahwa sebagian pengetahuan dan persepsi sepenuhnya pasti. Bahkan, sekian argumen yang diajukan kaum skeptis untuk membenarkan pandangan-pandangan menyimpang mereka, yang bersandar pada penyangkalan mutlak pengetahuan, justru menunjukkan dan mengharuskan adanya pengetahuan. Namun di sisi lain, kita sadar bahwa tak semua "pengetahuan" dan keyakinan kita benar atau sesuai fakta, lebih jauh, dalam banyak hal kita sendiri menemukan sekian kesalahan. 

Membandingkan dua sisi ini, lalu muncul soalan tentang apa saja yang membedakan sekian macam persepsi manusia. Apa-apa persepsi yang pasti dan luput dari kesalahan, apa-apa pula yang bisa salah dan boleh diragukan. Bagaimana memilahnya. 

Mafhum bahwa Descartes coba meramu filsafat yang solid dalam memerangi skeptisisme, ia menggunakan ketakpastian ragu itu sendiri sebagai batu pijakan filsafat. Lebih jauh, adanya "diri" si peragu dan pemikir adalah kemestian yang ia sandarkan pada pondasi itu. Selain itu, ia mengajukan kejelasan dan keterbedaan sebagai syarat bagi kepastian. Ia jadikan keduanya sebagai patokan dalam memilah benar dari ide-ide yang salah. Ia juga coba menerapkan pendekatan matematis pada filsafat, yakni dalam mengenalkan logika yang baru. 

Sekarang kita tak dalam posisi menilai filsafat Descartes, tak pula melihat sejauh mana ia berhasil dalam target pribadinya. Kami ingin menekankan bahwa memakai keraguan sebagai titik tolak perdebatan dengan skeptis cukuplah masuk akal. Ini seperti nampak pada bahasan terdahulu. Namun, jika ada yang membayangkan bahwa tak ada apapun yang cukup jelas dan pasti, hingga adanya si peragu harus disimpulkan dari keraguan, ini keliru. Adanya "diri" yang sadar dan berpikir mestinya paling tidak sejelas dan sepasti adanya ragu itu sendiri, yang merupakan salah satu keadaan diri. 

Demikian pula, jelas dan keterbedaan tak bisa dipandang sebagai syarat umum dalam memilah ide benar dari ide yang salah. Hal ini karena syarat ini sendiri tak cukup jelas dan terbedakan tak pula bebas dari multitafsir. Bukan pula patokan yang pokok dan paling signifikan, wajar ia tak mampu menguak rahasia pastinya beberapa macam persepsi. Bahkan, sekian pendapat Descartes dapat didebat panjang lebar. Namun, evaluasi demikian akan di luar kajian kita sekarang. 

*Pembagian Mendasar Pengetahuan*

Pembagian mendasar pengetahuan yang perlu dipertimbangkan adalah beda dua hal ini:

1) pengetahuan yang ditau langsung dari esensi/zat objek, dalam hal ini adanya objek pengetahuan secara nyata dan asli tersingkap bagi si penerima atau si tau, 

2) pengetahuan yang adanya objek secara eksternal tak teramati atau tersaksikan "langsung" oleh si tau.  Alih-alih, ia menyadarinya melalui perantara sesuatu yang mewakilinya, yakni bentuk akli atau konsep aklinya. 

Macam pertama disebut pengetahuan dengan kehadiran atau pengetahuan langsung (ilm al hudhuri), yang kedua disebut pengetahuan tak langsung (ilm al husuli). 

Pembagian pengetahuan ke dalam dua jenis ini masuk akal, menyeluruh, dan khas. Dengan cara ini tak ada posisi pengetahuan ketiga yang dapat menyanding keduanya. Yakni tak ada pengetahuan selain dua jenis pengetahuan ini. Ada perantara antara sosok yang tau dengan esensi objek yang ditau, dengannya persepsi diperoleh, inilah pengetahuan "tak langsung". Atau, jika tak ada keperantaraan, inilah pengetahuan "langsung". Selanjutnya, dua macam pengetahuan ini pada manusia kiranya perlu dijelaskan. 

*Pengetahuan Langsung*

Pengetahuan dan persepsi yang dipunya setiap orang tentang dirinya sendiri sebagai wujud yang menyadari adalah satu pengetahuan yang tak terbantah. Sofis sekalipun, yang memandang manusia sebagai patokan ukur semua hal, tak membantah adanya manusia beserta pengetahuan pribadi yang dipunyainya. 

Tentu manusia, yakni "diri", adalah dia yang merasa, yang berpikir. Dia yang dengan penyaksian internal menyadari diri sendiri, tidak melalui sensasi atau pengalaman, tidak pula melalui bentuk dan konsep akli. Yakni, ia sendirilah pengetahuan itu, dalam pengetahuan dan persepsi ini tak ada kejamakan atau beda antara pengetahuan, si tau, dengan objek yang ditau. Seperti disebut sebelumnya, "ketunggalan si tau dan yang ditau" adalah contoh paling sempurna tentang "hadirnya objek yang ditau pada subjeknya". 

Adapun, persepsi manusia tentang warna, bentuk, dan sifat-sifat lain tubuh tidaklah demikian. Ia diperoleh dengan penglihatan, sentuhan, dan indera-indera lain, juga dengan bentuk-bentuk akli. Juga, bahwa di dalam tubuh ada banyak sekali organ internal yang tak kita sadari langsung. Namun, kita mengenalnya melalui sekian tanda dan efek, atau kita menyadarinya dengan belajar anatomi, fisiologi, dan ilmu biologi lain. 

Demikian, pengetahuan tentang diri adalah sederhana dan tak terbagi, tak semacam proposisi, "saya adalah", atau "saya ada", yang tersusun dari beberapa konsep. Jadi, maksud "mengetahui diri" adalah kesadaran yang sangat intuitif, sederhana, dan langsung akan jiwa-jiwa kita sendiri. Pengetahuan dan kesadaran inilah ciri mendasar "mengetahui diri". Akan dibuktikan pada tempat yang tepat, bahwa jiwa adalah nonmateri, pun bahwa setiap wujud nonmateri mengetahui akan dirinya. Topik-topik ini terkait ontologi dan psikologi filosofis, tentunya bahasan ini bukanlah tempat untuk mengulasnya. 

Pengetahuan kita akan keadaan, kecenderungan, dan hasrat psikologis kita sendiri adalah juga contoh pengetahuan langsung. Saat takut, seketika kita tau akan keadaan psikologis ini tanpa perantara apapun, tanpa media bentuk atau konsep akli apapun. Saat menyukai seorang atau sesuatu, kita mendapati kecenderungan ini dalam diri sendiri. Saat memutuskan untuk melakukan satu hal, kita tau akan keputusan dan niat kita. Takut akan sesuatu, atau suka dengan sesuatu, atau memutuskan melakukan sesuatu tanpa tau akan rasa takut, rasa suka, atau niat adalah omong kosong. Dengan cara yang sama, adanya ragu atau dugaan adalah tak terbantah. Tak seorangpun bisa mengklaim ia tak tau tentang keraguannya sendiri, tidak pula bahwa ia ragu akan adanya keraguan dirinya. 

Contoh lain pengetahuan langsung adalah pengetahuan tentang kemampuan perseptif [berpikir, merenung, dst] dan kemampuan motorik. Kesadaran diri akan kemampuannya berpikir dan mengkhayal atau akan berbagai kemampuan motorik merupakan pengetahuan dengan kehadiran dan langsung. Ini semua tak ditau melalui bentuk dan konsep akli. Karena itu seorang tak pernah salah dalam penempatannya. Ia tak pernah menggunakan kemampuan perseptif menggantikan motorik, tak pula menggunakan kecakapan bergerak menggantikan berpikir akan sesuatu. 

Di antara hal-hal yang ditau dengan kehadiran adalah bentuk dan konsep akli, yang ditau tanpa melalui perantara bentuk dan konsep akli lainnya. Jika pengetahuan akan apapun harus diperoleh melalui bentuk dan konsep akli, manusia mestinya tau setiap bentuk akli melalui bentuk akli yang lain. Pengetahuan akan bentuk akli tersebut juga melalui bentuk akli yang lain lagi. Dengan begini, untuk setiap hal yang anda tau anda harus mengenal sejumlah tak terbatas hal lain dan harus punya bentuk akli sebanyak tak terbatas. 

Mungkin ada yang bertanya, jika pengetahuan langsung adalah hadirnya objek pengetahuan itu sendiri, dan pengetahuan tak langsung adalah yang berperantara, maka bentuk-bentuk akli adalah pengetahuan langsung sekaligus tak langsung. Bentuk-bentuk akli ini di satu sisi dikenal secara langsung, yakni pengetahuan dengan kehadiran. Di sisi lain mereka dinyatakan sebagai pengetahuan tak langsung akan hal-hal eksternal. Bagaimana mungkin satu pengetahuan adalah langsung sekaligus tak langsung? 

Bentuk-bentuk akli bersifat mencerminkan dan mewakili objek eksternal, dan memang mereka adalah sarana untuk mengenal hal-hal di luar diri. Dengan begini dianggaplah mereka sebagai contoh pengetahuan tak langsung. Dari sisi faktual bahwa mereka hadir di hadapan diri, dan diri mengetahui mereka secara langsung, dihitunglah mereka sebagai pengetahuan langsung. Dua sisi ini beda satu sama lain: di satu sisi mereka hadir yakni mereka secara langsung disadari, di sisi lain mereka tak langsung yakni mewakili ihwal eksternal. 

Lebih jauh tentang hal ini, mari cermati analogi cermin. Kita bisa mengamati satu cermin dari dua cara pandang berbeda. Dari satu cara pandang katakan ada orang yang ingin membeli cermin, ia mengamati kedua sisinya ada yang cacat atau tidak. Dari cara pandang lain ada orang yang memakai cermin, melihat cermin untuk menatap wajah, meski arah pandang adalah pada cermin, perhatiannya tertuju pada wajah bukan pada cermin. 

Bentuk-bentuk akli dapat secara langsung disasar oleh diri, inilah kita bilang mereka sebagai pengetahuan langsung. Mereka dapat pula menjadi sarana untuk mengenal berbagai hal dan sekian sosok luar, di sini kita bilang mereka sebagai pengetahuan tak langsung. Perlu dicatat bahwa maksud penjelasan ini bukanlah memisahkan kedua kasus itu dalam waktu; melainkan pembedaan dua sudut pandang saja. Saat konsep akli adalah contoh pengetahuan tak langsung akan objek luar, tak mesti bahwa ia tak disadari secara langsung, tak mesti ia kehilangan sisi kehadirannya. 

*Sahihnya Pengetahuan Langsung*

Dari keterangan tentang pengetahuan langsung dan pengetahuan tak langsung serta beda keduanya, menjadi jelas mengapa pengetahuan tentang diri, rasa, dan contoh lain pengetahuan langsung bersifat pasti. Ini karena fakta itu sendiri yang teramati. Sebaliknya, pada pengetahuan tak langsung, bentuk dan konsep akli berperan sebagai perantara, dan mungkin tidak  persis serupa dengan fakta dan sosok luarnya. 

Atau, salah persepsi dapat terjadi saat ada perantara antara si tau dengan entitas yang ditau, lalu ada pengetahuan diperoleh. Dalam hal ini mungkin ada yang bertanya, apakah bentuk atau konsep yang menengahi si tau dengan objek yang ditau mewakili objek tersebut secara tepat dan persis serupa dengannya atau tidak. Kecuali terbukti bahwa bentuk dan konsep akli tepat sesuai dengan objek yang ditau, keyakinan akan sahihnya persepsi tak akan didapat. 

Namun, jika sesuatu atau sosok yang ditau hadir secara langsung bagi si tau tanpa perantara apapun, atau bahkan menyatu dengannya, maka tak ada celah kekeliruan, tak bisa dipertanyakan apakah pengetahuan itu sesuai atau tidak dengan objeknya, karena di sini pengetahuannya adalah objek itu sendiri. 

Sejauh ini pahaman tentang persepsi yang sahih dan keliru telah jelas. Sahih artinya persepsi yang sesuai dengan fakta dan sepenuhnya mengungkapkannya. Keliru artinya keyakinan yang tak sesuai dengan fakta. 

*Pengetahuan Tak Langsung yang Serempak dengan Pengetahuan Langsung*

Ada satu hal, akal selalu memotret apa yang hadir seperti mesin otomatis. Darinya ia mendapat bentuk dan konsep khas lalu menganalisa dan menafsirkannya. Contoh, saat seorang merasa takut, akalnya akan memotret kondisi takut itu, yang akan dapat diingat kembali setelahnya. Selanjutnya ia menangkap konsep umum darinya dan dengan menyematkan konsep lain ia menampilkan pernyataan (proposisi) seperti "saya takut", atau "saya punya rasa takut", atau "takut ada pada saya". Ia menafsirkan hadirnya kondisi psikologis ini serta merta berdasar pengetahuan sebelumnya dan mencoba cari sebabnya. 

Segenap proses akal ini, yang terjadi sangat cepat, beda dari kondisi takut dan pengetahuan langsungnya. Dan, keserempakannya dengan pengetahuan langsung sering jadi sumber kekeliruan. Orang kadang menduga bahwa karena ia mendapati rasa takut dan pengetahuan langsung iapun tau sebabnya dengan pengetahuan langsung. Nyatanya apa yang ditangkap dengan pengetahuan langsung adalah sederhana, tanpa bentuk atau konsep akli sama sekali, bebas pula dari tafsir bagaimanapun, makanya itu tak mungkin salah. Sebaliknya, tafsir yang seketika ada adalah dari persepsi tak langsung, yang pada dasarnya tak selalu benar dan tak selalu sesuai fakta. Menjadi jelas kemudian mengapa dan bagaimana kesalahan-kesalahan terjadi pada sebagian pengetahuan tak langsung. 

Contoh: orang merasa lapar dan langsung beranggapan bahwa ia perlu makanan. Sementara kadang yang ada adalah hasrat yang keliru, yakni ia tidak benar-benar perlu makanan. Apa yang sebenarnya ditangkap oleh pengetahuan langsung yang pasti benar adalah rasa khasnya. Yang itu seketika diikuti oleh tafsir akli, berdasar pembandingan dengan rasa-rasa semisal, itu disebabkan oleh perlu makanan. 

Pembandingan ini tentu saja tidak selalu tepat dan karenanya sebuah kesalahan dapat terjadi dalam menentukan sebab dan dalam memberi tafsiran aklinya. Berbagai kesalahan yang terjadi dalam penyingkapan mistis adalah semacam ini. Makanya penting menentukan pengetahuan langsung secara cermat dan membedakannya dari tafsiran akli yang menyertai, agar tak keliru seperti tersebut. 

*Gradasi Pengetahuan Langsung*

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengetahuan langsung tidaklah seragam dalam intensitasnya. Pengetahuan langsung ada kalanya hadir cukup kuat dan membekas pada kesadaran manusia, ada kalanya sangat lemah dan ringan sehingga orang setengah menyadari atau bahkan tak menyadarinya sama sekali. 

Beda tingkatan pengetahuan langsung kadang disebabkan bedanya tingkat wujud si tau. Jika diri si tau lemah dalam gradasi wujud, maka pengetahuan langsungnya juga lemah dan ringan. Jika tingkatan wujudnya lebih sempurna, pengetahuan langsungnya akan lebih sempurna dan lebih disadari. Penjelasannya tentu bergantung pada paparan tentang gradasi wujud dan gradasi kesempurnaan diri, yang mesti dibuktikan di ranah lain filsafat. Sementara akan kita terima saja, berdasar dua prinsip ini, bahwa pengetahuan langsung bisa kuat dan bisa lemah. 

Pengetahuan langsung akan kondisi psikologis dapat pula kuat dan lemah. Contoh: orang sakit, yang menangkap rasa sakit dengan pengetahuan langsung, saat mengalihkan perhatian kepada seorang teman akrab, tak lagi merasakan sakit. Sebaliknya saat sepi, khususnya di malam larut saat tak ada pengalih perhatian, ia merasakan sakit yang lebih kuat, sebabnya adalah kuatnya perhatian. 

Beda tingkat pengetahuan langsung bisa berdampak pada beda tafsiran akli sesuai kuat lemahnya. Contoh: meski diri pada tingkat paling rendah punya pengetahuan langsung akan dirinya, tak mustahil karena lemahnya pengetahuan ini ia menduga bahwa hubungan antara diri dan tubuhnya adalah identitas. Ia mungkin menyimpulkan bahwa hakikat diri adalah semata tubuh material atau fenomenanya. Namun, saat pengetahuan langsung yang hadir lebih sempurna, yakni saat hakikat si diri tersempurnakan, kesalahan demikian tak akan ada lagi. 

Pada tempat yanh sesuai akan dibuktikan bahwa manusia punya pengetahuan langsung akan Penciptanya. Namun, karena lemahnya tingkat wujud dan perhatian yang hanya tercurah pada tubuh dan hal-hal material, pengetahuan ini lalu tak tersadari. Namun, dengan menyempurnanya diri dan berkurangnya perhatian pada tubuh juga hal-hal material, serta menguatnya perhatian qalbu pada Allah Taala, pengetahuan yang ini akan mencapai tahapan terang dan tersadari hingga orang ini bilang "[Ya Allah] adakah perwujudan dari selain Anda dan bukan dari Anda?" (Philosophical Instructions, oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdi)