Minggu, 31 Mei 2020

12. Tentang Aksioma Epistemologi

*Bagaimana Filsafat Bergantung pada Epistemologi* 

Konsep pengetahuan dalam arti luas mencakup setiap jenis kesadaran dan persepsi. Ia dapat disajikan oleh epistemologi melalui topik-topik kajiannya. Namun demikian, ada beberapa dari konsep pengetahuan yang tidak secara formal berada dalam lingkup epistemologi. Yakni seperti wahyu, ilham, serta berbagai penyingkapan dan intuisi mistis. Adapun, soalan yang biasa disertakan dalam diskusi cabang filsafat ini adalah korelasi antara indera dan akal. 

Kami tak mungkin membahas semua topik ini di sini. Ini karena tujuan utama kami adalah menjelaskan nilai persepsi akli [penerimaan realitas oleh akal] dan membuktikan benarnya filsafat juga kesahihan metode-metode rasionalnya. Untuk itu, kami hanya akan menghadirkan beberapa topik yang berguna dalam metafisika dan teologi. Sesekali itu juga berguna bagi ranah lain filsafat seperti psikologi filosofis dan akhlak filosofis. 

Pada titik ini boleh kita ajukan tanya: Apa premis-premis dasar yang mendukung epistemologi? Di mana dapat ditemukan? Jawabnya adalah bahwa epistemologi tak perlu meminjam aksioma-aksioma untuk semua bahasannya. Ini karena berbagai topik yang ada dapat diklarifikasi secara mandiri pada pengetahuan-pengetahuan mudah (badihiyyat awwaliyyah) yang swabukti [membuktikan dirinya sendiri]. 

Dikatakan bahwa ontologi dan ilmu rasional lain tak perlu kepada ilmu lain. Nyatanya semua solusi untuk mereka ini bergantung pada mampu tidaknya akal menjawab soalan-soalannya. Bukankah berarti ranah filsafat tersebut perlu epistemologi untuk menyajikan aksioma-aksioma dasarnya?

Di bagian lain kami telah mengisyaratkan jawab untuk soal ini. Adapun gamblangnya, begini. Pertama, sekian premis yang secara langsung dibutuhkan oleh ilmu-ilmu rasional adalah penilaian-penilaian [tasdiq] yang swabukti dan tanpa perlu pembuktian. 

Adapun jabaran tentang penilaian-penilaian tersebut dalam logika atau epistemologi sebenarnya bersifat eksposisi atau keterangan, bukan argumentatif. Yakni, itu semua adalah alat untuk mengarahkan perhatian benak kepada hakikat yg dipahami akal tanpa perlu dalil apapun. Alasan di balik pembahasan penilaian macam ini dalam ilmu-ilmu tersebut adalah salah paham tentangnya yang pada gilirannya menjadikan keraguan. Seperti dalam kasus penilaian paling swabukti, "mustahilnya kontradiksi". Pada sebagian orang ini mengarah pada anggapan bahwa kontradiksi tidaklah mustahil. Bahkan kontradiksi kadang dianggap sebagai pondasi realitas. 

Sekian ragu yang mengemuka tentang nilai pengetahuan rasionalpun polanya sama. Diskusi kita ini ada untuk menghapus keraguan dan kesalah-pahaman seperti tersebut. Sebenarnya, menyelipkan penilaian-penilaian ini di antara topik logika dan epistemologi adalah perhatian, sikap mengalah, atau sikap sopan terhadap mereka yg mengarah kepada ragu. 

Jika seorang, tanpa sadar, tak mengakui adanya pengetahuan rasional, bagaimana orang lain berdiskusi dengannya bersandar pada bukti rasional? Bahkan, argumen-argumen yg diajukan untuk mendukung ragu demikian adalah berupa argumen rasional (perhatikan). 

Kedua, butuhnya berbagai ranah filsafat kepada prinsip-prinsip logika dan epistemologi adalah penerapan pengetahuan pada pengetahuan. Yakni, seorang yg benaknya belum teracuni oleh ragu dapat menalar hingga kesimpulan tertentu terkait kebanyakan topik. Dan penalarannya akan sesuai dengan prinsip-prinsip logika tanpa perlu ia mempelajarinya dan tanpa ia tau. Misal, bahwa penalarannya sesuai dengan bentuk pertama silogisme serta syarat-syaratnya, atau tanpa menyadari bahwa ada benak yg menyadari premis-premis ini dan menerima sahihnya kesimpulan yg mengikuti. 

Di sisi lain, mungkin sebagian orang, dalam menolak rasionalisme atau metafisika menggunakan penalaran dan tanpa sadar dg premis-premis metafisika. Atau, dalam menolak aturan-aturan logika mereka malah menyandarkan penalaran pada sekian aturan logika. Bahkan, dalam menolak mustahilnya kontradiksi, mereka malah menggunakannya tanpa sadar, dan saat dikatakan, "Penalaran anda ini sahih sekaligus tak sahih" mereka akan tersinggung dan menganggapnya pelecehan. 

Dengan demikian, bergantungnya penalaran filosofis pada prinsip-prinsip logika dan prinsip-prinsip epistemologi bukanlah seperti meletakkan prinsip-prinsip pada bahasan keilmuan. Tapi ia adalah kebutuhan sekunder, yakni terkait menggantungkan prinsip-prinsip keilmuan ini pada dirinya masing-masing. Yaitu, ia adalah kebutuhan untuk pembenaran ulang keilmuan. Yakni untuk beroleh konfirmasi lebih lanjut bagi penilaian-penilaian ini. 

Seperti swabukti pada proposisi-proposisi, yang bergantung pada mustahilnya kontradiksi. Jelas bahwa bergantungnya proposisi-proposisi swabukti pada prinsip ini tak sama dengan bergantungnya proposisi-proposisi spekulatif pada proposisi-proposisi swabukti. Jika tidak, maka beda antara proposisi swabukti dan spekulatif tak akan ada. Dan setidaknya, satu proposisi, yakni prinsip mustahilnya kontradiksi, harus diterima sebagai swabukti. 

*Mungkinnya Pengetahuan*

Setiap orang yang berakal sehat percaya bahwa ia benar tau sekian hal, pun bahwa ia mungkin untuk tahu sekian hal. Ia bahkan berupaya untuk beroleh informasi tentang ihwal yang ia perlu atau suka. Tanda terbaik untuk upaya macam ini adalah yang telah dilakukan oleh para ilmuwan dan filosof, dengan membawakan berbagai ranah ilmu dan filsafat. 

Bahkan, mungkin dan aktualnya ilmu bukanlah suatu yang disangkal atau diragukan oleh orang berakal yang benaknya belum tercemari ragu. Apa yg terbuka untuk diskusi atau telaah dan apa yg masuk akal untuk diperdebatkan adalah penentuan batas-batas pengetahuan manusia, syarat alat-alat untuk beroleh pengetahuan tertentu, cara memilah pemikiran benar dari yg salah, dan semisalnya. 

Seperti disinggung sebelumnya, gelombang-gelombang skeptisisme telah muncul berulang-ulang di Eropa, bahkan para pemikir hebatpun tertelan olehnya. Sejarah filsafat mencatat sekian aliran pemikiran yg sepenuhnya menyangkal pengetahuan, semisal sofisme, skeptisisme, agnostisisme. Penjelasan terbaik tentang penyangkalan total pengetahuan (jika anggapan ini benar) adalah bahwa korban-korbannya terjangkit kecerobohan akut, satu keadaan yg dialami sebagian orang terkait beberapa hal lain juga. Selayaknya dianggap sebagai semacam penyakit jiwa. 

Adanya orang-orang demikian, niat di balik pandangan-pandangannya, ataupun fakta atas tuduhan kepada yang diklaim memilikinya, biarlah kita serahkan rinciannya kepada putusan riset sejarah. Adapun kami, menganggapnya sebagai deskripsi keraguan atau tanya yang perlu jawaban filosofis. 

*Menilik Klaim Kaum Skeptis*

Kutipan-kutipan dari kaum sofis dan skeptis dapat dibagi menjadi dua: satunya adalah ungkap mereka tentang ada dan yang ada (wujud), lainnya adalah tentang ilmu dan pengetahuan. Ungkap-ungkap tersebut punya dua aspek: satu aspek terkait ontologi, yang lain terkait epistemologi. 

Contoh, kutipan yg di sandarkan kepada sofis paling ekstrim, Gorgias: "Tiada wujud, jikapun ada sesuatu, ia mustahil ditau, dan meski ada pengetahuan tentang wujud, pengetahuan ini mustahil disampaikan kepada yg lain." Frasa pertama adalah tentang wujud, mesti dibahas di bagian ontologi. Namun yang kedua, relevan dengan diskusi sekarang, epistemologi, maka wajarnya frasa kedua inilah yang kita bahas lebih lanjut. 

Hal pertama yang perlu diungkapkan: Yang meragukan semua hal tak akan mampu meragukan adanya diri mereka sendiri, adanya ragu mereka, tidak pula organ-organ persepsi, seperti penglihatan dan pendengaran, pun adanya bentuk mental dan berbagai keadaan psikologisnya. 

Jika seorang bahkan menyatakan keraguan tentang ihwal ini, ia pasti sakit, dan perlu penyembuh, atau ia bohong dan punya niat jahat, karenanya perlu dikoreksi dan ditegur. Demikian pula, siapa yang bicara dan berdiskusi atau menulis buku mustahil menolak adanya lawan diskusi, atau adanya kertas atau pena yang dipakai. 

Pada titik ekstrim bisa dikatakan seorang menyadari semua hal dalam kediriannya namun ia ragu akan adanya mereka di dunia luar. Sebagaimana muncul dari pernyataan-pernyataan Berkeley dan beberapa idealis lain. Mereka menerima semua objek persepsi sebagai semata berbagai bentuk dalam benak, dan menyangkal adanya secara eksternal. Namun begitu, mereka menerima adanya orang-orang lain yang punya benak dan persepsi. Pandangan ini tak sepenuhnya menyangkal pengetahuan dan keberadaan, namun menyangkal keberadaan material, segenap keraguan mereka adalah tentang wujud terkait beberapa objek pengetahuan. 

Jika seorang mengklaim bahwa pengetahuan-yakin adalah mustahil, tanya yang harus diberikan kepadanya apakah ia tau itu, ataukah ia juga punya keraguan tentangnya. Jika ia bilang ia tau, maka setidaknya satu hal diketahui telah dibenarkan, dan klaimnya sendiri gugur. Jika ia bilang ia tak tau itu, artinya ia mungkin berkesempatan mendapat pengetahuan-yakin. Dengan kata lain, ungkapannya sendiri terbukti salah. Namun, jika seorang bilang bahwa ia ragu tentang klaim kemungkinan pengetahuan dan pengetahuan-yakin, mesti ditanya apakah ia tau bahwa ia ragu atau tidak. Jika menjawab ia tau bahwa ia ragu, maka bukan hanya mungkin bahkan pengetahuan secara aktual telah diakui. Jikapun, ia bilang meragukan ragu yg ada padanya, ungkap ini entah disebabkan penyakit jiwa atau niatan buruk, perlu tanggapan nonteoritis. 

Para pembela kenisbian semua pengetahuan mengklaim bahwa tak ada proposisi yang sahih secara mutlak, berlaku umum, selalu. Sesiapa boleh menanyai orang-orang itu apakah klaimnya tersebut sahih secara mutlak, berlaku umum, selalu, atau apakah ia nisbi, partikular, dan temporal. Jika itu berlaku selalu, dalam semua kasus, tanpa syarat dan tanpa kecuali, maka itulah sahih. Maka setidaknya ada satu proposisi yang mutlak, berlaku umum, selalu yang telah terbukti. Jika pengetahuan ini sendiri juga relatif berarti ia tak berlaku pada beberapa kasus. Dan, pada kasus-kasus yg ia tak berlaku itu ada proposisi yang mutlak, berlaku umum, selalu. 

*Menolak Ragu Skeptis*

Satu ragu yang jadi sandaran kaum sofis dan skeptis, mereka ungkap dalam berbagai bentuk, dan dengan bermacam contoh adalah: Kadang orang beroleh kepastian tentang adanya sesuatu melalui indera, namun kemudian sadar bahwa ia salah. Demikianlah seorang tau bahwa persepsi inderawi ternyata tak dapat dipercaya. Polanya lalu seperti mengemuka, persepsi-persepsi inderawi yang lain mungkin juga salah, akan datang hari saat sekian luput itu nampak juga. Demikian pula kadang seorang mendapati satu prinsip sebagai benar secara rasional, namun kemudian ia dapati bahwa penalarannya tidak tepat, keyakinannya pun berubah ke ragu. Begitulah, penalaran juga nyatanya tak dapat dipercaya. Dengan cara yang sama kemungkinan salah berimbas ke persepsi akal yang lain. Kesimpulannya tak inderawi tak pula penalaran dapat dipercaya. Tak ada yg tersisa bagi manusia kecuali ragu. 

Tanggapannya begini: 

1. Sasaran argumentasi ini adalah sampai kepada sahihnya skeptisisme, dan sampainya pengetahuan akan benarnya ia melalui penalaran, dan paling tidak menarik lawan diskusi agar menerima ide anda. Yakni, anda berharap bahwa ia akan mencapai pengetahuan tentang sahihnya klaim-klaim anda, sementara anda berkeras bahwa mencapai pengetahuan adalah mustahil mutlak. 

2. Ditemukannya kesalahan persepsi inderawi dan akli menuntun kepada pengetahuan bahwa persepsi-persepsi tersebut tak sesuai dengan realitas. Ini secara logis menunjukkan bahwa kita menerima adanya pengetahuan tentang kelirunya persepsi. 

3. Kemestian lainnya adalah kita tau bahwa ada realitas yang tak sesuai dengan persepsi keliru kita, jika tidak maka tak akan ada konsep kelirunya persepsi. 

4. Kemestian lainnya adalah bahwa kita pasti tau bahwa persepsi yang keliru dan bentuk aklinya berlawanan dengan realitas. 

5. Akhirnya, adanya orang yang keliru, begitupun indera dan akalnya pastilah diterima. 

6. Penalaran ini sendiri adalah argumentasi akli (meski cacat) dan bersandar padanya adalah  anggapan bahwa akal dan persepsinya sebagai dapat dipercaya. 

7. Sebagai tambahan, pengetahuan lain diasumsikan ada, yaitu persepsi-persepsi yang keliru itu, dalam keadaan keliru, tak mungkin benar. Jadi, argumentasi kaum skeptis itu sendiri meniscayakan diterimanya beberapa contoh pengetahuan, bagaimana seorang demikian lalu menafikan mungkinnya pengetahuan sepenuhnya, atau bahkan meragukannya?!

Semua jawab ini menyangkal argumentasi kaum skeptis. Dengan meneliti dan menunjukkan cacatnya, kita membuktikan sahih dan tidaknya persepsi inderawi dengan bantuan penalaran. Bagaimanapun, seperti telah dinyatakan, tidak benar bahwa ditemukannya salah pada persepsi akli juga berimbas ke semua persepsi akli yang lain, karena kemungkinan salah hanya dapat terjadi pada persepsi-persepsi spekulatif, yang tak swabukti. Adapun proposisi-proposisi akli swabukti yang menjadi sandaran pembuktian filosofis tidak pernah luput sama sekali, penjelasannya akan disajikan pada bab ke 19. (Philosophical Instructions, oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdi)

Sabtu, 30 Mei 2020

11. Menuju Epistemologi

Nilai Epistemologi

Ada serangkaian soalan mendasar menghadang manusia, sebagai zat sadar yang segenap aktifitasnya muncul dari kesadaran. Jika ia abai dan gagal dalam upayanya menemukan jawab-jawab yang tepat untuk rangkaian soalan ini, ia akan mendapati dirinya melewati batas kemanusiaan menuju batas kehewanan. 

Berdiam dalam keraguan atau bertindak sembrono menghalangi manusia dari tabiatnya yang haus akan kebenaran. Selain itu menyisakan risau ihwal tanggung jawab-tanggung jawab yang menjadi kemestiannya. Seringnya ia akan terlemahkan, atau dalam beberapa kasus, menjadikannya makhluk yang berbahaya. 

Solusi-solusi yang salah dan menyimpang, semisal materialisme dan nihilisme, tak mampu memberikan kenyamanan psikologis dan kemakmuran sosial. Kita perlu mencari sebab mendasar dari kerusakan individu dan sosial berupa pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran yang melenceng. Karenanya, tak ada jalan lain kecuali mencari jawab untuk soalan-soalan ini dengan tekad yang mantap dan sungguh-sungguh. Mestinya kita berupaya total menancapkan pondasi kemanusiaan kita sendiri. Dengan ini membantu pula yang lain. Menghalangi pengaruh merusak pemikiran-pemikiran salah dalam masyarakat dan ajaran-ajaran menyimpang yang kini ada. 

Jelas sekarang bahwa upaya intelektual dan filosofis niscaya perlu. Tak ada ruang lagi untuk ragu atau ketak-pastian dan sembrono. Yang tersisa adalah mengambil langkah dalam perjalanan wajib yang tak terelakkan. Dengannya kita menjawab tanya berikut: Mampukah akal manusia menjawab soalan-soalan ini? 

Pertanyaan ini mengarahkan pada pembentukan inti soalan-soalan epistemologi. Hingga kita menjawab soalan-soalan cabang filsafat yang ini, kita tak akan sampai pada solusi-solusi soalan-soalan ontologi, tak pula cabang-cabang filsafat yang lain. Hingga nilai dari pengetahuan akal ditentukan, maka klaim-klaim yang dihadirkan sebagai solusi-solusi aktual untuk soalan-soalan demikian tidaklah bernilai dan tak dapat diterima. Akan selalu tersisa pertanyaan-pertanyaan bagaimana akal dapat menyajikan solusi yang tepat untuk soalan-soalan ini. 

Di sinilah banyak tokoh-tokoh filasafat barat, seperti Hume, Kant, Auguste Compte, dan semua positifis telah kebingungan. Dengan pandangan-pandangan keliru mereka telah meletakkan pondasi peradaban secara salah bagi masyarakat barat. Bahkan para pakar ilmu lain, misal psikolog behavioris, telah sesat karena mereka. Sayang, gelombang bertubi ajaran-ajaran yang menghempas dan menghancurkan itu telah menyebar ke belahan-belahan lain bumi. Menyisakan hanya filsafat ilahiah, puncak-puncak tinggi dan tebing-tebing tak tertembus yang berdiri di atas pondasi-pondasi stabil yang kokoh. Semua selainnya bisa dikata berada dalam pengaruh mereka. 

Karenanya, kita mesti berupaya mengambil langkah pertama dengan meletakkan pondasi rumah pemikiran-pemikiran filosofis kita secara kokoh dan mapan untuk lalu layak menapaki tahap-tahap selanjutnya dan sampai ke tujuan, insya Allah. 

Kilas Sejarah Epistemologi

Meski epistemologi sebagai cabang filsafat tak punya sejarah panjang sebagai ilmu yang terpisah, dapat dikatakan bahwa soalan tentang nilai pengetahuan, yang membentuk porosnya, telah muncul kira-kira sejak filsafat paling purba. Bisa jadi perhatian para pemikir terpapar dengan soalan ini saat mendapati cacat dan cela dalam penyingkapan berbagai peristiwa eksternal oleh indera. Hal inilah yang memicu kaum Eleatik untuk tak percaya dengan persepsi inderawi dan lebih bergantung pada pengetahuan rasional. 

Di sisi lain, beda pendapat para pemikir ihwal soalan-soalan rasional, dan berbagai pembuktian berlawanan yang diajukan masing-masing kelompok, untuk menguatkan  bermacam ide dan pandangan masing-masing, lalu memberi kaum sofis kesempatan menyangkal nilai pengetahuan rasional itu sendiri. Melangkah jauh di jalan ini, yakni meragu, mereka bahkan hingga menyangkal realitas eksternal. 

Setelah itu, soalan pengetahuan tak muncul secara serius hingga Aristoteles. Ia menyusun prinsip-prinsip logika sebagai standar berpikir tepat, dan penguji berbagai dalil. Setelah duapuluh sekian abad prinsip-prinsip ini masih tetap berguna. Bahkan Marxis, setelah berseteru sekian tahun melawannya, akhirnya membenarkan butuhnya manusia akan bagian dari logika. 

Setelah abad-abad yang menyuburkan filsafat Yunani, gejolak muncul dalam menilai pengetahuan inderawi dan rasional. Dua kali eropa berhadapan dengan krisis skeptisisme. Setelah Renaisans dan berkembangnya ilmu empiris, empirisme perlahan berkuasa. Sekarang empirisme masih mendominasi aliran pemikiran, meski para rasionalis bermunculan dari waktu ke waktu. 

Secara terbatas penyidikan sistematik pertama dalam epistemologi dilakukan oleh Leibniz di daratan eropa, dan oleh John Locke di Inggris. Demikianlah satu cabang filsafat yang mandiri terbentuk. Penyidikan Locke pun dilanjutkan oleh para penerusnya, Berkeley dan Hume. Filsafat empirisme naik daun dan perlahan posisi para rasionalis melemah sedemikian hingga Kant, seorang rasionalispun, faktanya sangat terpengaruh oleh ide-ide Hume.

Kant mendeklarasikan bahwa perombakan pengetahuan dan penalaran merupakan tugas terpenting filsafat. Namun, ia hanya menerima berbagai kesimpulan penalaran teoritis dalam batasan ilmu-ilmu empiris, matematika, dan sekian wilayah subordinatnya. Serangan pertama dari kaum rasionalis adalah kepada metafisika. Setelah sebelumnya Hume, tokoh dominan di antara kaum empiris, telah memulai serangan tsb dengan cukup telak, yang lalu diikuti oleh kaum positifis secara lebih serius. Selanjutnya pengaruh langsung epistemologi di ranah-ranah lain filsafat dan penalaran kian meredup, yang menandai antiklimaks filsafat barat. 

Pengetahuan dalam Filsafat Islam

Naik turun dan krisis telah menimpa filsafat barat, khususnya ranah epistemologi. Setelah rentang hidupnya yang duapuluh lima abad, filsafat barat bukan saja tak beroleh pijakan dan pondasi yang kuat. Bahkan dapat dikata dukungan baginya semakin labil. 

Filsafat islam sebaliknya, secara lestari beroleh tenaga dan kestabilan, tak pernah goncang, mengalami naik turun, apatah krisis. Kecuali beberapa kecenderungan negatif yang kadang menghadang para filosof islam, mereka telah menjaga doktrin bahwa akal adalah hal mendasar dalam mencari solusi soalan-soalan metafisik. Tanpa meremehkan pentingnya pengalaman inderawi, tak pula menyangkal perlunya metode penelitian dalam ilmu-ilmu alam, mereka bertahan menerapkan metode rasional pada soalan-soalan filosofis. 

Benturan dengan pandangan-pandangan yang berlawanan dan bergulat dengan berbagai kritik, jauh dari menjadikan para filosof islam lemah, justru menguatkan dan meningkatkan keterampilan mereka. Karena alasan inilah, pohon filsafat islam terus tumbuh dan makin berbuah dari hari ke hari, bahkan tahan dan imun terhadap serangan-serangan para seterunya. Ia kini mampu sepenuhnya mempertahankan posisinya yang layak dan melibas para pesaingnya. 

Beberapa kecenderungan yang kurang lebih berbenturan dengan filsafat punya dua sumber utama. Di satu sisi ada kaum yang menilai beberapa pandangan filsafat sebagai bertentangan dengan tafsir-tafsir literal dari Kitab dan hadis, khawatir bahwa tersebarnya filsafat akan melemahkan keimanan orang-orang. Di sisi lain ada urafa (kaum gnostik) yang menenkankan pentingnya perjalanan ruhani, takut bahwa kecenderungan-kecenderungan filosofis akan mengarah kepada pengabaian laku gnosis dan minimnya kemajuan dalam perjalanan batiniah. Merekapun mengabaikannya, mengklaim bahwa para rasionalis hanya memakai kaki kayu. (Lihat Matsnawi, oleh Maulana Jalaluddin Rumi) 

Orang mestinya sadar bahwa agama yang benar seperti Islam sejati tak akan pernah terancam oleh ide-ide para filosof. Terlepas dari berbagai kekurangan dan penyimpangan ide-ide tsb, dengan pertumbuhan dan kematangan filosofis setelah melalui fasa mentah dan naifnya, doktrin-doktrin Islam akan tampil ke depan dan kebenarannya akan makin jelas. Filsafat malah jadi pelayan (Islam) yang penting dan tak terganti di satu sisi dengan menjelaskan ajaran-ajarannya yang luhur, di sisi lain dengan membelanya dari berbagai aliran pemikiran yang sesat dan berbahaya, sebagaimana telah dan akan terus ia lakukan dengan semakin baik, insya Allah. 

Perjalan ruhani dan gnostik tak sedikitpun bertentangan dengan filsafat ilahiah; bahkan ia membantu dan terbantu olehnya. Mesti dicatat bahwa serangkaian ketegangan ini benar berguna dalam menghindarkan fanatisme dan ekstrimisme, pun dalam menentukan sekian batas masing-masing. 

Karena kokoh, tak tergoyahkannya posisi akal dalam filsafat islam, tak mengemuka perlunya studi rinci tentang soalan-soalan pengetahuan secara metodis dan sitematis sebagai cabang filsafat yang mandiri. Tak lebih dari beberapa topik acak tentang pengetahuan, yang ada pada beberapa bab logika dan filsafat, dianggap memadai, misal dalam satu bahasan tentang ajaran sofis saat kekeliruannya dibahas, juga dalam bahasan tentang pembagian ilmu dan prinsip-prinsipnya. Bahkan soalan wujud akli, satu dari sekian topik relevan bagi soalan-soalan pengetahuan, tak berkembang sebagai topik mandiri hingga Ibn Sina. Bahkan setelahnya, semua sudut dan sisi dari masalah tsb belum secara serius diteliti dan dikaji. 

Menimbang kondisi yang ada kini, saat pemikiran barat telah nyaris masuk ke kultur masyarakat kita, muncul berbagai tanya tentang sekian aksioma filsafat ilahiah, soalan-soalan filosofis tak lagi dapat dibatasi pada kerangka yang lama, pembahasan tak lagi dapat dibawakan dengan cara-cara tradisional. Bukan hanya karena cara-cara tsb mencegah tumbuh kembang filsafat melalui pertukaran antar aliran pemikiran, pun menjadikan kaum terpelajar kita, yang mau tak mau telah dan akan makin akrab dengan pemikiran barat, pesimis tentang filsafat islam, menghadirkan bayang bahwa filsafat islam telah kehilangan aji dan tak mampu bersaing dengan berbagai aliran filsafat lain. Bahkan hari demi hari kecenderungan mereka kepada budaya barat makin bertambah, dengan dampak-dampaknya yang merusak. Situasi seperti ini nampak di banyak universitas kita selama rezim sebelumnya [yakni rezim Pahlevi di Iran]

Melunasi hutang kita kepada revolusi islam dan darah suci yang tumpah untuk itu, pun memenuhi tanggung jawab ilahiah kita, kita mesti menambah upaya untuk menjelaskan pondasi-pondasi filsafat dan menyebarkannya sedemikian hingga ia dapat menjawab sekian keraguan yang dimunculkan oleh berbagai aliran pemikiran yang amoral dan ateistik, pun kita mesti peduli akan kebutuhan akan keyakinan dan memungkinkannya terjangkau oleh kaum muda yang mencari dan meneliti kebenaran, sehingga pengajaran filsafat islam dapat menyebar, pada gilirannya budaya islam mampu bertahan dari rong-rongan berbagai ide asing. 

Definisi Epistemologi

Sebelum mendefinisi epistemologi [ilmu tentang pengetahuan] perlu kiranya mengurai kata pengetahuan. Kata yang semakna dengan ma'rifah dalam bahasa Arab ini memiliki beberapa penggunaan. Makna umumnya meliputi segenap mafhum, kesadaran, informasi. Kadang digunakan untuk persepsi khusus, kadang untuk pengenalan. Kadang ia digunakan untuk pengetahuan yang bersesuaian dengan realitas secara meyakinkan. Ada beberapa perdebatan dalam filologi dan etimologi tentang sinonim bahasa asingnya, yang bukan tempatnya diungkap di sini. 

Pengetahuan sebagai objek ilmu epistemologi dapat dipahami mengandung makna-makna tsb atau selainnya. Faktanya ia hanya bersandar pada kesepakatan. Namun karena sasaran telaah soalan-soalan epistemologis tidak khusus untuk pengetahuan spesifik manapun, baik digunakan saja makna lazimnya yakni setara dengan pengetahuan dalam pahaman umum. 

Konsep pengetahuan adalah satu dari sekian konsep yang paling jelas dan swabukti [membuktikan dirinya sendiri], bukan hanya tak perlu definisi, pun mustahil didefinisi, karena tak ada term lain yang lebih mafhum untuk mendefinisinya. 

Berbagai frasa dan pernyataan yang digunakan dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan dan ilmu bukanlah definisi-definisi asli. Tujuan penyebutannya adalah untuk membatasi cakupan-cakupannya dalam ilmu atau ranah studi tertentu. Misal, logikawan mendefinisi pengetahuan sebagai "beroleh bentuk sesuatu dalam benak", yang  maksud definisi ini adalah menentukan cakupan yang dimau yakni "pengetahuan tak langsung". Atau, merujuk kepada pandangan beberapa filosof ihwal soalan-soalan tertentu ontologi  yang mendefinisi pengetahuan sebagai "hadirnya wujud nonmateri pada wujud nonmateri lain", atau "hadirnya sesuatu pada wujud nonmateri". Sasaran definisi-definisi ini adalah menyatakan pandangan mereka tentang ke-nonmateri-an pengetahuan dan subjeknya. 

Jikapun kita menjabarkan pengetahuan, lebih baik dikatakan bahwa ia adalah hadirnya sesuatu itu sendiri atau bentuk tertentunya atau konsep umumnya dalam satu wujud nonmateri. Kita bilang juga bahwa tak perlu bahwa pengetahuan dan subjek yang tau harus selalu lain. Tak mustahil, sebagaimana kesadaran seorang akan dirinya, bahwa tak ada beda antara subjek dan objek pengetahuan. Nyatanya dalam kasus-kasus demikian kesatuan adalah contoh paling tepat untuk kehadiran. Per definisi kita telah menghadirkan kata pengetahuan. Dengan demikian epistemologi adalah "ilmu yang membahas pengetahuan manusia, memilah jenis-jenis, dan kriteria-kriteria kesahihannya". (Philosophical Instructions, oleh Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi)