Senin, 16 Juli 2018

Pengumpul keping puzzle

pengumpul keping puzzle

Puzzle. Lebih lengkap maksud saya jigsaw puzzle. Adalah permainan merangkai kepingan-kepingan gambar untuk membentuk satu gambar besar yang utuh. Permainan ini melatih anak menumbuhkan sebagian kemampuan motorik, yakni kemampuan dalam mengkoordinasi alat-alat gerak, khususnya penglihatan dan tangan, dengan baik. Selain itu ia membantu anak mengembangkan proses kreatif. Untuk menyelesaikan permainan jigsaw puzzle anak dituntut mengimajinasikan sebuah gambar utuh atau setidaknya rangkaian beberapa gambar yang telah dan belum terpasang benar. Juga, jigsaw puzzle membantu pelatihan ingatan jangka pendek dan konsentrasi.

Satu hal yang bagi saya menarik dari puzzle ini adalah keunikan pada tiap-tiap kepingnya. Masing-masing keping puzzle punya tempat yang khas dalam papan permainan, tak bisa digantikan oleh keping lain yang manapun. Selain tempatnya harus pas, arah kepingan harus pula tepat. Dengan tempat yang benar sebuah keping puzzle ada kalanya harus diputar ke kanan, atau ke kiri, agar cocok dengan peruntukannya. Ada kalanya bahkan keping puzzle harus dibalik, pun diputar, agar arahnya tepat. ###

Mencermati segenap segmen perjalanan hidup bagi sebagian orang adalah seperti mengamati papan puzzle. Setiap bagian yang didapati dari kehidupan ibarat satu keping puzzle. Yang terserah si empunya menempatkannya di mana dalam arah bagaimana. Jangankan orang lain, bahkan Allah sendiri melarang diriNya mengganggu manusia dalam hal ini. Dari mana saya tahu? Dari keinginan Allah memberikan "berkehendak" kepada manusia.

Alhasil masing-masing orang lalu mengkhayalkan, secara detail ataupun tidak, gambar besar yang ingin diwujudkan dalam sepanjang hidup. Kebanyakan dari yang saya dapati, dari berinteraksi dengan orang-orang yang saya temui secara langsung atau tidak, gambar yang diinginkan oleh orang adalah "bahagia". Berbeda-beda bahagia. Dalam perinciannya, penjabarannya, bahagia ini kemudian dinyatakan dalam banyak variasi. Ada yang memaknai bahagia dengan keberlimpahan materi, ada yang berupa keyakinan kokoh, ada yang berupa kemanfaatan, ada yang berupa kenikmatan tak berujung, dst. ###

Mencermati dengan sungguh-sungguh segmen-segmen dalam hidup akan anda dapati bahwa sebagian darinya adalah seperti keping puzzle yang tak dapat diotak-atik. Ia punya tempat dan arah yang khas. Yang paling mudah didapati dari segmen hidup seperti ini adalah dari penalaran yang lurus. Saat seorang menalar dengan lurus dan apa adanya pasti akan ia dapati bahwa hasilnya adalah sebuah pengetahuan yang benar. Setiap pengetahuan yang benar tak mungkin dapat beralih menjadi pengetahuan yang tak benar. Bahkan ada kalanya sebuah pengetahuan benar kemudian mengantarkan kepada kerangka pengetahuan benar yang lebih luas. Ini seperti keping puzzle yang tak mungkin dibolak-balik atau diputar-putar lagi. Arahnya terpaku. Tempatnya dalam kerangka hidup khas pula. Seperti satu atau serangkai fakta yang tak mungkin dipungkiri atau ditiadakan.

Keping-keping yang terpaku ini menyenangkan bagi sebagian orang, namun bagi kebanyakan orang sepertinya mengganggu. Mengapa?

Dengan keping-keping terpaku sebagian orang tak dapat mewujudkan gambar utuh seperti dimau. Bukan hanya tak cocok dengan gambar besar materialisme. Mereka ini bahkan tak menyatu dengan ide bahagia abadi sebagian orang.

Penalaran yang lurus tak bisa begitu saja dipasangkan dengan keping-keping ini. Saya suka makanan enak. Bukan karena bermanfaat bagi kesehatan jasmani atau ruhani, tapi karena menyenangkan. Saya suka berpengetahuan luas. Bukan karena berharap manfaat ruhaniah darinya, tapi karena itu sepertinya menyenangkan. Saya suka hidup abadi di surga. Bukan karena itu yang diinginkan Tuhan, tapi karena itu terdengar menyenangkan.

Pendek kata penalaran lurus tak akan cocok dengan keping apapun yang berarah keakuan, berorientasi kesenangan semata.

Bagi para pencari kesejatian? Keping-keping berupa hasil penalaran, perenungan, yang lurus adalah sebagian dari hadiah terindah yang mungkin dikaruniakan kepada makhluk. Betapa tidak. Dengan menyelaraskan semua keping yang lain dengan itu, akan terbuka baginya rahasia semesta, rahasia sang Ada. Hanya dengan begitu ia akan dapat menikmati indahnya semesta sebagai satu keutuhan. Hanya itu jalan mengenal sang Indah, sang Utuh.

Penalaran yang lurus adalah gambaran, duplikat, dari  realitas. Realitas dengan sistem dan segenap wujudnya adalah satu bangunan dalam penciptaan yang saling melengkapi dalam menggambarkan Dia. Itulah mengapa penalaran yang lurus adalah bagian dari gambaranNya yang alamiah apa adanya. ###

Ada kalanya segmen-segmen dalam hidup harus dilihat, dimaknai dari arah berbeda, atau bahkan dari arah sebaliknya, agar mereka dapat menyatu dengan penalaran lurus. Gambar besar apa yang mungkin tampak?

Ternyata bukan gambar menyenangkan tentang bahagia (semata). Tapi bahagia bersyarat. Bahagia dengan ketaatan kepadaNya. "...maka siapa mengikuti petunjukKu, maka tak ada (satu) takut pada mereka, dan mereka tak akan bersedih."

Bisa pula keseluruhan hidup yang utuh menyatu dan terberkati tergambar sebagai ketaatan kepadaNya saja. Dengan gambar ketaatan yang utuh pasti akan menyampaikan kepada bahagia. Seperti janji yang diungkap ayat tersebut.

Masihkah tersisa tempat untuk berharap bidadari dan surga? ###

Menarik dibaca:
* AlQuran, Surah alBaqarah: 38
* AlQuran, Surah alBaqarah: 266, tentang angan bahagia yang tak terwujud
* AlQuran, Surah anNisa: 89, tentang berkehendak
* AlQuran, Surah arRum: 30, tentang agama lurus sebagai selaras dengan kemanusiaan
* Tauhid: Menuju Cinta, oleh penulis. Dapat diakses melalui browser di link berikut ini.
https://drive.google.com/file/d/13gziIvwdQj1UpQ-tdjsZEa3JndUrbbYj/view?usp=drivesdk
* Cordial Disciplines, dalam buku "Adab as-Salat: the Disciplines of the Prayer", oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini
* http://www.schoolpouringrights.com/unik/puzzle-permainan-sederhana-namun-memiliki-banyak-manfaat/

Selasa, 10 Juli 2018

Awal agama

Awal agama 

Awal agama adalah mengenalNya, sempurnanya pengenalan akan Dia adalah bersaksi akan Dia, sempurnanya persaksian akan Dia adalah percaya akan ketunggalanNya, sempurnanya kepercayaan akan ketunggalanNya adalah mengakui kesucianNya, dan sempurnanya kesucian Dia adalah penyangkalan sifat-sifatNya...(Ali bin Abu Talib, dalam Nahjul Balaghah)

Ada yang bilang bahwa agama adalah sistem terdiri dari ajaran, tata nilai, ritual, dst yang menghubungkan manusia dengan hal adikodrati, luhur, ilahiah. Dalam kata-kata Ali bin Abu Talib sendiri agama dinyatakan sebagai pernyataan Allah tentang apa yang baik, apa yang buruk, apa yang diperintahkanNya, apa pula yang dilarangNya. Dalam dua definisi yang beririsan ini agama kemudian bersifat subjektif. Bagi sebagian orang satu hal bisa dipandang sebagai bagian dari agama, sementara bagi sebagian yang lain bukan. Contohnya ihwal memakai baju, bagi sebagian orang itu bukan bagian dari agama karena mereka tak melihat di sana adanya kaitan antara manusia dengan hal transenden, ilahiah, Tuhan, dst. Sementara bagi yang lain ihwal yang sama adalah bagian dari agama.

Mungkin pertanyaan yang lebih umum begini. Apakah agama mencakup semua hal, atau tidak? Jika tidak, hal apa yang tidak dicakup oleh agama? Masing-masing kita mungkin punya jawaban untuk soalan-soalan ini, lengkap dengan argumen-argumennya. Namun demikian saya mengajak anda mencermati salah satu versi jawaban berikut.

Bagi mereka yang menilai bahwa segenap wujud, termasuk segenap hal di lingkup kemanusiaan, tak bisa dilepaskan dari tuhan, hal ilahiah, hal transenden, hal mulia, dst, jelaslah bahwa semua hal tercakup oleh agama. Perbuatannya, pengetahuannya, niatnya, dirinya, hidupnya, bahkan matinya, adalah bagian dari agama.

Bagaimana versi lainnya? Kedua, ada mereka yang memandang semesta sebagai perpaduan antara hal-hal yang terkait dengan tuhan, hal mulia, dst, juga hal-hal lain yang terlepas dari kaitan itu. Bagi mereka ada wilayah agama, ada wilayah non-agama.

Adakah versi ketiga, yakni ateisme, tak beragama? Nampaknya ndak ada. Sebagian orang menafikan tuhan personal, sosok serba maha, yang disembah oleh kaum beragama formal. Namun demikian mereka tak mungkin menafikan adanya kesempurnaan, keutamaan, kemuliaan, dst. Yang itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa mereka mengaitkan hal-hal dengan  kesempurnaan, kemuliaan, dst. Bahwa mereka beragama juga. Hanya tak dalam bentuk formal.

Sedikit tambahan, ateisme sebenarnya bahkan bukan menafikan adanya sosok sembahan, tuhan. Bagi kaum ateis hasrat merekalah sosok tuhan yang disembah itu.

Alhasil, baik versi pertama maupun kedua, agama diakui keberadaannya. Termasuk pula, dengan demikian, hal transenden, hal mulia, hal ilahiah, diakui wujud. Dalam kata-kata Ali bin Abu Talib hal transenden, hal mulia, hal ilahiah itu dinyatakan sebagai bagian dari pengenalan akan Allah. Tidak sempurna. Pengenalan manusia akan hakikat ketuhanan ada kalanya jauh dari lengkap, namun bagaimanapun itulah yang kemudian menjadi titik tolak keberagamaannya. Menjadi landasan laku keluhuran. ###

Pengenalan sekilas akan keluhuran dapat mengantarkan seorang kepada perbuatan yang tampaknya luhur. Pengenalan yang lebih mendalam tentang keluhuran lebih mendekatkan seorang kepada sang Luhur, akan menyampaikannya kepada perbuatan yang luhur, sesuai kadar pengenalannya tsb. Pengenalan yang sempurna akan keluhuran kemudian menyampaikan seorang kepada perbuatan sang Luhur dengan dia sebagai perantaranya. Demikianlah, dangkal-dalamnya pengenalan seorang akan Allah menjadi pondasi bagi lakunya, agamanya. ###

Pengenalan akan Allah seperti apa dikatakan cukup? Dalam ungkap Ali bin Abu Talib pengenalan akan Dia dikatakan cukup, atau sempurna, saat pengenalan itu mengantarkan kepada kesaksian bahwa Allah adalah sang Tuan, yang menaungi segenap wujud, sekaligus Dialah sang Tuhan, satu-satunya yang dicinta dan dipuja. ###

Menarik dibaca:
* Khutbah 1, dalam buku "Nahjul Balaghah", oleh Ali bin Abu Talib
* Khutbah 85, ibid, tentang penjelasan term "agama"
* AlQuran Surah AlJatsiyah: 23, tentang menyembah hasrat
* AlQuran Surah AlBaqarah: 165, tentang sangat mencinta Allah
* https://en.m.wikipedia.org/wiki/Religion