Selasa, 12 Juni 2018

Kitab suci, mestinya untuk anda

Kitab suci, mestinya untuk anda

Sampai di titik ini anda tahu bahwa adalah hak anda untuk mentaati sang Tuan, adalah hak anda untuk meniruNya. Sementara anda tahu pula bahwa Dia tak mungkin abai dengan hak anda. Sementara Dia juga tahu bahwa bersandar pada penalaran akan menyampaikan kepada beberapa hal, bukan semua hal yang perlu. Pendek kata, karena kepedulianNya kepada umat manusia sang Tuan lalu mengirimkan tanda-tanda besarNya, yakni para jiwa suci, sebagai para pemandu menuju kebaikan, keadilan, dan cinta. Sebagian orang menyebutnya nabi, yang membawa ajaran ilahiah berupa kitab suci.

Oke, sekarang umpamakan ada sebuah pesan disampaikan kepada anda:
___________________
Salam. Saya suka anda. Jadilah teman saya.

Ttd. Rahasia
___________________

Anda mungkin tak seharusnya menganggap terlalu serius pesan semacam ini. Mengapa? Kemungkinan pertama, maksud yang ingin disampaikan adalah bercanda. Keseriusan niat baik biasanya ditandai dengan keterbukaan dan keterus terangan. Kemungkinan kedua, maksud yang ingin disampaikan sungguh-sungguh tapi pengirimnya tak ingin dikenali. Untuk apa keinginan mengenali ditujukan kepada sosok yang tak ingin dikenali? Mestinya anda membiarkan saja pesan itu apa adanya, titik.

Sekarang bayangkan ada teks yang dianggap kitab suci tapi tak tertulis di sana secara terbuka bahwa ia berasal dari sang Tuan, atau sang Tuhan, atau Allah, atau sang Pencipta, dst. Kesimpulannya, anda tak perlu menganggap bahwa ia benar berasal dari sang Tuan, yang berisi ajaran kebaikan, keadilan, dan cinta. Mungkin itu hanyalah hasil penalaran, semisal novel dan roman.
###

Sekarang umpamakan ada pesan lain untuk anda:
____________________
Serahkan semua harta anda sekarang! Atau nyawa anda sebagai gantinya.

Ttd. Sang dermawan
_____________________
Hanya ada satu kemungkinan untuk pesan seperti ini, bohong.

Ketika ada teks yang dianggap sebagai kitab suci, tapi di dalamnya tak menggambarkan sang Tuan sebagai mestinya. Pasti itu hanya kitab candaan.

Perjalanan menuju sang Tuan masih panjang, sementara yang harus anda punya hanyalah ketulusan, optimisme, dan kewarasan.

Anda harus menempuh penelaahan yang cukup mendalam untuk menemukan jejak-jejak sang Tuan. Saran saya, cermatilah teks-teks yang kata orang adalah kitab-kitab suci itu! Yakinkan diri anda sendiri tentang keasliannya! Mulailah dari yang ada dalam jangkauan anda! Di sini misalnya,
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Religious_text

Sementara itu, saya tak dapat menjadi teman karib anda dalam hal ini.

Sampai berjumpa di terminal yang sama. Bukankah orang-orang yang menuju arah yang sama harus berkumpul di terminal yang sama?

Teman anda, Saban Subiadi.

Senin, 11 Juni 2018

8. Baik adalah...

8. Baik adalah...

Bertolak dari pendapat, "Apalah artinya perbuatan yang tak membawa kebaikan. Apa pula nilai percakapan tanpa kebaikan." Sampailah kita pada bahasan tentang apa itu kebaikan.

Perlu sepertinya saya sampaikan bahwa mencari kebaikan ada kalanya menyampaikan kepada apa yang tak anda harapkan.

Sebelumnya telah jelas bahwa sang Tuan adalah tunggal dan sederhana. Perwujudan ketunggalan dan kesederhanaan itu kemudian adalah bahwa segenap wujud selaras satu sama lain. Karenanya kemudian segenap wujud menjadi ada karena mengikuti satu pola yang sama. Pola ini kemudian dalam batas-batas tertentu dapat dikenali dengan penalaran. Sebagian kita kemudian menyebutnya kebaikan. Memberi, misalnya, atau menjaga kehidupan, adalah baik karena sejalan dengan konsep mencipta. Merampas, misalnya, atau mematikan, adalah tak baik karena tak sejalan dengan konsep mencipta.

Ada kalanya kebaikan disamakan dengan keadilan. Yakni menempatkan segala sesuatu pada posisi yang sesuai. Contohnya, dimensi yang sesuai untuk makhluk adalah alam ciptaan yang faktual, bukan alam potensi. Karenanya kemudian sang Tuan mencipta. Contoh lainnya, makhluk yang baik dibalas dengan kebaikan berupa kenikmatan, makhluk yang jahat dibalas dengan keburukan berupa siksa. Karenanya kemudian ada surga yang abadi, ada neraka yang abadi.

Masalahnya lalu siapa yang menentukan "posisi yang sesuai" sebagai syarat keadilan? Apakah penalaran?

Apakah mencipta kejahatan, atau keburukan, misalnya, adalah sejalan dengan prinsip keadilan? Apa benar bahwa semua yang ada hanya kebaikan? Kenapa bisa muncul konsep keburukan dalam akal jika faktanya tak ada? Dst. Sebagian penalar mungkin akan sampai kepada pertanyaan-pertanyaan demikian. Hal ini dapat dimaklumi karena bahan-bahan penalaran ada kalanya berupa fungsi, ihwal material, yang bukan wujud hakiki.

"Posisi yang sesuai" sebagai syarat keadilan mestinya dikembalikan kepada sang Tuan, karena Dia yang membuat pernyataan, karena Dia yang mencipta. Dengan penalaran yang benar kemudian akalpun akan sampai kepada "posisi yang sesuai" sebagaimana diinginkan oleh sang Tuan. Hal ini jelas karena semua wujud hakikatnya mengikuti satu pola saja. Dalam kerangka penalaran keadilan ini nampak jelas bahwa manusia, seorang hamba, hanya akan sampai kepada pahaman keadilan dan kebaikan jika dan hanya jika tunduk pada definisi yang disampaikan oleh sang Tuan. Sebuah gambaran yang cukup jelas tentang ketaatan seorang hamba kepada sang Tuan.

Ini sebuah alternatif.
###

Ada kalanya mencari kebaikan, dengan kemurahan sang Tuan, menyampaikan kepada sesuatu yang jauh melampaui harapan.

Bayangkan ada seorang yang selalu memperhatikan anda, menjaga anda dari bahaya, tahu kebutuhan-kebutuhan anda pun menyediakan sarana-sarananya. Hal ini tak akan aneh saat anda telah berbuat kebaikan kepadanya. Atau setidaknya anda menyadari kedermawanannya, bersimpati, kemudian membalas dengan yang serupa. Lalu dia kembali lagi bersikap baik kepada anda. Anehnya dia tak peduli anda berterima kasih atau tidak. Dia tak peduli anda memperhatikannya atau mengabaikannya. Bahkan saat anda mencaci maki, menyakiti, dan mengusirnya, tetap dia tak mengubah sikapnya. Ketika anda bahkan menganggapnya tak ada, dia tetap bersikap sama. Mungkin sebagian orang menyebut dia dungu dan buta...

Tapi sebagian yang lain menyebutnya jatuh cinta.

Begitulah gambaran tentang sikap sang Tuan kepada anda. Anda begitu penting bagiNya. Dia mencinta anda setulusnya.
###

Ada kalanya anda merasakan rela, lega, saat membantu makhluk lain yang dalam kesulitan. Saat itu tak terpikirkan dalam benak anda berharap balasan. Ada kalanya bahkan anda lupa meminta sekedar kata terima kasih. Demikianlah Dia mengajarkan kedekatan dan cinta, yang menyenangkan.

Ada kalanya anda merasakan hidup begitu menghimpit dan berat. Yang anda harapkan tak kunjung datang. Yang jadi tempat bergantung tak juga mengerti dan peduli. Anda saat itu hanya tak menyadari bahwa Dia ingin dikenali, ingin pula Dia dicintai. Demikianlah Dia mengajarkan rindu dan keterpisahan, yang menyiksa.

Dalam kerangka ini cukup jelas bahwa manusia, sang hamba, hanya akan mencapai kebaikan dengan meniruNya.

Ini sebuah alternatif yang lain. Dan puji hanya untuk Allah, sang Tuhan, yang disembah dan ditiru oleh segenap wujud dan alam.

7. Yang ada hanya immateri

7. Yang ada hanya immateri

Sedikit lebih jauh tentang wujud. Setiap wujud adalah tunggal dan sederhana. Tidak seperti fungsi, yakni hal material, yakni sesuatu yang dianggap ada karena pengenalan semu. Contoh fungsi adalah tangan. Adakah tangan? Tidak. Yang ada adalah jaringan-jaringannya, yakni kulit, tulang, otot dst. Kita ambil salah satunya, kulit misalnya. Adakah kulit? Tidak ada juga. Yang ada adalah sel-sel kulit. Adakah sel kulit? Tidak ada juga. Yang ada adalah bagian-bagian sel kulit.... Demikian seterusnya tanpa ujung. Semakin anda perhatikan lebih rinci ternyata kesemua fungsi itu, kesemua hal material itu hakikatnya tak ada. Lalu apakah tidak ada yang ada dari alam material? Alhasil harus ada sesuatu, atau banyak sesuatu, yang ada secara hakiki yang menghasilkan fungsi-fungsi itu, yang membuahkan hal-hal material itu. Itulah sepertinya gambaran paling jauh yang dapat diperoleh tentang alam material.

Bandingkan dengan pengetahuan anda sendiri. Tentang tangan yang sama misalnya. Dari melihat fenomena tangan kemudian anda menduga bahwa tangan ada. Dugaan anda itu, cukup mengejutkan, ternyata ada, benar-benar ada dalam benak anda. Dan kalau diperhatikan dengan seksama ia tunggal dan sederhana. Ia adalah ia saja, tanpa bagian ini itu. Hanya saja kadang ia dinyatakan, disampaikan tanda-tandanya dengan kata-kata, menjadikannya seolah terdiri dari konsep-konsep ini itu, bunyi-bunyi ini itu, dst.

Silahkan bandingkan pula fungsi dengan rasa anda. Saat anda merasakan lapar misalnya. Saat itu anda yakin, tahu 100% bahwa rasa itu ada, juga ia tunggal dan sederhana. Sama juga, ada kalanya ia dinyatakan dengan kata-kata, sehingga seolah tersusun.

Silahkan pula resapi keakuan, kedirian anda. Samakah kewujudannya dengan fatamorgana berupa hal-hal material yang disebut fungsi?
###

Bagaimana dengan sang Pencipta, apakah Dia ini semacam fungsi atau semacam wujud? Mungkin pertanyaannya harusnya begini. Adakah yang lebih hakiki wujudnya dari sang Pencipta? (Sementara semua wujud dan fungsi bergantung hanya kepadaNya.)
###

Bayangkan satu ketika hanya sang Pencipta yang ada, sendirian. Adakah sesuatu yang dapat ditambahkan kepadaNya oleh selain diriNya? Jelas tak ada, kan Dia sendirian.

Sekarang bayangkan Dia mencipta makhluk-makhluk, yakni ada wujud selainNya. Adakah sesuatu yang dapat ditambahkan kepadaNya oleh selain diriNya? Masih sama juga, tak ada. Bukankah jelas bahwa makhluk adalah akibat yang bahan gerak dan alat geraknya adalah Dia sendirian?

Sebagaimana jelas bahwa segenap wujud selain Dia hanyalah perbuatanNya, hanya akibatNya, jelas pula kemudian bahwa tak ada satupun yang dapat menambahkan apapun kepada diriNya. Demikianlah kaya itu. Begitulah mandiri itu. Demikianlah Dia menguasai semua wujud. Jadilah Dia sang Tuan.
###

Oke, katakan bahwa sang Pencipta itu tunggal dan sederhana. Tapi bagaimana kemudian Dia memunculkan keragaman pada makhluk-makhluk? Tidakkah cukup aneh bahwa kesederhanaan yang tunggal lalu membuahkan keragaman? Jangan-jangan sang Pencipta ini memang tidak tunggal dan sederhana...

Karena Dia tunggal dan sederhana maka perbuatanNya, yakni makhluk yang diciptaNya (secara langsung) hanya satu saja. Karena yang Dia tahu hanya diriNya saja maka wajarlah jika makhluk ini kemudian adalah keserupaanNya. Namun bagaimanapun ternyata Dia tak mampu menjadikan makhluk ini benar-benar sama denganNya. Dalam hal kaya, yakni tak membutuhkan, dalam hal mandiri, dalam hal menguasai segenap wujud. Kemustahilan, yakni kontradiksi wujudi, itulah yang menjadikannya demikian.

Dari sudut pandang sang Pencipta yang ada hanya kesederhanaan dan ketunggalan. Namun dari sudut makhluk yang ada kemudian adalah keragaman, ada sang Pencipta ada makhluk, ada kaya ada miskin, ada mandiri ada bergantung, ada yang berkuasa ada yang dikuasai.

Keserupaan makhluk pertama, katakan begitu, dengan sang Pencipta kemudian adalah pada sifat-sifat selain hakikat ke-Tuan-an. Di antara keserupaan itu adalah berbuat, yakni mencipta. Makhluk pertama kemudian mencipta makhluk kedua. Anda lihat bahwa keragaman itu lalu semakin bertambah. Ada sang Pencipta, ada makhluk pertama, ada makhluk kedua. Dan bertambah, dan bertambah.

Kamis, 07 Juni 2018

6. Ada, saling berkait

6. Ada, saling berkait

Dalam hal pencipta dengan ciptaannya maka jelas bahwa keduanya berkaitan. Kaitan ini tidak seperti hubungan antara subjek dengan objek, tapi lebih erat dari itu yakni seperti hubungan subjek dengan predikatnya, seperti hubungan subjek dengan perbuatannya. Hanya dalam konsep tampaknya dapat dipisahkan perbuatan dari subjeknya. Dapatkah dalam fakta perbuatan dilepaskan dari subjeknya?

Bagaimana kemudian kaitan antara ciptaan yang satu dengan ciptaan lainnya, dengan pencipta yang sama? Pertama, ciptaan-ciptaan itu dapat saling mempengaruhi. Ciptaan yang satu dapat menjadi alat gerak bagi ciptaan lainnya. Contoh penggambarannya seperti angin yang menggerakkan daun-daun, atau seperti panas yang mengubah sifat-sifat benda yang dikenainya. Pencipta dalam hal ini menjadikan ciptaan-ciptaannya sebagai gambaran alat gerak. Hakikatnya yang menjadi alat gerak tentu pencipta itu juga. Bukan begitu? Kedua, jika diperhatikan lebih dalam, bahkan wujudnya ciptaan yang satu kemudian memaksa ciptaan yang lain tidak menempati dimensi (gambarannya dalam alam materi adalah ruang-waktu) yang sama. Ibarat dua perbuatan yang berbeda oleh subjek yang sama, ia meniscayakan perbedaan dimensi itu. Bukankah mustahil satu subjek melakukan dua perbuatan dalam dimensi yang sama? Contoh penggambarannya seorang berjalan dan melihat di waktu yang sama. Meskipun waktunya sama, unsur keruangan berjalan berbeda dari melihat.  Itu artinya berjalan dan melihat saling membatasi, yakni saling mempengaruhi juga, kan?

Bagaimana kemudian kaitan antara ciptaan yang satu dengan ciptaan yang lain, oleh pencipta yang berbeda? Bagaimana, misalnya, kaitan antara pengetahuan seorang dengan pengetahuan orang lain? Sulit menilai? Ternyata tidak. Kedua pengetahuan tersebut jelas menempati dimensi yang berbeda. Artinya keduanya hakikatnya saling membatasi juga. Artinya dua pengetahuan oleh dua subjek berbeda hakikatnya saling berkait juga secara dimensional.

Dengan demikian semua wujud kemudian adalah saling berkaitan. Hakikatnya tak ada yang namanya banyak alam itu. Yang ada hanya satu alam saja, satu semesta wujud saja, mungkin dengan banyak semesta bagian.

Artinya? Segenap wujud hanyalah gambaran, hanyalah perbuatan oleh satu subjek saja, sebut saja sang Pencipta.
###

Sampai di titik ini anda mungkin akan bertanya lagi. Katakan bahwa semua yang ada itu berasal dari satu wujud saja, tapi satu wujud itu ada dari mana? Apakah ia berasal dari ada atau dari tiada? Tidakkah cukup jelas bahwa tiada itu artinya juga ketiadaan pengaruh, tiadanya akibat? Faktanya?

Jelaslah kemudian bahwa sang Pencipta tak berawal. Apakah Dia juga lalu tak berakhir kepada ketiadaan? Katakan bahwa adanya Dia sekarang adalah sebab bagi adanya Dia kemudian. Ketika sesuatu ada maka pengaruhnya, akibatnya, juga ada. Ketika Dia sekarang ada maka kemudian, yakni salah satu akibat dari wujudnya yang sekarang, Dia pun ada. Demikian seterusnya, tanpa akhir. Maka jelas bahwa Diapun tak berakhir kepada tiada. Agak aman (ada kemungkinan kita tak berakhir pada ketiadaan)...

Rabu, 06 Juni 2018

Pendidikan, mestinya

Pendidikan, mestinya...

Seorang bocah bilang kepada teman sebayanya. Tentang menjadi dewasa. "Enak kali ya jadi dewasa.... Tubuh kita kuat. Tampan, atau kalo perempuan jadi cantik. Bisa suka-suka... gak disuruh-suruh sama ortu gini gitu... Blablabla..." Dewasa dalam sudut pandang bocah. Dewasa khayali bisa dibilang. Kira-kira bermanfaat gak omongan kayak gini, dari sudut pandang menjadikan dewasa? Untuk temannya, atau untuk si bocah sendiri?

Atau dalam kasus yang pernah saya temui seorang yang biasa merokok bilang kepada anaknya. "Nak jangan ngerokok ya! Gak sehat." Ada manfaatnya gak ya kata-kata gini? Buat si anak, buat si perokok?

Pendidikan dikatakan penyampaian nilai-nilai dari guru kepada murid. Tapi nilai-nilai apa? Kesehatan jasmani dan panjang umur? Intelektualitas? Kreativitas? Bertahan hidup? Kesehatan emosi? Atau apa?

Dalam tataran terminologi penyampaian nilai apapun kemudian dapat dikatakan sebagai pendidikan. Lalu di sebelah mana positifnya term "pendidikan" dong?

Dalam satu konsep kosmologi dikatakan bahwa sarana hidup yang paling penting bagi manusia adalah hati. Jika segenap sarana hidup manusia diibaratkan sebuah kerajaan, hati inilah yang mestinya berkuasa. Jika hati condong kepada sang Tuan, segenap kerajaan diripun akan menjadi seperti para malaikat yang selalu mentaatiNya. Jika hati condong kepada selain sang Tuan, segenap kerajaan diri akan seperti tempat yang penuh kekacauan dan pemberontakan kepadaNya.

Mungkin ada yang bertanya. Di mana tempatnya akal, penalar, dalam konsep kosmologi ini? Bukankah ia sarana hidup manusia yang paling dewasa, yang paling cerdas? Benar bahwa akal adalah sarana paling cerdas pada manusia, pada awalnya. Namun demikian akal bukanlah sarana dengan kapasitas berkehendak, pun mencinta. Sementara hal yang paling utama pada manusia adalah kehendaknya, dan cintanya. Hal yang signifikan pada manusia adalah niatnya, pun apa yang jadi cintanya. Karena itulah kemudian akal menjadi penasehat dalam kerajaan diri, sementara hati sebagai rajanya.

Pendidikan, dengan demikian, mestinya adalah upaya mejadikan rajanya segenap sarana hidup manusia, yakni hati, sebagai sosok yang dewasa. Yakni sosok yang senang dengan ketaatan kepadaNya, sosok yang benci akan pembangkangan kepadaNya. Hal ini karena hati adalah wujud yang bodoh pada awalnya, diibaratkan seperti bayi yang hanya dapat mendengar, tak mampu melihat, tak mampu berucap pun berdalil.

Hati siapakah yang kemudian jadi target pendidikan? Hati istri/suami kita? Hati anak-anak kita? Hati semua orang?

Mungkin kepedean, tidak pada tempatnya hati yang buta dan bisu berkhayal jadi pendidik bagi hati-hati lain yang serupa.

Maka tugas manusia kemudian adalah mengajari hatinya sendiri, sembari mengiba kepada sang Sebab kedewasaan hati, sembari mengajak hati-hati yang lain belajar bersama.

Akhir kata. Adakah gunanya ocehan bocah tentang kedewasaan khayali ini? Mungkin tidak. Ah sudahlah...

Selasa, 05 Juni 2018

5. Penciptaan atau persekutuan

5. Penciptaan atau persekutuan

Penciptaan kurang lebih telah dijelaskan sebelum ini. Adapun persekutuan maksudnya adalah beberapa subjek yang bekerjasama menghasilkan satu atau banyak objek/akibat. Contoh mudah persekutuan adalah proses pembuatan meja, seperti dicontohkan sebelumnya. Dalam pembuatan meja ada bahan gerak, yakni kayu atau potongan-potongan kayu, ada pula alat-alat gerak, yakni apa-apa yang menyampaikan bahan kepada akhir gerak, yakni meja. Beberapa alat gerak dalam contoh meja adalah Pak Karyo, ide tentang bentuk meja, ide tentang fungsi yang diharapkan dari meja, alat-alat pertukangan, waktu pengerjaan.

Dalam pembuatan meja tersebut setidaknya ada 2 subjek. Subjek pertama adalah pencipta materi, yakni yang mengadakan materi-materi, termasuk kayu dan bahan-bahan lain yang kemudian menjadi alat-alat pertukangan, bahkan mengadakan tubuh Pak Karyo dan energi materialnya, juga menentukan hukum-hukum yang berlaku di alam materi, yakni kayu jika mengalami gesekan tertentu dapat mengalami perubahan bentuk atau terpotong, energi yang tersimpan di tubuh dapat diubah menjadi gerak tangan, gesekan yang sedemikian akan membutuhkan waktu sedemikian untuk memotong kayu setebal-lebar sekian, dst. Subjek kedua adalah Pak Karyo. Setelah mengamati dan mempelajari hukum-hukum yang berlaku di alam materi maka Pak Karyo dapat memanfaatkan hukum-hukum tersebut untuk mewujudkan idenya, yakni bentuk dan fungsi meja. Perhatikan bahwa Pak Karyo dalam hal ini tidak  menentukan atau menguasai hukum-hukum yang berlaku di alam materi, dia hanya memanfaatkan hukum-hukum itu untuk kepentingannya. Kemudian pendeknya dapat dikatakan bahwa Pak Karyo bersekutu dengan pencipta materi untuk mewujudkan meja.
###

Jadi mana yang hakikatnya terjadi, penciptaan atau persekutuan, atau keduanya?

Ihwal mengadakan ini jelas akan lebih mudah dijelaskan jika diasumsikan sebagai penciptaan. Dalam kasus mengadakan meja di atas, misalnya, katakan saja ada pencipta materi dan ada Pak Karyo. Keduanya diciptakan oleh satu pencipta yang sama. Atau Pak Karyo diciptakan juga oleh pencipta materi. Selesai sudah penjelasannya.
###

Ketika mewujudkan meja, seperti contoh kita, ingin dijelaskan dengan konsep persekutuan?

Ada 2 subjek berbeda, pencipta materi dan Pak Karyo. Ada 2 kehendak berbeda, milik pencipta materi dan milik Pak Karyo. Ketika penjelasan hanya sampai di sini maka seolah ada keterpisahan antara wujud pencipta materi dan wujud Pak Karyo.

Ketika yang ada di antara keduanya hanya keterpisahan maka keduanya hakikatnya tidak akan pernah berhubungan, tak akan bersekutu, termasuk dalam mengadakan meja, atau apapun. Sementara dalam kasus contoh kita keduanya bersekutu, termasuk dalam mengadakan meja, maka mestinya ada keterkaitan antara keduanya. Bagaimana itu?

Hanya ada 2 alternatif jawaban untuk hal ini. Pertama, pencipta materi hakikatnya adalah pencipta Pak Karyo juga. Wujud Pak Karyo dengan demikian adalah gambaran atau perwujudan dari wujud sang pencipta materi. Pencipta materi juga mewujudkan dalam diri Pak Karyo kebebasan berkehendak termasuk dalam mempelajari dan memanfaatkan materi dan hukum-hukumnya. Dengan begitu kehendak Pak Karyo hakikatnya adalah gambaran atau perwujudan dari kehendak sang pencipta materi itu juga.

Kedua, pencipta materi dan Pak Karyo diciptakan oleh satu pencipta yang sama, katakan A. Dengan begitu wujud pencipta materi dan wujud Pak Karyo adalah gambaran atau akibat A. Demikian pula kehendak pencipta materi dan kehendak Pak Karyo adalah dalam lingkup kehendak A. Inilah maka pencipta materi dan Pak Karyo kemudian terpisah sekaligus terkait dalam semesta yang diwujudkan oleh A.

Lho kok?
###

Menarik di baca:
* Sebab-akibat, dalam buku "Logika (itu) Mudah", oleh penulis