Senin, 22 Januari 2018

0. Mencari cinta

0. Mencari cinta

0.1 untuk apa belajar?

Pembahasan pada bab ini sebenarnya tak dimaksudkan sebagai bagian dari kajian logika. Namun ia adalah sebagian dari kajian akhlak, sedikit banyak terkait juga dengan pembahasan tauhid. Anggap saja sebagai bagian dari kerangka besar serangkaian tulisan.
###

Untuk apa ANDA belajar? Mungkin saya tidak perlu tahu untuk apa anda belajar. Namun saya yakin anda perlu tahu untuk apa anda belajar. Sangat aneh anda melakukan satu pekerjaan tapi anda tidak tahu untuk apa pekerjaan anda itu.

Sebagian orang mungkin belajar untuk beroleh materi. Mereka belajar agar punya keterampilan tentang cara beroleh keberlimpahan materi. Mereka berharap bahwa keberlimpahan materi itu kemudian membahagiakan.

Sebagian orang belajar mungkin untuk aktualisasi diri. Mereka belajar untuk beroleh kepuasan. Mereka ingin menunjukkan kepada segenap wujud bahwa mereka pandai. Pengakuan akan kepandaian, keserba-tahuan itu kemudian diharapkan membahagiakan.

Sebagian orang belajar mungkin untuk kebahagiaan abadi, akhirat. Seorang pasti tak akan berhasil di akhirat jika tak merencanakan dan melakukan tindakan tahap demi tahap sebaik mungkin untuk itu.

Saya mungkin tidak perlu tahu apa motif anda belajar. Saya pun tak bisa memaksa anda harus apa motif belajar anda. Itu benar-benar adalah wilayah anda, teritori kekuasaan anda.

Sejauh yang saya tahu, belajar adalah upaya menjawab satu dari dua pertanyaan berikut. Apa yang harusnya dicinta? Bagaimana cara mencinta? Dan tampaknya pertanyaan yang signifikan bagi manusia hanya berkutat di antara dua ini.

Dalam Islam, tanya-jawab tentang apa yang harus dicinta termasuk dalam kajian tauhid. Adapun dialektika tentang bagaimana mencinta termasuk dalam kajian akhlak. Pembahasan tentang apapun, dalam bidang apapun, dalam sudut pandang keislaman, pasti tak bisa dilepaskan dari kaitan dengan tauhid, atau dan akhlak.

 _Saat mata terpikat, kaki hanya ingin mendekat, apapun di antara hanya akan menyekat._

0.2 mengkhayalkan super akal

Model pembelajaran setidaknya ada 3 macam. Dua di antaranya berfokus pada pengembangan, penumbuhan akal. Satu yang lain berfokus pada pengolah rasa, hati.

Model pertama pembelajaran mengembangkan akal, benak, sedemikian sehingga ia menjadi alat yang efektif, alat yang sakti, untuk melayani apapun keinginan manusia, si empunya akal. Ketika si manusia adalah sosok yang menyenangi seni maka akal akan diarahkan untuk memiliki kemampuan untuk membuat, juga menilai karya seni, kemudian menjadi akal yang berkesenian. Ketika si manusia adalah sosok yang bersimpati dengan kesusahan yang dialami orang-orang, maka akal akan diarahkan menjadi penilai, perencana, juga konsultan aksi-aksi sosial. Ketika si manusia adalah sosok yang menggandrungi wirausaha maka akal akan diarahkan untuk mampu menganalisis, merencanakan jalan sebuah badan usaha, juga terampil mencari solusi bagi halangan-halangan dalam perkembangan badan usaha, kemudian menjadi mental pebisnis.

Bayangkan bahwa ada sebuah komputer super canggih dengan potensi menampung satu macam program dengan upgrade program berkelanjutan, dengan ekstensi program yang terus berkembang. Komputer ini bahkan selalu mengingatkan penggunanya untuk alternatif-alternatif masukan dan keluarannya. Apa jadinya jika komputer demikian diserahkan kepada penggila game, atau penikmat hoax, atau anak balita?

Model pembelajaran yang kedua adalah "pabrik pendidikan". Akal-akal, manusia-manusia, dalam model ini diasumsikan sebagai sama, seragam. Pemilik, atau penanggung jawab lembaga pendidikan, yang merupakan kepanjangan tangan pemilik, penguasa sistem kemasyarakatan,  berpendapat bahwa sebuah sistem pembelajaran harus punya standard-standard, acuan-acuan tentang masukan, proses, juga keluaran sistem dimaksud. Yang acuan-acuan itu sama sekali, atau hampir semuanya, tidak ditentukan oleh manusia-manusia yang menjalani proses pembelajaran. Manusia-manusia pada gilirannya hanya dipandang sebagai mesin-mesin, alat-alat, sarana-sarana untuk memenuhi tuntutan pemilik, penguasa sistem kemasyarakatan.

Bayangkan bahwa ada komputer super canggih yang jarang dipakai oleh pemiliknya, seringnya disewakan, seringnya disewakan murah.

Pada manusia, kecuali pada kasus-kasus khusus, akal mengalami penyempurnaan fungsi secara alamiah. Secara alamiah akal mencapai fungsi pencerapan dan pengolahan data, juga fungsi perencanaan aksi. Dua model pembelajaran di atas tampak tidak dimaksudkan untuk memberikan fungsi-fungsi tersebut, tapi lebih dimaksudkan mengarahkan fungsi-fungsi itu untuk memenuhi keinginan penggunanya.

Karena fungsi-fungsi itulah kemudian salah satu posisi akal bagi manusia adalah sebagai penasehat, pemberi masukan.
###

Dalam perjalanan manusia kadang didapati bahwa kebenaran yang didapati oleh akal tidak disenangi, atau hal yang dinilai salah oleh akal malah dilakukan. Model pembelajaran ketiga mempertanyakan hal ini, pun berupaya menyadarkan manusia akan ini.

Selain akal, ternyata manusia punya sarana hidup berupa hati. Dengan hati ini manusia menyuka dan membenci. Pada saat manusia mengejar apa yang disukai, ia berniat dalam hati. Inilah sebagian fungsi dasar hati.

Tidak seperti akal, hati tidak serta merta mencapai kesempurnaan fungsi-fungsinya seiring bertambahnya usia. Pencapaian fungsi-fungsi lanjut hati umumnya hanya dapat diraih dengan diawali pemilihan-pemilihan yang sadar tanpa paksaan. Model ini mengenalkan manusia bagaimana ia merasa, bagaimana mengarahkannya.

Model pembelajaran ketiga dapat dikatakan berhasil ketika pelajarnya kemudian menyukai apapun yang dibenarkan oleh akal dan membenci apapun yang disalahkan oleh akal.

Tahapan selanjutnya dari model pembelajaran ketiga ini dapat dikaji lebih lanjut melalui naskah-naskah atau diskusi-diskusi bertema akhlak yang sesuai.

0.3 manusia, (sayangnya) bukan penalar

Sering saya dapati dalam artikel-artikel atau buku-buku filsafat bahwa manusia digambarkan sebagai hewan rasional, binatang yang menalar. Dalam fase-fase tertentu gambaran, definisi, tersebut tampaknya akan sulit ditolak. Namun demikian, gambaran itu tetap tidak sama dengan cakupan kata "manusia". Coba kita perhatikan anak kecil dan bayi, yang notabene termasuk dalam kelas manusia. Akan sulit mengenali aktivitas "menalar" pada anak kecil, apalagi pada bayi.

Dengan demikian sifat dasar manusia sepertinya bukan pada penalarannya.

Yang lebih melekat pada manusia sepertinya adalah "menyadari" dan "merasa". Manusia menyadari wujud dirinya, wujud selain dirinya, juga menyenangi atau tak menyenangi. Ketika manusia mendapati bahwa ada wujud selain dirinya, ia seketika senang saat wujud itu bermanfaat, menyenangkan, ia tak senang seketika saat wujud itu tak bermanfaat, tak menyenangkan. Ia senang, misalnya, saat mendapatkan sensasi enak di lidahnya. Ia tak senang, misalnya, saat mendapati sensasi amat pahit di lidahnya. Ia senang saat tak terbebani, ia tak senang saat merasa terbebani. Manusia adalah tampaknya makhluk yang sadar sekaligus perasa.

Demikianlah, selanjutnya manusia belum, dan tak pernah memperjuangkan kebenaran, apa yang dicapai oleh penalaran. Ia lebih senang memperjuangkan apa-apa yang menyenangkan, apa yang dicapai oleh hati, selalu dan selamanya.

0.4 belajar dengan senang hati

Manusia pada awalnya, tampaknya juga seterusnya, mencinta dirinya. Karenanya, saat mendapati sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, yang menyenangkan, ia suka. Ketika berfokus pada rasa suka, manusia terkondisikan bersiap menyuka, menerima. Kadang bahkan bisa menerima ketaknyamanan, derita, hingga batas tertentu. Rasa suka beragam dalam intensitasnya, ada yang lemah dan ada yang kuat. Bisa juga rasa suka berubah intensitasnya. Rasa suka menguat seiring bertambahnya manfaat yang diperoleh, melemah seiring berkurangnya manfaat yang diperoleh.

Rasa suka yang sangat kuat, tersebutlah cinta. Saat manusia mencinta ia tak lagi mengenal keburukan pada apa yang dicinta. Kemudian cinta yang sangat kuat, tersebutlah penyembahan. Manusia yang menyembah mungkin tak lagi mengenal keburukan sama sekali.

Di sisi lain, saat manusia mendapati sesuatu mengurangi manfaat pada dirinya, yang tak menyenangkan, ia membenci. Saat membenci manusia bersiap, memposisikan diri untuk keburukan-keburukan, bersiap untuk hal-hal tak menyenangkan, menyambut derita. Semakin menguat benci, kadang sampai kepada antipati. Dengan antipati manusia tak akan dapat lagi melihat manfaat pada sesuatu, tiada lagi keindahan pada sesuatu sama sekali.

Dengan demikian, tak ada gunanya belajar dari sesuatu yang anda benci. Anda hanya akan beroleh derita, sakit.

Adapun terhadap hal yang baik menurut akal tapi tak baik menurut hati, benar tapi tak menyenangkan? Mungkin anda harus lebih dulu menghadirkan rasa suka sebelum mengajarkan hal tersebut kepada hati. Bersantailah sejenak. Makan santapan yang anda suka, atau datangi tempat yang anda suka, atau lakukan apa yang anda suka, dengan tak melanggar batas-batas Tuhan yang anda tahu. Karena bagaimanapun, anda tak akan mencapai kebaikan saat batas-batas Tuhan diabaikan.
###

Menarik dibaca:
*https://en.m.wikipedia.org/wiki/Education
*https://en.m.wikipedia.org/wiki/Rational_animal
*https://en.m.wikipedia.org/wiki/Love
*On Informing the Heart, dalam buku "Adab As-salat: The Disciplines of the Prayer", oleh Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini
*On Vivacity and Cheerfulness, ibid
*Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela, oleh Tetsuko Kuroyanagi
*Kurikulum 2013 Revisi 2017, buku elektronik oleh Harun Harosid
*https://www.kompasiana.com/bro_chris/filsafat-manusia-kajian-filosofis-tentang-siapakah-manusia_581aa41d947e619f3219600c#
*Man and Animals, dalam buku "Man and Universe", oleh Ayatullah Murtadha Mutahhari
*Pembahasan Kata, dalam buku "Logika", oleh Drs. Mundiri