Minggu, 31 Mei 2020

12. Tentang Aksioma Epistemologi

*Bagaimana Filsafat Bergantung pada Epistemologi* 

Konsep pengetahuan dalam arti luas mencakup setiap jenis kesadaran dan persepsi. Ia dapat disajikan oleh epistemologi melalui topik-topik kajiannya. Namun demikian, ada beberapa dari konsep pengetahuan yang tidak secara formal berada dalam lingkup epistemologi. Yakni seperti wahyu, ilham, serta berbagai penyingkapan dan intuisi mistis. Adapun, soalan yang biasa disertakan dalam diskusi cabang filsafat ini adalah korelasi antara indera dan akal. 

Kami tak mungkin membahas semua topik ini di sini. Ini karena tujuan utama kami adalah menjelaskan nilai persepsi akli [penerimaan realitas oleh akal] dan membuktikan benarnya filsafat juga kesahihan metode-metode rasionalnya. Untuk itu, kami hanya akan menghadirkan beberapa topik yang berguna dalam metafisika dan teologi. Sesekali itu juga berguna bagi ranah lain filsafat seperti psikologi filosofis dan akhlak filosofis. 

Pada titik ini boleh kita ajukan tanya: Apa premis-premis dasar yang mendukung epistemologi? Di mana dapat ditemukan? Jawabnya adalah bahwa epistemologi tak perlu meminjam aksioma-aksioma untuk semua bahasannya. Ini karena berbagai topik yang ada dapat diklarifikasi secara mandiri pada pengetahuan-pengetahuan mudah (badihiyyat awwaliyyah) yang swabukti [membuktikan dirinya sendiri]. 

Dikatakan bahwa ontologi dan ilmu rasional lain tak perlu kepada ilmu lain. Nyatanya semua solusi untuk mereka ini bergantung pada mampu tidaknya akal menjawab soalan-soalannya. Bukankah berarti ranah filsafat tersebut perlu epistemologi untuk menyajikan aksioma-aksioma dasarnya?

Di bagian lain kami telah mengisyaratkan jawab untuk soal ini. Adapun gamblangnya, begini. Pertama, sekian premis yang secara langsung dibutuhkan oleh ilmu-ilmu rasional adalah penilaian-penilaian [tasdiq] yang swabukti dan tanpa perlu pembuktian. 

Adapun jabaran tentang penilaian-penilaian tersebut dalam logika atau epistemologi sebenarnya bersifat eksposisi atau keterangan, bukan argumentatif. Yakni, itu semua adalah alat untuk mengarahkan perhatian benak kepada hakikat yg dipahami akal tanpa perlu dalil apapun. Alasan di balik pembahasan penilaian macam ini dalam ilmu-ilmu tersebut adalah salah paham tentangnya yang pada gilirannya menjadikan keraguan. Seperti dalam kasus penilaian paling swabukti, "mustahilnya kontradiksi". Pada sebagian orang ini mengarah pada anggapan bahwa kontradiksi tidaklah mustahil. Bahkan kontradiksi kadang dianggap sebagai pondasi realitas. 

Sekian ragu yang mengemuka tentang nilai pengetahuan rasionalpun polanya sama. Diskusi kita ini ada untuk menghapus keraguan dan kesalah-pahaman seperti tersebut. Sebenarnya, menyelipkan penilaian-penilaian ini di antara topik logika dan epistemologi adalah perhatian, sikap mengalah, atau sikap sopan terhadap mereka yg mengarah kepada ragu. 

Jika seorang, tanpa sadar, tak mengakui adanya pengetahuan rasional, bagaimana orang lain berdiskusi dengannya bersandar pada bukti rasional? Bahkan, argumen-argumen yg diajukan untuk mendukung ragu demikian adalah berupa argumen rasional (perhatikan). 

Kedua, butuhnya berbagai ranah filsafat kepada prinsip-prinsip logika dan epistemologi adalah penerapan pengetahuan pada pengetahuan. Yakni, seorang yg benaknya belum teracuni oleh ragu dapat menalar hingga kesimpulan tertentu terkait kebanyakan topik. Dan penalarannya akan sesuai dengan prinsip-prinsip logika tanpa perlu ia mempelajarinya dan tanpa ia tau. Misal, bahwa penalarannya sesuai dengan bentuk pertama silogisme serta syarat-syaratnya, atau tanpa menyadari bahwa ada benak yg menyadari premis-premis ini dan menerima sahihnya kesimpulan yg mengikuti. 

Di sisi lain, mungkin sebagian orang, dalam menolak rasionalisme atau metafisika menggunakan penalaran dan tanpa sadar dg premis-premis metafisika. Atau, dalam menolak aturan-aturan logika mereka malah menyandarkan penalaran pada sekian aturan logika. Bahkan, dalam menolak mustahilnya kontradiksi, mereka malah menggunakannya tanpa sadar, dan saat dikatakan, "Penalaran anda ini sahih sekaligus tak sahih" mereka akan tersinggung dan menganggapnya pelecehan. 

Dengan demikian, bergantungnya penalaran filosofis pada prinsip-prinsip logika dan prinsip-prinsip epistemologi bukanlah seperti meletakkan prinsip-prinsip pada bahasan keilmuan. Tapi ia adalah kebutuhan sekunder, yakni terkait menggantungkan prinsip-prinsip keilmuan ini pada dirinya masing-masing. Yaitu, ia adalah kebutuhan untuk pembenaran ulang keilmuan. Yakni untuk beroleh konfirmasi lebih lanjut bagi penilaian-penilaian ini. 

Seperti swabukti pada proposisi-proposisi, yang bergantung pada mustahilnya kontradiksi. Jelas bahwa bergantungnya proposisi-proposisi swabukti pada prinsip ini tak sama dengan bergantungnya proposisi-proposisi spekulatif pada proposisi-proposisi swabukti. Jika tidak, maka beda antara proposisi swabukti dan spekulatif tak akan ada. Dan setidaknya, satu proposisi, yakni prinsip mustahilnya kontradiksi, harus diterima sebagai swabukti. 

*Mungkinnya Pengetahuan*

Setiap orang yang berakal sehat percaya bahwa ia benar tau sekian hal, pun bahwa ia mungkin untuk tahu sekian hal. Ia bahkan berupaya untuk beroleh informasi tentang ihwal yang ia perlu atau suka. Tanda terbaik untuk upaya macam ini adalah yang telah dilakukan oleh para ilmuwan dan filosof, dengan membawakan berbagai ranah ilmu dan filsafat. 

Bahkan, mungkin dan aktualnya ilmu bukanlah suatu yang disangkal atau diragukan oleh orang berakal yang benaknya belum tercemari ragu. Apa yg terbuka untuk diskusi atau telaah dan apa yg masuk akal untuk diperdebatkan adalah penentuan batas-batas pengetahuan manusia, syarat alat-alat untuk beroleh pengetahuan tertentu, cara memilah pemikiran benar dari yg salah, dan semisalnya. 

Seperti disinggung sebelumnya, gelombang-gelombang skeptisisme telah muncul berulang-ulang di Eropa, bahkan para pemikir hebatpun tertelan olehnya. Sejarah filsafat mencatat sekian aliran pemikiran yg sepenuhnya menyangkal pengetahuan, semisal sofisme, skeptisisme, agnostisisme. Penjelasan terbaik tentang penyangkalan total pengetahuan (jika anggapan ini benar) adalah bahwa korban-korbannya terjangkit kecerobohan akut, satu keadaan yg dialami sebagian orang terkait beberapa hal lain juga. Selayaknya dianggap sebagai semacam penyakit jiwa. 

Adanya orang-orang demikian, niat di balik pandangan-pandangannya, ataupun fakta atas tuduhan kepada yang diklaim memilikinya, biarlah kita serahkan rinciannya kepada putusan riset sejarah. Adapun kami, menganggapnya sebagai deskripsi keraguan atau tanya yang perlu jawaban filosofis. 

*Menilik Klaim Kaum Skeptis*

Kutipan-kutipan dari kaum sofis dan skeptis dapat dibagi menjadi dua: satunya adalah ungkap mereka tentang ada dan yang ada (wujud), lainnya adalah tentang ilmu dan pengetahuan. Ungkap-ungkap tersebut punya dua aspek: satu aspek terkait ontologi, yang lain terkait epistemologi. 

Contoh, kutipan yg di sandarkan kepada sofis paling ekstrim, Gorgias: "Tiada wujud, jikapun ada sesuatu, ia mustahil ditau, dan meski ada pengetahuan tentang wujud, pengetahuan ini mustahil disampaikan kepada yg lain." Frasa pertama adalah tentang wujud, mesti dibahas di bagian ontologi. Namun yang kedua, relevan dengan diskusi sekarang, epistemologi, maka wajarnya frasa kedua inilah yang kita bahas lebih lanjut. 

Hal pertama yang perlu diungkapkan: Yang meragukan semua hal tak akan mampu meragukan adanya diri mereka sendiri, adanya ragu mereka, tidak pula organ-organ persepsi, seperti penglihatan dan pendengaran, pun adanya bentuk mental dan berbagai keadaan psikologisnya. 

Jika seorang bahkan menyatakan keraguan tentang ihwal ini, ia pasti sakit, dan perlu penyembuh, atau ia bohong dan punya niat jahat, karenanya perlu dikoreksi dan ditegur. Demikian pula, siapa yang bicara dan berdiskusi atau menulis buku mustahil menolak adanya lawan diskusi, atau adanya kertas atau pena yang dipakai. 

Pada titik ekstrim bisa dikatakan seorang menyadari semua hal dalam kediriannya namun ia ragu akan adanya mereka di dunia luar. Sebagaimana muncul dari pernyataan-pernyataan Berkeley dan beberapa idealis lain. Mereka menerima semua objek persepsi sebagai semata berbagai bentuk dalam benak, dan menyangkal adanya secara eksternal. Namun begitu, mereka menerima adanya orang-orang lain yang punya benak dan persepsi. Pandangan ini tak sepenuhnya menyangkal pengetahuan dan keberadaan, namun menyangkal keberadaan material, segenap keraguan mereka adalah tentang wujud terkait beberapa objek pengetahuan. 

Jika seorang mengklaim bahwa pengetahuan-yakin adalah mustahil, tanya yang harus diberikan kepadanya apakah ia tau itu, ataukah ia juga punya keraguan tentangnya. Jika ia bilang ia tau, maka setidaknya satu hal diketahui telah dibenarkan, dan klaimnya sendiri gugur. Jika ia bilang ia tak tau itu, artinya ia mungkin berkesempatan mendapat pengetahuan-yakin. Dengan kata lain, ungkapannya sendiri terbukti salah. Namun, jika seorang bilang bahwa ia ragu tentang klaim kemungkinan pengetahuan dan pengetahuan-yakin, mesti ditanya apakah ia tau bahwa ia ragu atau tidak. Jika menjawab ia tau bahwa ia ragu, maka bukan hanya mungkin bahkan pengetahuan secara aktual telah diakui. Jikapun, ia bilang meragukan ragu yg ada padanya, ungkap ini entah disebabkan penyakit jiwa atau niatan buruk, perlu tanggapan nonteoritis. 

Para pembela kenisbian semua pengetahuan mengklaim bahwa tak ada proposisi yang sahih secara mutlak, berlaku umum, selalu. Sesiapa boleh menanyai orang-orang itu apakah klaimnya tersebut sahih secara mutlak, berlaku umum, selalu, atau apakah ia nisbi, partikular, dan temporal. Jika itu berlaku selalu, dalam semua kasus, tanpa syarat dan tanpa kecuali, maka itulah sahih. Maka setidaknya ada satu proposisi yang mutlak, berlaku umum, selalu yang telah terbukti. Jika pengetahuan ini sendiri juga relatif berarti ia tak berlaku pada beberapa kasus. Dan, pada kasus-kasus yg ia tak berlaku itu ada proposisi yang mutlak, berlaku umum, selalu. 

*Menolak Ragu Skeptis*

Satu ragu yang jadi sandaran kaum sofis dan skeptis, mereka ungkap dalam berbagai bentuk, dan dengan bermacam contoh adalah: Kadang orang beroleh kepastian tentang adanya sesuatu melalui indera, namun kemudian sadar bahwa ia salah. Demikianlah seorang tau bahwa persepsi inderawi ternyata tak dapat dipercaya. Polanya lalu seperti mengemuka, persepsi-persepsi inderawi yang lain mungkin juga salah, akan datang hari saat sekian luput itu nampak juga. Demikian pula kadang seorang mendapati satu prinsip sebagai benar secara rasional, namun kemudian ia dapati bahwa penalarannya tidak tepat, keyakinannya pun berubah ke ragu. Begitulah, penalaran juga nyatanya tak dapat dipercaya. Dengan cara yang sama kemungkinan salah berimbas ke persepsi akal yang lain. Kesimpulannya tak inderawi tak pula penalaran dapat dipercaya. Tak ada yg tersisa bagi manusia kecuali ragu. 

Tanggapannya begini: 

1. Sasaran argumentasi ini adalah sampai kepada sahihnya skeptisisme, dan sampainya pengetahuan akan benarnya ia melalui penalaran, dan paling tidak menarik lawan diskusi agar menerima ide anda. Yakni, anda berharap bahwa ia akan mencapai pengetahuan tentang sahihnya klaim-klaim anda, sementara anda berkeras bahwa mencapai pengetahuan adalah mustahil mutlak. 

2. Ditemukannya kesalahan persepsi inderawi dan akli menuntun kepada pengetahuan bahwa persepsi-persepsi tersebut tak sesuai dengan realitas. Ini secara logis menunjukkan bahwa kita menerima adanya pengetahuan tentang kelirunya persepsi. 

3. Kemestian lainnya adalah kita tau bahwa ada realitas yang tak sesuai dengan persepsi keliru kita, jika tidak maka tak akan ada konsep kelirunya persepsi. 

4. Kemestian lainnya adalah bahwa kita pasti tau bahwa persepsi yang keliru dan bentuk aklinya berlawanan dengan realitas. 

5. Akhirnya, adanya orang yang keliru, begitupun indera dan akalnya pastilah diterima. 

6. Penalaran ini sendiri adalah argumentasi akli (meski cacat) dan bersandar padanya adalah  anggapan bahwa akal dan persepsinya sebagai dapat dipercaya. 

7. Sebagai tambahan, pengetahuan lain diasumsikan ada, yaitu persepsi-persepsi yang keliru itu, dalam keadaan keliru, tak mungkin benar. Jadi, argumentasi kaum skeptis itu sendiri meniscayakan diterimanya beberapa contoh pengetahuan, bagaimana seorang demikian lalu menafikan mungkinnya pengetahuan sepenuhnya, atau bahkan meragukannya?!

Semua jawab ini menyangkal argumentasi kaum skeptis. Dengan meneliti dan menunjukkan cacatnya, kita membuktikan sahih dan tidaknya persepsi inderawi dengan bantuan penalaran. Bagaimanapun, seperti telah dinyatakan, tidak benar bahwa ditemukannya salah pada persepsi akli juga berimbas ke semua persepsi akli yang lain, karena kemungkinan salah hanya dapat terjadi pada persepsi-persepsi spekulatif, yang tak swabukti. Adapun proposisi-proposisi akli swabukti yang menjadi sandaran pembuktian filosofis tidak pernah luput sama sekali, penjelasannya akan disajikan pada bab ke 19. (Philosophical Instructions, oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar