Minggu, 20 Desember 2020

16. Empirisisme

 *Positivisme*


Sebelumnya secara ringkas kami sebutkan beberapa pahaman beserta silang pendapat yang terkait. Sekarang kami akan paparkan lebih banyak beberapa paham yang ada di barat. 


Setau kami kebanyakan pemikir barat pada dasarnya menyangkal adanya makna umum (universal). Secara alami pula mereka tak mengakui alat untuk memahami mafhum, yakni akal. 


Di masa sekarang positivis tidak hanya senada dengan itu, bahkan melangkah lebih jauh. Mereka beranggapan bahwa pahaman yang benar hanya terbatas pada mafhum inderawi. Mafhum inderawi di sini diperoleh dari kontak dengan fenomena material melalui organ indera, setelah terputus dari kaitan dengan dunia luar bertahan dalam bentuk yang lebih lemah. 


Mereka mengira manusia membangun lambang-lambang ucapan untuk objek-objek mafhum yang serupa. Saat berkata atau berpikir, ia menghadirkan semua kasus sejenis dalam benaknya. Atau, ia mengulang lambang-lambang ucapan yang tersimpan untuk kasus-kasus demikian. Demikianlah, berpikir adalah semacam percakapan dalam benak. Maka dalam pandangan mereka, apa yang disebut oleh filosof sebagai makna umum atau konsep tak lain adalah kata-kata akli yang sama. 


Saat kata mewakili objek inderawi, wujudnya dapat dikenali dengan organ dan dapat ditunjukkan kepada yang lain, itulah yang benar dan dapat diverifikasi. Jika tidak demikian maka kata yang ada sama sekali tak berarti. 


Mereka menerima sebagian saja dari konsep "apa", yakni kata-kata akli yang hakikatnya adalah wujud inderawi, yang bersifat khusus. Mereka tak menerima mafhum sekunder, khususnya konsep-konsep nonfisik, sebatas kata berarti pun tidak. Pada gilirannya mereka memandang bahasan metafisika sebagai tak ilmiah dan sepenuhnya omong kosong. 


Mereka membatasi pengalaman hanya pada pengalaman inderawi, tak peduli pada pengalaman batin yang didapat dengan kehadiran. Paling tidak mereka memandangnya tak ilmiah karena menurut mereka kata "ilmiah" hanya berlaku pada kasus-kasus yang bisa dibuktikan kepada orang lain dengan inderanya. 


Positivis memandang bahasan tentang insting, niat, dan hal-hal psikologis lain yang dipahami melalui batin sebagai tak ilmiah. Hanya perilaku lahiriah saja yang dijadikan objek penelitian psikologi ilmiah. Mereka pun mengosongkan psikologi dari isinya. 


Menurut filsafat ini, yang biasa disebut empirisisme atau empirisisme ekstrim, tak mungkin bahasan dan penelitian tentang metafisika yang ilmiah bisa menghasilkan keyakinan. Mereka pun lalu memandang semua bahasan filsafat sebagai omong kosong dan tak berarti. Mungkin filsafat belum pernah berhadapan dengan musuh lain sekeras kepala ini. Karenanya, mari kita bahas lebih banyak. 


*Kritik atas Positivisme* 


Positivisme, yang sebenarnya lazim ada pada pemikiran manusia di semua era, punya banyak cacat. Berikut akan disebutkan sebagiannya yang penting. 


1. Dengan kecenderungan ini, pondasi paling kokoh pengetahuan, yakni pengetahuan langsung, akan hilang. Demikian pula dengan pernyataan (proposisi) yang murni penalaran. 


Dengan begini penjelasan akli tak bisa lagi dihadirkan demi benarnya pengetahuan. Tidak pula pengetahuan dapat diverifikasi dengan fakta. Positivis mencoba mendefinisi pengetahuan sejati dengan cara lain. Benar dalam hal pengetahuan adalah diterima oleh orang lain, yakni dapat dibuktikan dengan pengalaman inderawi. 


Tentu saja, perubahan dalam istilah tak lantas memecahkan masalah nilai pengetahuan. Sepakat dan setujunya mereka yang tak menyelami masalah ini tidak pula lalu menjadikannya bernilai dan benar. 


2. Positivis bersandar pada mafhum inderawi, pondasi pengetahuan yang paling goyah dan dapat diragukan. Pengetahuan inderawi sangat mudah salah dibanding pengetahuan lain. Sementara pengetahuan inderawi pada hakikatnya terjadi di dalam diri, mereka telah menutup jalan bagi bukti penalaran dunia luar. Mereka tak mungkin kemudian menjawab keraguan kaum idealis. 


3. Cacat yang kami sebutkan terkait nominalis berlaku pula pada positivis. 


4. Menyatakan konsep-konsep metafisika sebagai tak berarti sangatlah aneh dan pastinya tidak tepat. Jika kata-kata yang merujuk kepada konsep-konsep tersebut secara umum kosong dari makna maka sama saja dengan omong kosong, penyangkalan atau penerimaannya akan setara. Misal, api adalah sebab panas tak akan pernah setara dengan kebalikannya. Bahkan jika seseorang menyangkal sebab akibat, pada hakikatnya ia menyangkal pernyataan yang konsepnya ia pahami. 


5. Menurut positivis tak mungkin kaidah ilmiah berlaku umum, selalu, dan pasti, karena ciri seperti ini mustahil dibenarkan oleh indera. Kaidah mereka terima hanya jika kaidah tersebut diperoleh dengan pengalaman inderawi (sementara mereka tak peduli dengan masalah yang muncul karena ketak-mampuan indera pada kesemua kasus). Yakni, kapanpun pengalaman inderawi tak bisa didapat, kita mesti diam, jangan menyangkal atau membenarkan. 


6. Kebuntuan paling mencolok yang dihadapi positivis adalah bahasan matematis, yang dijelaskan dan dipecahkan dengan konsep-konsep penalaran. Konsep yang mereka anggap tak berarti  dan aib. Sementara tak seorang bijak pun berani menyatakan pernyataan matematika sebagai tak berarti atau tak ilmiah. 


Makanya, sekelompok positivis terkini tak punya pilihan selain menerima sejenis pengetahuan akli sebagai konsep-konsep logis, dan berupaya menyertakan konsep-konsep matematis. Satu contoh konsep-konsep logis membingungkan di antara konsep-konsep lain. 


Cukuplah menunjukkan keluputan mereka dengan menilik bahwa konsep-konsep matematis berlaku di dunia luar, misalnya dalam istilah-istilah teknis, pensifatannya ada di dunia luar. Sementara ciri konsep-konsep logis adalah bahwa mereka tidak berlaku kecuali hanya pada konsep-konsep dalam akal. 


*Mafhum Inderawi atau Mafhum Akli* 


Di antara para filosof barat ada penganut empirisisme selain positivisme, yang lebih lunak dan kurang bermasalah. Kebanyakannya menerima mafhum akli, namun tetap percaya bahwa mafhum inderawi adalah lebih utama. Ada pula lawan mereka yang percaya bahwa mafhum akli lebih utama. 


Bahasan dengan tema besar "lebih utama mafhum inderawi atau akli" terbagi dua. 


Kelompok pertama terkait penilaian terhadap pengetahuan inderawi dan akli, serta memilih yang lebih utama di antaranya. Ini dibahas dalam nilai pengetahuan. 


Kelompok lainnya berkenaan dengan saling lepas atau saling terkaitnya mafhum satu dengan mafhum lain. Apakah mafhum inderawi dan mafhum akli terpisah dan saling lepas? Atau mafhum akli dalam kerangka besarnya terkait dengan mafhum inderawi? 


Kelompok kedua ini bisa dibagi ke dua bagian lagi. Pertama terkait bahasan gambaran, kedua terkait bahasan pembenarannya. 


Sub tema pertama yang kita bahas adalah keutamaan gambaran inderawi atau gambaran akli. 


Setelah memahami konsep dalam bentuk makna umum, dan memahami kemampuan khas akal berupa penalaran, pertanyaan berikut muncul dengan sendirinya. Apakah fungsi akal hanya mengubah bentuk dan mengabstraksi dan membentuk gambaran umum mafhum inderawi? Atau ia punya mafhum mandiri sedemikian sehingga mafhum inderawi paling jauhnya adalah sebagai pernyataan yang dinilai (premis) dengan mafhum akli? 


Mereka yang meyakini keutamaan mafhum inderawi memandang bahwa akal tak punya fungsi selain abstraksi, membentuk gambaran umum, serta mengubah bentuk mafhum inderawi. Yakni, tak ada mafhum akli yang tak mengikuti mafhum inderawi. 


Berseberangan dengan itu, kaum rasionalis barat percaya bahwa akal punya mafhum mandiri yang secara alami dihasilkan dari wujudnya, yang bersifat fitrah. Akal tak perlu mafhum apapun sebelumnya untuk beroleh mafhum akli ini. 


Alhasil, pandangan yang tepat adalah bahwa mafhum atau gambaran akli yang bermakna umum selalu diawali mafhum-mafhum lain yang bermakna khusus dan tertentu. Kadang berupa pengetahuan langsung, yang pada dasarnya bukanlah gambaran. Bagaimanapun, akal tak berfungsi mengubah bentuk mafhum inderawi. 


Sub tema kedua adalah tentang keutamaan mafhum inderawi atau mafhum akli dalam pembenarannya. Ini mesti dipandang sebagai bahasan mandiri, tidak sebagai cabang bahasan sebelumnya. Ia memunculkan tanya, apakah pembenaran adalah mafhum inderawi lanjutan setelah beroleh konsep akli sederhana, atau pembenaran adalah mafhum inderawi mandiri. Apakah pembenaran akan kesatuan antara subjek dan predikat dalam pernyataan predikatif selalu bergantung pada pengalaman inderawi? Apakah penilaian berupa kesesuaian atau perlawanan antara pernyataan sebab (anteseden) dan pernyataan akibat (konsekuen) dalam pernyataan bersyarat selalu bergantung pula pada pengalaman inderawi? Dapatkah akal melakukan penilaian mandiri setelah beroleh konsep khayali yang cukup, atau ia perlu bantuan dari pengalaman inderawi? 


Maka tak benar bahwa mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi akan punya pandangan sama tentang pembenarannya. Sangat mungkin mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi di satu sisi, percaya dengan utamanya mafhum akli di sisi lain. 


Mereka yang percaya dengan utamanya mafhum inderawi dalam pembenaran biasa disebut empirisis. Mereka percaya bahwa akal tak bisa menilai tanpa bantuan pengalaman inderawi. 


Mereka yang percaya dengan utamanya mafhum akli dalam hal pembenaran, percaya bahwa akal punya mafhum penilaian mandiri yang terlepas dari pengalaman inderawi. 


Rasionalis barat biasanya menganggap mafhum ini sebagai fitrah akal. Mereka percaya bahwa akal dicipta sedemikian sehingga ia paham pernyataan-pernyataan seperti itu secara otomatis. 


Namun, pandangan yang tepat adalah bahwa pembenaran akli adalah mandiri, entah terpicu dari pengetahuan langsung atau dari analisis konsep-konsep akli serta pembandingan interrelasinya. Hanya dengan meluaskan cakupan istilah "pengalaman" hingga mencakup pengetahuan langsung, penyaksian batin, dan pengalaman psikologis saja mereka dapat menerima semua pembenaran akli sebagai sebuah pengalaman. Bagaimanapun, pembenaran akli tak selalu butuh pengalaman inderawi atau pemakaian indera. 


Hasilnya, pendapat kaum empirisis maupun pendapat kaum rasionalis tentang gambaran atau pembenaran, tidak sepenuhnya tepat. Pandangan yang tepat dalam masing-masing kasus adalah bahwa mafhum-mafhum inderawi tertentu adalah utama bagi akal. Dalam hal gambaran, konsep akli bukanlah perubahan bentuk gambaran inderawi. Dalam hal pembenaran, akal tak perlu pengalaman inderawi untuk penilaiannya. 


(Dari Philosophical Instructions, oleh M.T Misbah Yazdi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar