Selasa, 31 Oktober 2017

Beroleh manfaat alQuran

Beroleh  Manfaat  Al-Quran
Oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini

Karena  anda  telah mengenal  topik-topik dan sasaran-sasaran  sang kitab ilahiah,  seharusnya  anda bersiap  akan satu  hal  penting, dengan  melakukannya  pintu  beroleh  manfaat  al-Quran  akan terbuka  bagi anda,  jalur  menuju pengetahuan  dan hikmah akan  terbuka  lebar untuk  anda.  Yakni, memandang kitab cemerlang  ini  sebagai  kitab pendidikan, buku pelajaran yang selayaknya  anda  beroleh  manfaatnya, memandang  bahwa  tugas  andalah belajar  darinya. Belajar, mengajar,  beroleh manfaat,  dan memberi manfaat  dengan al-Quran  yang  kami  maksud bukanlah  dalam  hal  ragam  penulisan, pembentukan kalimat, dan morfologinya,  bukan pula  kefasihan dan retorikanya  atau  poin-poin keindahannya,  bukan pula  tentang cerita-cerita,  kisah-kisah, dan  episode-episodenya  dari  sudut  pandang  sejarah  untuk beroleh berita  tentang bangsa-bangsa  di  masa  lalu.  Tak  satupun  darinya  adalah  sasaran  al-Quran, bahkan  semua  itup  berada  jauh dari  sasaran  kitab  ilahiah ini.

Kenyataan bahwa  manfaat  yang kami  dapatkan dari  kitab  besar ini  sangat  sedikit  adalah  karena kami  biasanya  tidak  memandangnya  sebagai  buku pelajaran  dan pendidikan. Kami  membaca  al-Quran untuk  beroleh pahalanya.  Makanya  kami  hanya  memperhatikan  intonasi  saat  membacanya. Kami  ingin bacaan kami  sempurna  dan benar sehingga  beroleh  pahala,  lalu  kami  berhenti  pada  itu dan berpuas  diri dengannya.  Demikianlah,  kami  menghabiskan  sekira  empat  puluh  tahun usia  membaca  al-Quran tanpa beroleh manfaat  darinya, kecuali  mungkin pahala  bacaannya.  Jika  kami  benar memandang  kepada  sisi pembelajaran  dan pendidikannya,  kami  menyibukkan diri  dengan kefasihan dan pembentukan  baitbaitnya  juga  sisi-sisi  kemukjizatannya,  atau bahkan  sesuatu yang lebih tinggi, kami  menyibukkan diri dengan  sejarah-sejarah yang  dinukilnya,  kesempatan-kesempatan pewahyuan  ayat-ayatnya,  waktuwaktu  turunnya, surah mana  atau  ayat-ayat  mana  yang diwahyukan  di  Makkah dan  mana  yang diwahyukan  di  Madinah,  ragam  bacaan dan  penafsirannya  di  kalangan sunnah dan syiah,  juga  ihwal sekunder lain-lainnya  yang  sebenarnya  di  luar sasaran utama  al-Quran dan semua  itu  menyebabkan kami  terhalang  dari  al-Quran  dan mengabaikan  zikir  akan  Allah. Bahkan  para  penafsir  al-Quran kita sangat  tertarik dengan  satu atau  beberapa  dari  ihwal  yang telah disampaikan  tadi,  tanpa  membukakan pintu  pembelajaran bagi  umat  manusia.

Penulis  ini  percaya  bahwa  sampai  sejauh ini  tidak ada  tafsir  yang  telah  dituliskan untuk sang kitab Allah.  Hal  ini  karena  secara  umum,  menuliskan tafsir  satu kitab  berarti  menjelaskan  sasaran-sasaran kitab itu  dan mengarahkan perhatian  pembaca  kepada  apa  yang  ingin disampaikan  oleh penulisnya. Kitab  mulia  ini,  yang  Allah sang Mulia  nyatakan  sebagai  kitab bimbingan  dan pembelajaran, juga cahaya  jalan safir  manusia,  tafsirnya  harusnya  menunjukkan  dalam  tiap  kisahnya, atau bahkan  dalam tiap ayatnya, panduan  yang jelas  kepada  alam  gaib, menunjukkan  pula  kepada  para  pembacanya  jalan kebahagiaan,  hikmah,  dan kemanusiaan. Seorang  mufassir adalah  dia  yang  menyampaikan  kepada  kita apa  “sasaran”  dari  apa  yang  diwahyukan, bukan “kapan”  ia  diwahyukan  sebagaimana  dijelaskan  pada tafsir-tafsir yang ada.  Dalam  kisah  Adam-Hawa  dan  ihwal  mereka  dengan  iblis  misalnya,  dari  saat penciptaan  mereka  hingga  diturunkannya  mereka  ke  bumi,  kisah yang diulang oleh  Allah  beberapa  kali dalam  al-Quran, ada  banyak  sekali  hikmah  tersurat  dan tersirat  juga  peringatan-peringatan, ia  juga mengingatkan kita  akan banyak  sekali  cacat-cacat  ruhani  dan sifat-sifat  setani, juga  banyak kesempurnaan-kesempurnaan jiwa  dan pengetahuan manusia, yang  itu semua  masih kita  abaikan.

Pendek  kata, kitab  Allah adalah kitab hikmah dan akhlak, dan  satu  seruan kepada  bahagia  dan kesempurnaan. Makanya,  tafsir-tafsirnya  harusnya  juga  buku tentang  hikmah  ilahiah dan akhlak, menjelaskan sudut  pandang hikmah ilahiah  dan moral, juga  sudut-sudut  lain  dari  seruan kepada bahagia. Pembedah al-Quran  yang  mengabaikan  poin-poin ini,  menyepelekannya  atau  tak menyematkan pentingnya  hal  itu,  pada  hakikatnya  mengabaikan sasaran al-Quran dan tujuan pokok pewahyuan  kitab-kitab  suci  dan pengutusan  para  rasul. Ini  kesalahan  fatal  yang menghalangi  umat manusia  selama  berabad-abad dari  beroleh  manfaat  al-Quran agung, dan itu  memblokir  jalan pembimbingan di  hadapan mereka.  Kita  harusnya  belajar sasaran  pewahyuan  al-Quran— kesampingkan dulu  sudut-sudut  pandang intelektual  dan argumentatif,  yang coba  menunjukkan  sasaran al-Quran dengan jalannya  masing-masing—dari  al-Quran sendiri.  Penulis  buku pastinya  lebih  tahu sasaran yang  ia  maksud. Karena  itu,  mari  kita  tengok  sekilas  pada  apa  yang  disampaikan oleh  sang Penulis  kitab  ini  ihwal  al-Quran. Dia  bilang  “Itulah  sang kitab, tiada keraguan  di  dalamnya, panduan  bagi  kaum  bertakwa,”  (al-Quran, 2:2) Dia  menggambarkan kitabNya  sebagai  kitab panduan.  Dalam  satu surah pendek Dia  mengulangi  hal  itu dengan  “Dan  nyata telah  Kami mudahkan  al-Quran  untuk  zikir, maka adakah  sebagian  yang peduli?”  (al-Quran, 54:17) Dia berkata  “...Dan  Kami  turunkan  kepada anda sang zikir  untuk  anda menjelaskan  kepada umat manusia apa yang diturunkan  untuk  mereka dan  mudah-mudahan  mereka merenungkan.”  (alQuran, 16:44)  juga  “Kitab  yang diturunkanNya kepada anda, terberkati, untuk  mereka renungi ayat-ayatnya, dan  supaya merenungkan  kaum  yang paham.”  (al-Quran, 38:29)  juga  banyak  ayat lain, yang penyebutannya  akan menjadikan panjang lebar.

Pendapat  kami  ini  bukan bermaksud mengkritik tafsir-tafsir  yang ada,  karena  masing-masing penulisnya  telah menanggung banyak  kepayahan  dan berupaya  dengan keras  untuk  menulis  buku tafsirnya,  semoga  Allah  memberkati  mereka  dan memberi  mereka  pahala  yang  baik.  Niatan kami adalah bilang bahwa   pintu beroleh  manfaat  dari  kitab  ini  harus  dibuka  di  hadapan umat  manusia,  yang itu  adalah satu-satunya  yang mengarahkan kepada  Allah dan satu-satunya  yang mendidik  jiwa-jiwa dengan  adab-adab  dan hukum-hukum  ilahiah, sarana  terbaik  yang menghubungkan  makhluk  dan Pencipta, sang pegangan  kokoh dan tali  kuat  dalam  keterikatan pada  kuasa  ilahiah.  Biarlah  kaum terpelajar dan  para  pengkaji  menulis  tafsir-tafsir  dalam  bahasa  Persia  dan bahasa  Arab  dengan tujuan menjelaskan pelajaran-pelajaran dan  panduan-panduan  irfan dan akhlak, menunjukkan jalan  yang menghubungkan makhluk kepada  sang Pencipta,  juga  menguraikan  hijrah dari  rumah  kepalsuan menuju rumah  kesenangan dan  keabadian, sesuai  apa  yang  tersimpan dalam  kitab mulia  ini. Sang Penulis  kitab  ini  bukanlah as-Sakkaki  atau sang Syaikh,  yang  tujuannya  adalah kefasihan  dan retorika, bukan  pula  Dia  Sibawayh  atau al-Khalil,  yang tujuannya  adalah tata  bahasa  dan pembentukan  kalimat benar,  bukan pula  Dia  al-Masudi  atau bin  Khillakan,  yang tujuannya  adalah berkutat  dengan sejarah dunia.  Kitab ini  tidak seperti  tongkatnya  Musa  atau tangan putihnya,  bukan pula  ia  seperti  nafas  Isa yang  mampu membangkitkan  orang mati  (dengan  izin  Allah), yang  diturunkan  hanya  sebagai  mukjizat untuk  membuktikan benarnya  kenabian sang Nabi  suci.  Kitab ilahiah  ini, faktanya,  adalah  kitab  yang menghidupkan hati  dengan  hidup abadi  dan hikmah ilahiah.  Ia  adalah kitab  Allah  yang menyeru kepada ihwal  ilahiah. Makanya,  pembedahnya  harusnya  mengajarkan  ihwal-ihwal  ilahiah  ini  kepada  umat manusia, dan umat  manusia  harusnya  merujuk kepada  ulasan-ulasan ini  untuk belajar ihwal-ihwal  tadi, sehingga  mereka  dapat  beroleh  manfaat  “Dan  Kami  turunkan  dari  al-Quran  apa-apa yang adalah penyembuh  dan  kasih  bagi  kaum  beriman, dan  tidak  menambahkan  bagi  kaum  zalim  selain kerugian.”  (al-Quran, 17:82) Kutukan apakah yang lebih berat  dari  bahwa  kita  terus  membaca  kitab ilahiah  ini  selama  tiga  puluh  atau  empat  puluh tahun  juga  merujuk kepada  tafsir-tafsirnya,  namun  kita tak  mendapati  tujuan-tujuan yang  diinginkannya?  “Pemelihara  kami! Kami  menzalimi  diri-diri kami, dan  jika  Anda tak  mengampuni  kami  dan  mengasihi  kami  pastilah  jadinya kami  bagian kaum  merugi.”  (al-Quran, 7:23)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar