Sabtu, 30 Mei 2020

11. Menuju Epistemologi

Nilai Epistemologi

Ada serangkaian soalan mendasar menghadang manusia, sebagai zat sadar yang segenap aktifitasnya muncul dari kesadaran. Jika ia abai dan gagal dalam upayanya menemukan jawab-jawab yang tepat untuk rangkaian soalan ini, ia akan mendapati dirinya melewati batas kemanusiaan menuju batas kehewanan. 

Berdiam dalam keraguan atau bertindak sembrono menghalangi manusia dari tabiatnya yang haus akan kebenaran. Selain itu menyisakan risau ihwal tanggung jawab-tanggung jawab yang menjadi kemestiannya. Seringnya ia akan terlemahkan, atau dalam beberapa kasus, menjadikannya makhluk yang berbahaya. 

Solusi-solusi yang salah dan menyimpang, semisal materialisme dan nihilisme, tak mampu memberikan kenyamanan psikologis dan kemakmuran sosial. Kita perlu mencari sebab mendasar dari kerusakan individu dan sosial berupa pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran yang melenceng. Karenanya, tak ada jalan lain kecuali mencari jawab untuk soalan-soalan ini dengan tekad yang mantap dan sungguh-sungguh. Mestinya kita berupaya total menancapkan pondasi kemanusiaan kita sendiri. Dengan ini membantu pula yang lain. Menghalangi pengaruh merusak pemikiran-pemikiran salah dalam masyarakat dan ajaran-ajaran menyimpang yang kini ada. 

Jelas sekarang bahwa upaya intelektual dan filosofis niscaya perlu. Tak ada ruang lagi untuk ragu atau ketak-pastian dan sembrono. Yang tersisa adalah mengambil langkah dalam perjalanan wajib yang tak terelakkan. Dengannya kita menjawab tanya berikut: Mampukah akal manusia menjawab soalan-soalan ini? 

Pertanyaan ini mengarahkan pada pembentukan inti soalan-soalan epistemologi. Hingga kita menjawab soalan-soalan cabang filsafat yang ini, kita tak akan sampai pada solusi-solusi soalan-soalan ontologi, tak pula cabang-cabang filsafat yang lain. Hingga nilai dari pengetahuan akal ditentukan, maka klaim-klaim yang dihadirkan sebagai solusi-solusi aktual untuk soalan-soalan demikian tidaklah bernilai dan tak dapat diterima. Akan selalu tersisa pertanyaan-pertanyaan bagaimana akal dapat menyajikan solusi yang tepat untuk soalan-soalan ini. 

Di sinilah banyak tokoh-tokoh filasafat barat, seperti Hume, Kant, Auguste Compte, dan semua positifis telah kebingungan. Dengan pandangan-pandangan keliru mereka telah meletakkan pondasi peradaban secara salah bagi masyarakat barat. Bahkan para pakar ilmu lain, misal psikolog behavioris, telah sesat karena mereka. Sayang, gelombang bertubi ajaran-ajaran yang menghempas dan menghancurkan itu telah menyebar ke belahan-belahan lain bumi. Menyisakan hanya filsafat ilahiah, puncak-puncak tinggi dan tebing-tebing tak tertembus yang berdiri di atas pondasi-pondasi stabil yang kokoh. Semua selainnya bisa dikata berada dalam pengaruh mereka. 

Karenanya, kita mesti berupaya mengambil langkah pertama dengan meletakkan pondasi rumah pemikiran-pemikiran filosofis kita secara kokoh dan mapan untuk lalu layak menapaki tahap-tahap selanjutnya dan sampai ke tujuan, insya Allah. 

Kilas Sejarah Epistemologi

Meski epistemologi sebagai cabang filsafat tak punya sejarah panjang sebagai ilmu yang terpisah, dapat dikatakan bahwa soalan tentang nilai pengetahuan, yang membentuk porosnya, telah muncul kira-kira sejak filsafat paling purba. Bisa jadi perhatian para pemikir terpapar dengan soalan ini saat mendapati cacat dan cela dalam penyingkapan berbagai peristiwa eksternal oleh indera. Hal inilah yang memicu kaum Eleatik untuk tak percaya dengan persepsi inderawi dan lebih bergantung pada pengetahuan rasional. 

Di sisi lain, beda pendapat para pemikir ihwal soalan-soalan rasional, dan berbagai pembuktian berlawanan yang diajukan masing-masing kelompok, untuk menguatkan  bermacam ide dan pandangan masing-masing, lalu memberi kaum sofis kesempatan menyangkal nilai pengetahuan rasional itu sendiri. Melangkah jauh di jalan ini, yakni meragu, mereka bahkan hingga menyangkal realitas eksternal. 

Setelah itu, soalan pengetahuan tak muncul secara serius hingga Aristoteles. Ia menyusun prinsip-prinsip logika sebagai standar berpikir tepat, dan penguji berbagai dalil. Setelah duapuluh sekian abad prinsip-prinsip ini masih tetap berguna. Bahkan Marxis, setelah berseteru sekian tahun melawannya, akhirnya membenarkan butuhnya manusia akan bagian dari logika. 

Setelah abad-abad yang menyuburkan filsafat Yunani, gejolak muncul dalam menilai pengetahuan inderawi dan rasional. Dua kali eropa berhadapan dengan krisis skeptisisme. Setelah Renaisans dan berkembangnya ilmu empiris, empirisme perlahan berkuasa. Sekarang empirisme masih mendominasi aliran pemikiran, meski para rasionalis bermunculan dari waktu ke waktu. 

Secara terbatas penyidikan sistematik pertama dalam epistemologi dilakukan oleh Leibniz di daratan eropa, dan oleh John Locke di Inggris. Demikianlah satu cabang filsafat yang mandiri terbentuk. Penyidikan Locke pun dilanjutkan oleh para penerusnya, Berkeley dan Hume. Filsafat empirisme naik daun dan perlahan posisi para rasionalis melemah sedemikian hingga Kant, seorang rasionalispun, faktanya sangat terpengaruh oleh ide-ide Hume.

Kant mendeklarasikan bahwa perombakan pengetahuan dan penalaran merupakan tugas terpenting filsafat. Namun, ia hanya menerima berbagai kesimpulan penalaran teoritis dalam batasan ilmu-ilmu empiris, matematika, dan sekian wilayah subordinatnya. Serangan pertama dari kaum rasionalis adalah kepada metafisika. Setelah sebelumnya Hume, tokoh dominan di antara kaum empiris, telah memulai serangan tsb dengan cukup telak, yang lalu diikuti oleh kaum positifis secara lebih serius. Selanjutnya pengaruh langsung epistemologi di ranah-ranah lain filsafat dan penalaran kian meredup, yang menandai antiklimaks filsafat barat. 

Pengetahuan dalam Filsafat Islam

Naik turun dan krisis telah menimpa filsafat barat, khususnya ranah epistemologi. Setelah rentang hidupnya yang duapuluh lima abad, filsafat barat bukan saja tak beroleh pijakan dan pondasi yang kuat. Bahkan dapat dikata dukungan baginya semakin labil. 

Filsafat islam sebaliknya, secara lestari beroleh tenaga dan kestabilan, tak pernah goncang, mengalami naik turun, apatah krisis. Kecuali beberapa kecenderungan negatif yang kadang menghadang para filosof islam, mereka telah menjaga doktrin bahwa akal adalah hal mendasar dalam mencari solusi soalan-soalan metafisik. Tanpa meremehkan pentingnya pengalaman inderawi, tak pula menyangkal perlunya metode penelitian dalam ilmu-ilmu alam, mereka bertahan menerapkan metode rasional pada soalan-soalan filosofis. 

Benturan dengan pandangan-pandangan yang berlawanan dan bergulat dengan berbagai kritik, jauh dari menjadikan para filosof islam lemah, justru menguatkan dan meningkatkan keterampilan mereka. Karena alasan inilah, pohon filsafat islam terus tumbuh dan makin berbuah dari hari ke hari, bahkan tahan dan imun terhadap serangan-serangan para seterunya. Ia kini mampu sepenuhnya mempertahankan posisinya yang layak dan melibas para pesaingnya. 

Beberapa kecenderungan yang kurang lebih berbenturan dengan filsafat punya dua sumber utama. Di satu sisi ada kaum yang menilai beberapa pandangan filsafat sebagai bertentangan dengan tafsir-tafsir literal dari Kitab dan hadis, khawatir bahwa tersebarnya filsafat akan melemahkan keimanan orang-orang. Di sisi lain ada urafa (kaum gnostik) yang menenkankan pentingnya perjalanan ruhani, takut bahwa kecenderungan-kecenderungan filosofis akan mengarah kepada pengabaian laku gnosis dan minimnya kemajuan dalam perjalanan batiniah. Merekapun mengabaikannya, mengklaim bahwa para rasionalis hanya memakai kaki kayu. (Lihat Matsnawi, oleh Maulana Jalaluddin Rumi) 

Orang mestinya sadar bahwa agama yang benar seperti Islam sejati tak akan pernah terancam oleh ide-ide para filosof. Terlepas dari berbagai kekurangan dan penyimpangan ide-ide tsb, dengan pertumbuhan dan kematangan filosofis setelah melalui fasa mentah dan naifnya, doktrin-doktrin Islam akan tampil ke depan dan kebenarannya akan makin jelas. Filsafat malah jadi pelayan (Islam) yang penting dan tak terganti di satu sisi dengan menjelaskan ajaran-ajarannya yang luhur, di sisi lain dengan membelanya dari berbagai aliran pemikiran yang sesat dan berbahaya, sebagaimana telah dan akan terus ia lakukan dengan semakin baik, insya Allah. 

Perjalan ruhani dan gnostik tak sedikitpun bertentangan dengan filsafat ilahiah; bahkan ia membantu dan terbantu olehnya. Mesti dicatat bahwa serangkaian ketegangan ini benar berguna dalam menghindarkan fanatisme dan ekstrimisme, pun dalam menentukan sekian batas masing-masing. 

Karena kokoh, tak tergoyahkannya posisi akal dalam filsafat islam, tak mengemuka perlunya studi rinci tentang soalan-soalan pengetahuan secara metodis dan sitematis sebagai cabang filsafat yang mandiri. Tak lebih dari beberapa topik acak tentang pengetahuan, yang ada pada beberapa bab logika dan filsafat, dianggap memadai, misal dalam satu bahasan tentang ajaran sofis saat kekeliruannya dibahas, juga dalam bahasan tentang pembagian ilmu dan prinsip-prinsipnya. Bahkan soalan wujud akli, satu dari sekian topik relevan bagi soalan-soalan pengetahuan, tak berkembang sebagai topik mandiri hingga Ibn Sina. Bahkan setelahnya, semua sudut dan sisi dari masalah tsb belum secara serius diteliti dan dikaji. 

Menimbang kondisi yang ada kini, saat pemikiran barat telah nyaris masuk ke kultur masyarakat kita, muncul berbagai tanya tentang sekian aksioma filsafat ilahiah, soalan-soalan filosofis tak lagi dapat dibatasi pada kerangka yang lama, pembahasan tak lagi dapat dibawakan dengan cara-cara tradisional. Bukan hanya karena cara-cara tsb mencegah tumbuh kembang filsafat melalui pertukaran antar aliran pemikiran, pun menjadikan kaum terpelajar kita, yang mau tak mau telah dan akan makin akrab dengan pemikiran barat, pesimis tentang filsafat islam, menghadirkan bayang bahwa filsafat islam telah kehilangan aji dan tak mampu bersaing dengan berbagai aliran filsafat lain. Bahkan hari demi hari kecenderungan mereka kepada budaya barat makin bertambah, dengan dampak-dampaknya yang merusak. Situasi seperti ini nampak di banyak universitas kita selama rezim sebelumnya [yakni rezim Pahlevi di Iran]

Melunasi hutang kita kepada revolusi islam dan darah suci yang tumpah untuk itu, pun memenuhi tanggung jawab ilahiah kita, kita mesti menambah upaya untuk menjelaskan pondasi-pondasi filsafat dan menyebarkannya sedemikian hingga ia dapat menjawab sekian keraguan yang dimunculkan oleh berbagai aliran pemikiran yang amoral dan ateistik, pun kita mesti peduli akan kebutuhan akan keyakinan dan memungkinkannya terjangkau oleh kaum muda yang mencari dan meneliti kebenaran, sehingga pengajaran filsafat islam dapat menyebar, pada gilirannya budaya islam mampu bertahan dari rong-rongan berbagai ide asing. 

Definisi Epistemologi

Sebelum mendefinisi epistemologi [ilmu tentang pengetahuan] perlu kiranya mengurai kata pengetahuan. Kata yang semakna dengan ma'rifah dalam bahasa Arab ini memiliki beberapa penggunaan. Makna umumnya meliputi segenap mafhum, kesadaran, informasi. Kadang digunakan untuk persepsi khusus, kadang untuk pengenalan. Kadang ia digunakan untuk pengetahuan yang bersesuaian dengan realitas secara meyakinkan. Ada beberapa perdebatan dalam filologi dan etimologi tentang sinonim bahasa asingnya, yang bukan tempatnya diungkap di sini. 

Pengetahuan sebagai objek ilmu epistemologi dapat dipahami mengandung makna-makna tsb atau selainnya. Faktanya ia hanya bersandar pada kesepakatan. Namun karena sasaran telaah soalan-soalan epistemologis tidak khusus untuk pengetahuan spesifik manapun, baik digunakan saja makna lazimnya yakni setara dengan pengetahuan dalam pahaman umum. 

Konsep pengetahuan adalah satu dari sekian konsep yang paling jelas dan swabukti [membuktikan dirinya sendiri], bukan hanya tak perlu definisi, pun mustahil didefinisi, karena tak ada term lain yang lebih mafhum untuk mendefinisinya. 

Berbagai frasa dan pernyataan yang digunakan dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan dan ilmu bukanlah definisi-definisi asli. Tujuan penyebutannya adalah untuk membatasi cakupan-cakupannya dalam ilmu atau ranah studi tertentu. Misal, logikawan mendefinisi pengetahuan sebagai "beroleh bentuk sesuatu dalam benak", yang  maksud definisi ini adalah menentukan cakupan yang dimau yakni "pengetahuan tak langsung". Atau, merujuk kepada pandangan beberapa filosof ihwal soalan-soalan tertentu ontologi  yang mendefinisi pengetahuan sebagai "hadirnya wujud nonmateri pada wujud nonmateri lain", atau "hadirnya sesuatu pada wujud nonmateri". Sasaran definisi-definisi ini adalah menyatakan pandangan mereka tentang ke-nonmateri-an pengetahuan dan subjeknya. 

Jikapun kita menjabarkan pengetahuan, lebih baik dikatakan bahwa ia adalah hadirnya sesuatu itu sendiri atau bentuk tertentunya atau konsep umumnya dalam satu wujud nonmateri. Kita bilang juga bahwa tak perlu bahwa pengetahuan dan subjek yang tau harus selalu lain. Tak mustahil, sebagaimana kesadaran seorang akan dirinya, bahwa tak ada beda antara subjek dan objek pengetahuan. Nyatanya dalam kasus-kasus demikian kesatuan adalah contoh paling tepat untuk kehadiran. Per definisi kita telah menghadirkan kata pengetahuan. Dengan demikian epistemologi adalah "ilmu yang membahas pengetahuan manusia, memilah jenis-jenis, dan kriteria-kriteria kesahihannya". (Philosophical Instructions, oleh Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar