Beroleh Manfaat Al-Quran
Oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini
Karena anda telah mengenal topik-topik dan sasaran-sasaran sang kitab ilahiah, seharusnya anda bersiap akan satu hal penting, dengan melakukannya pintu beroleh manfaat al-Quran akan terbuka bagi anda, jalur menuju pengetahuan dan hikmah akan terbuka lebar untuk anda. Yakni, memandang kitab cemerlang ini sebagai kitab pendidikan, buku pelajaran yang selayaknya anda beroleh manfaatnya, memandang bahwa tugas andalah belajar darinya. Belajar, mengajar, beroleh manfaat, dan memberi manfaat dengan al-Quran yang kami maksud bukanlah dalam hal ragam penulisan, pembentukan kalimat, dan morfologinya, bukan pula kefasihan dan retorikanya atau poin-poin keindahannya, bukan pula tentang cerita-cerita, kisah-kisah, dan episode-episodenya dari sudut pandang sejarah untuk beroleh berita tentang bangsa-bangsa di masa lalu. Tak satupun darinya adalah sasaran al-Quran, bahkan semua itup berada jauh dari sasaran kitab ilahiah ini.
Kenyataan bahwa manfaat yang kami dapatkan dari kitab besar ini sangat sedikit adalah karena kami biasanya tidak memandangnya sebagai buku pelajaran dan pendidikan. Kami membaca al-Quran untuk beroleh pahalanya. Makanya kami hanya memperhatikan intonasi saat membacanya. Kami ingin bacaan kami sempurna dan benar sehingga beroleh pahala, lalu kami berhenti pada itu dan berpuas diri dengannya. Demikianlah, kami menghabiskan sekira empat puluh tahun usia membaca al-Quran tanpa beroleh manfaat darinya, kecuali mungkin pahala bacaannya. Jika kami benar memandang kepada sisi pembelajaran dan pendidikannya, kami menyibukkan diri dengan kefasihan dan pembentukan baitbaitnya juga sisi-sisi kemukjizatannya, atau bahkan sesuatu yang lebih tinggi, kami menyibukkan diri dengan sejarah-sejarah yang dinukilnya, kesempatan-kesempatan pewahyuan ayat-ayatnya, waktuwaktu turunnya, surah mana atau ayat-ayat mana yang diwahyukan di Makkah dan mana yang diwahyukan di Madinah, ragam bacaan dan penafsirannya di kalangan sunnah dan syiah, juga ihwal sekunder lain-lainnya yang sebenarnya di luar sasaran utama al-Quran dan semua itu menyebabkan kami terhalang dari al-Quran dan mengabaikan zikir akan Allah. Bahkan para penafsir al-Quran kita sangat tertarik dengan satu atau beberapa dari ihwal yang telah disampaikan tadi, tanpa membukakan pintu pembelajaran bagi umat manusia.
Penulis ini percaya bahwa sampai sejauh ini tidak ada tafsir yang telah dituliskan untuk sang kitab Allah. Hal ini karena secara umum, menuliskan tafsir satu kitab berarti menjelaskan sasaran-sasaran kitab itu dan mengarahkan perhatian pembaca kepada apa yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Kitab mulia ini, yang Allah sang Mulia nyatakan sebagai kitab bimbingan dan pembelajaran, juga cahaya jalan safir manusia, tafsirnya harusnya menunjukkan dalam tiap kisahnya, atau bahkan dalam tiap ayatnya, panduan yang jelas kepada alam gaib, menunjukkan pula kepada para pembacanya jalan kebahagiaan, hikmah, dan kemanusiaan. Seorang mufassir adalah dia yang menyampaikan kepada kita apa “sasaran” dari apa yang diwahyukan, bukan “kapan” ia diwahyukan sebagaimana dijelaskan pada tafsir-tafsir yang ada. Dalam kisah Adam-Hawa dan ihwal mereka dengan iblis misalnya, dari saat penciptaan mereka hingga diturunkannya mereka ke bumi, kisah yang diulang oleh Allah beberapa kali dalam al-Quran, ada banyak sekali hikmah tersurat dan tersirat juga peringatan-peringatan, ia juga mengingatkan kita akan banyak sekali cacat-cacat ruhani dan sifat-sifat setani, juga banyak kesempurnaan-kesempurnaan jiwa dan pengetahuan manusia, yang itu semua masih kita abaikan.
Pendek kata, kitab Allah adalah kitab hikmah dan akhlak, dan satu seruan kepada bahagia dan kesempurnaan. Makanya, tafsir-tafsirnya harusnya juga buku tentang hikmah ilahiah dan akhlak, menjelaskan sudut pandang hikmah ilahiah dan moral, juga sudut-sudut lain dari seruan kepada bahagia. Pembedah al-Quran yang mengabaikan poin-poin ini, menyepelekannya atau tak menyematkan pentingnya hal itu, pada hakikatnya mengabaikan sasaran al-Quran dan tujuan pokok pewahyuan kitab-kitab suci dan pengutusan para rasul. Ini kesalahan fatal yang menghalangi umat manusia selama berabad-abad dari beroleh manfaat al-Quran agung, dan itu memblokir jalan pembimbingan di hadapan mereka. Kita harusnya belajar sasaran pewahyuan al-Quran— kesampingkan dulu sudut-sudut pandang intelektual dan argumentatif, yang coba menunjukkan sasaran al-Quran dengan jalannya masing-masing—dari al-Quran sendiri. Penulis buku pastinya lebih tahu sasaran yang ia maksud. Karena itu, mari kita tengok sekilas pada apa yang disampaikan oleh sang Penulis kitab ini ihwal al-Quran. Dia bilang “Itulah sang kitab, tiada keraguan di dalamnya, panduan bagi kaum bertakwa,” (al-Quran, 2:2) Dia menggambarkan kitabNya sebagai kitab panduan. Dalam satu surah pendek Dia mengulangi hal itu dengan “Dan nyata telah Kami mudahkan al-Quran untuk zikir, maka adakah sebagian yang peduli?” (al-Quran, 54:17) Dia berkata “...Dan Kami turunkan kepada anda sang zikir untuk anda menjelaskan kepada umat manusia apa yang diturunkan untuk mereka dan mudah-mudahan mereka merenungkan.” (alQuran, 16:44) juga “Kitab yang diturunkanNya kepada anda, terberkati, untuk mereka renungi ayat-ayatnya, dan supaya merenungkan kaum yang paham.” (al-Quran, 38:29) juga banyak ayat lain, yang penyebutannya akan menjadikan panjang lebar.
Pendapat kami ini bukan bermaksud mengkritik tafsir-tafsir yang ada, karena masing-masing penulisnya telah menanggung banyak kepayahan dan berupaya dengan keras untuk menulis buku tafsirnya, semoga Allah memberkati mereka dan memberi mereka pahala yang baik. Niatan kami adalah bilang bahwa pintu beroleh manfaat dari kitab ini harus dibuka di hadapan umat manusia, yang itu adalah satu-satunya yang mengarahkan kepada Allah dan satu-satunya yang mendidik jiwa-jiwa dengan adab-adab dan hukum-hukum ilahiah, sarana terbaik yang menghubungkan makhluk dan Pencipta, sang pegangan kokoh dan tali kuat dalam keterikatan pada kuasa ilahiah. Biarlah kaum terpelajar dan para pengkaji menulis tafsir-tafsir dalam bahasa Persia dan bahasa Arab dengan tujuan menjelaskan pelajaran-pelajaran dan panduan-panduan irfan dan akhlak, menunjukkan jalan yang menghubungkan makhluk kepada sang Pencipta, juga menguraikan hijrah dari rumah kepalsuan menuju rumah kesenangan dan keabadian, sesuai apa yang tersimpan dalam kitab mulia ini. Sang Penulis kitab ini bukanlah as-Sakkaki atau sang Syaikh, yang tujuannya adalah kefasihan dan retorika, bukan pula Dia Sibawayh atau al-Khalil, yang tujuannya adalah tata bahasa dan pembentukan kalimat benar, bukan pula Dia al-Masudi atau bin Khillakan, yang tujuannya adalah berkutat dengan sejarah dunia. Kitab ini tidak seperti tongkatnya Musa atau tangan putihnya, bukan pula ia seperti nafas Isa yang mampu membangkitkan orang mati (dengan izin Allah), yang diturunkan hanya sebagai mukjizat untuk membuktikan benarnya kenabian sang Nabi suci. Kitab ilahiah ini, faktanya, adalah kitab yang menghidupkan hati dengan hidup abadi dan hikmah ilahiah. Ia adalah kitab Allah yang menyeru kepada ihwal ilahiah. Makanya, pembedahnya harusnya mengajarkan ihwal-ihwal ilahiah ini kepada umat manusia, dan umat manusia harusnya merujuk kepada ulasan-ulasan ini untuk belajar ihwal-ihwal tadi, sehingga mereka dapat beroleh manfaat “Dan Kami turunkan dari al-Quran apa-apa yang adalah penyembuh dan kasih bagi kaum beriman, dan tidak menambahkan bagi kaum zalim selain kerugian.” (al-Quran, 17:82) Kutukan apakah yang lebih berat dari bahwa kita terus membaca kitab ilahiah ini selama tiga puluh atau empat puluh tahun juga merujuk kepada tafsir-tafsirnya, namun kita tak mendapati tujuan-tujuan yang diinginkannya? “Pemelihara kami! Kami menzalimi diri-diri kami, dan jika Anda tak mengampuni kami dan mengasihi kami pastilah jadinya kami bagian kaum merugi.” (al-Quran, 7:23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar