Kamis, 06 Mei 2021

17. Peran Gambaran Akli dan Gambaran Inderawi

 Lebih Penting Gambaran Akli atau Gambaran Inderawi 


Seperti kami sebutkan, filosof barat terbagi dua kelompok dalam menjelaskan gambaran. 


Satu kelompok darinya percaya bahwa mafhum akli adalah rangkaian konsep yang tak perlu penginderaan. Misal Descartes, bagaimana ia memandang konsep non material seperti Tuhan dan jiwa. Juga bagaimana ia memandang konsep panjang dan bentuk material. 


Ia menyebut sifat material demikian sebagai kualitas primer. Mereka tak secara langsung didapat dari penginderaan. Sebaliknya, ia menyebut sifat yang didapat dengan indera sebagai kualitas sekunder. Semisal warna, aroma, dan rasa. 


Tampak ia percaya lebih pentingnya pengetahuan akli. Ia memandang pengetahuan kualitas sekunder yang diperoleh dengan indera bisa salah dan kurang terpercaya. Ia menunjukkan pengutamaan mafhum akli, yang secara umum dibahas dalam nilai pengetahuan. 


Serupa itu, Kant mengenalkan rangkaian konsep yang disebut apriori. Di antaranya ia mengenalkan konsep ruang dan konsep waktu pada tingkat-tingkat penginderaan. Mengenalkan pula "dua belas kategori" pada tingkatan mafhum. Ia memandang mafhum akan konsep-konsep ini sebagai fitrah akal. 


Kelompok lain percaya bahwa akal manusia dicipta seperti bidang kosong, tanpa pahatan. Sentuhan dengan wujud luar melalui indera menyebabkan muncul gambar dan pahatan di sana. Beginilah berbagai mafhum muncul. Epicures dikutip bilang "Tak ada apa pun dalam akal kecuali sebelumnya ada di indera." Ungkapan yang sama kemudian diulang oleh John Locke, emprisis dari Inggris. 


Namun demikian, pernyataan mereka tentang wujud konsep akli berbeda. Rangkuman dari apa yang mereka ungkap adalah bahwa mafhum inderawi berubah bentuk dan terjadilah mafhum akli. Sebagaimana tukang kayu memotong bilah-bilah kayu untuk menjadikannya bermacam bentuk dan jadilah meja, kursi, pintu, atau jendela. Konsep akli, menurut mereka, adalah gambaran inderawi yang bentuknya telah berubah. 


Pernyataan sebagian lainnya bisa diartikan bahwa mafhum inderawi menyediakan lahan dan bahan bagi mafhum akli. Ini tak sama dengan menyatakan gambaran inderawi benar-benar berubah menjadi konsep akli. 


Telah disebutkan bahwa empirisis ekstrem, seperti positivis, pada dasarnya menyangkal ada konsep akli, mereka menafsirkannya sebagai semata bentuk kata dalam benak. 


Sebagian empirisis, seperti French Condiac, membatasi pengalaman yang menyebabkan munculnya konsep akli hanya pada pengalaman inderawi. Sementara yang lain, seperti John Locke dari Inggris, memasukkan pula pengalaman batin. Di antara mereka ada Berkeley yang berposisi khas, ia membatasi pengalaman hanya pada pengalaman batin, karena ia menyangkal ada wujud material. Menurut pandangan terakhir ini pengalaman inderawi adalah mustahil. 


Kami harus tambahkan bahwa kebanyakan empirisis tidak membatasi wilayah pengetahuan hanya pada yang material. Ini khususnya mereka yang menerima pengalaman batin. Mereka membuktikan hal-hal metafisika dengan penalaran. Meski menurut doktrin mereka pandangan demikian tidak cukup logis. Bukankah bagi mereka lebih pokok penginderaan? Bukankah konsep akli bergantung pada konsep inderawi? Penyangkalan metafisika pun karenanya adalah tanpa alasan. Karenanya, Hume, yang menyadari ini, menganggap hal-hal yang tak dialami langsung sebagai bisa diragukan. 


Jelas bahwa kritik panjang lebar dan rinci terhadap keduanya perlu tulisan yang tebal dan tersendiri.  Yakni agar pernyataan-pernyataan masing-masing pemikir dapat disertakan dan diteliti. Namun itu bukan dalam buku ini. Di sini akan dicukupkan dengan kritik singkat akan pandangan-pandangan mereka tanpa merujuk ke posisi mereka secara rinci. 


Kritik 


1. Tak mungkin mengasumsikan bahwa dari awal wujudnya akal punya konsep-konsep khusus. Tak pula bahwa akal tercampuri dengan itu. Tidak pula bahwa setelah beberapa saat akal memahaminya secara otomatis tanpa pengaruh faktor lain. Akal sehat setiap orang menyangkal ini. Entah itu konsep-konsep yang diasumsikan terkait materi, terkait abstraksi, atau terkait keduanya. 


2. Anggapan bahwa serangkaian konsep bersifat niscaya pada asal dan bangunan dasar akal, tidak dapat dibuktikan. Secara umum dapat dikata bahwa beberapa hal diterima secara alami oleh akal. Mungkin jika akal dicipta dengan pola yang berbeda, ia akan menerima objek dengan cara yang berbeda pula. 


Dalam menutupi kelemahan ini Descartes berpegang pada adanya hikmah ilahiah. Ia bilang bahwa jika Tuhan menempatkan konsep-konsep demikian pada akal secara alami, sementara itu bertentangan dengan fakta dan kebenaran, Dia pastilah penipu. Bagaimanapun, jelas bahwa sifat-sifat Tuhan yang Kuasa, pun ketakmungkinanNya menipu harus dibuktikan dengan penalaran. Namun jika persepsi akli tidak benar maka fondasi argumen ini akan runtuh. Jaminan benar melalui argumen ini makanya bersifat daur. 


3. Anggapan bahwa konsep akli berasal dari perubahan gambaran inderawi. Ini mengharuskan bahwa gambaran awal yang berubah menjadi konsep akli pastilah tidak bertahan dalam bentuk aslinya. Yakni saat muncul konsep umum dalam benak. Padahal dalam waktu bersamaan dan seterusnya kita dapati bahwa gambaran inderawi dan gambaran khayali tetap bertahan. Lebih jauh, sebenarnya yang terkena perubahan hanyalah wujud material. Adapun gambaran yang terpersepsi, ia bersifat abstrak. Ini akan dibuktikan kemudian. 


4. Kebanyakan konsep akli, seperti konsep sebab dan konsep akibat, sama sekali tak punya bentuk gambaran inderawi atau khayali. Jadi tak bisa dibilang mereka berasal dari perubahan gambaran inderawi. 


5. Anggapan bahwa gambaran inderawi menjadi bahan dan fondasi bagi konsep akli, mereka tak benar-benar berubah menjadi konsep akli. Meski ini kurang disangkal dan lebih dekat kepada fakta [dibanding anggapan-anggapan sebelumnya], dan dapat diterima dalam kaitannya dengan sebagian "konsep apa", tetap saja, tidak tepat untuk membatasi fondasi konsep akli hanya pada gambaran inderawi. Misal, tak bisa dikatakan bahwa konsep filsafat didapat dari abstraksi dan generalisasi gambaran inderawi. Seperti telah diungkap bahwa tak ada gambaran inderawi ataupun khayali yang menyamai konsep filsafat. 


Penyelidikan 


Supaya jelas peranan indera dan nalar dalam benak, kita akan melihat sekilas berbagai jenis konsep dan bagaimana mereka muncul. 


Saat membuka mata ke arah indahnya taman, beragam warna bunga dan dedaunan menarik perhatian kita. Berbagai gambaran inderawi terpampang di benak kita. Saat menutup mata, kita tak lagi melihat warna-warni berkilau tadi, inilah persepsi inderawi yang seketika menghilang saat kaitan dengan dunia luar terputus. Namun, kita bisa bayangkan bunga-bunga yang sama di benak kita, dan mengingat pemandangan indah itu. Inilah persepsi khayali. 


Menambahi gambaran inderawi dan khayali yang mewakili hal-hal tertentu, kita juga menangkap serangkaian konsep umum yang tidak mewakili hal-hal khusus, seperti konsep hijau, merah, kuning, ungu, indigo, dst. 


Demikian pula konsep “warna” itu sendiri, yang dapat diterapkan pada berbagai warna berbeda, tak bisa dianggap sebagai bentuk samar dan kabur dari salah satunya. 


Tentunya, jika kita belum melihat warna dedaunan dan pepohonan dan hal-hal dengan warna sama, kita mustahil memunculkan gambaran khayali maupun konsep aklinya. Maka, mereka yang buta tak mungkin membayangkan warna-warni dan mereka yang tak punya pembau tak bisa punya konsep aroma. Karenanya dibilang “Yang tak punya indera tak punya pengetahuan,” yakni mereka yang tak punya satu indera akan terhalang dari sejenis konsep dan kesadaran. 


Tak ayal munculnya konsep umum demikian bergantung pada adanya persepsi-persepsi khusus. Namun hal ini tak sama dengan persepsi inderawi yang berubah menjadi persepsi akli serupa kayu menjadi kursi. Tak sama dengan materi menjadi energi. Tidak pula seperti energi tertentu berubah ke bentuk lain. Seperti kita bilang, perubahan semacam itu meniscayakan bahwa kondisi awalnya tidak ada lagi sementara persepsi khusus bisa tetap ada setelah muncul konsep aklinya. Selain itu, perubahan adalah sifat materi, sementara persepsi sepenuhnya adalah abstrak, seperti akan kita buktikan, insya Allah. 


Karenanya, peranan indera dalam memunculkan konsep umum demikian adalah sebatas sandaran atau syarat perlu. 


Ada jenis konsep lain yang tak ada kaitannya dengan hal inderawi, melainkan semacam gambaran keadaan kejiwaan, yakni kondisi yang tersingkap melalui pengetahuan langsung dan pengalaman batin, seperti konsep tentang takut, suka, benci, nikmat, dan sakit. 


Tak ayal, jika kita tak punya rasa batiniah, kita tak mungkin memahami konsep umumnya. Maka, anak kecil tak bisa paham bentuk kenikmatan orang dewasa hingga mereka mencapai kematangan, dan sebelum itu mereka tak punya konsep khusus tentangnya. Karenanya, jenis konsep ini juga perlu persepsi khusus awal. Tapi tentu bukan persepsi yang didapat dengan bantuan indera. Karenanya, pengalaman inderawi tak punya andil dalam perolehan konsep “apa” jenis ini. 


Di sisi lain, kita punya rangkaian konsep yang tak punya wujud di dunia luar, hanya punya wujud dalam benak, seperti konsep “umum”. Ia mewakili konsep akli lain. Tak ada hal luar benak yang dapat disebut “umum” dengan makna konsep yang dapat diterapkan pada banyak objek. 


Jelas bahwa konsep jenis ini tidak diperoleh melalui abstraksi dan generalisasi dari persepsi inderawi. Ia perlu semacam pengalaman mental, yakni, hingga serangkaian konsep akli didapat oleh benak. Hingga itu terjadi kita tak bisa bilang apakah mereka bisa dipakai untuk banyak objek atau tidak. Inilah pengalaman batin yang kami maksud. Yakni, benak manusia punya kemampuan menyadari konsep dalam dirinya sendiri, dan memperlakukannya seolah objek dari dunia luar. Ia pun mampu mengabstraksi konsep-konsep khusus darinya. Wujud konsep-konsep yang terabstraksi ini sama dengan konsep primer. Karena inilah konsep yang dipakai dalam logika tersebut dinamai “mafhum logika sekunder”. 


Akhirnya kita sampai pada rantai lain konsep akli, yang dipakai dalam filsafat. Darinya terbentuk proposisi-proposisi swabukti primer, karenanya konsep-konsep ini sangatlah penting. Banyak pendapat dihadirkan tentang terbentuknya konsep-konsep ini. Bahasannya saja akan sangat panjang, yang dalam bahasan ontologi nanti kita akan ulas syarat-syarat pembentukan masing-masing konsep terkait. Sekarang kami hanya akan menyampaikan sekadar yang perlu saja. Perlu dicatat bahwa konsep-konsep ini, karena semuanya dimaksudkan kepada objek-objek di luar; dalam istilah teknis mereka ini seperti konsep “apa”, yakni penyematannya eksternal, namun karena mereka tak menggambarkan “apa” secara spesifik dan dalam istilah teknis perwujudannya ada di batin, mereka seperti konsep logika. Karena inilah mereka kadang disalah artikan dengan dua kelompok konsep lain tersebut. Kesalahan ini dilakukan oleh para pemikir besar, khususnya para filosof barat. 


Telah kita pelajari bahwa kita mengenali diri dan keadaan-keadaan psikologis kita sendiri dengan pengetahuan langsung. Pun gambaran-gambaran batin dan perbuatan ruhaniah, seperti keputusan kita. Sekarang kita tambahkan bahwa manusia bisa membandingkan setiap aspek diri dengan diri itu sendiri. Itu tanpa mempedulikan “apa” mereka itu, namun dengan mempedulikan hubungan mendasarnya. Ia mendapati bahwa si diri bisa ada tanpa itu semua. Namun, tak ada satu pun darinya bisa ada tanpa diri. Memperhatikan relasi ini disimpulkan bahwa tiap aspek jiwa butuh akan diri, namun diri tak perlu akan satu pun dari aspek jiwa, ia mandiri, tak butuh, dan bebas darinya. Demikianlah, akal mengabstraksi konsep sebab dari diri dan konsep akibat dari tiap aspek jiwa tadi. 


Jelasnya, gambaran inderawi tak punya peran dalam pembentukan konsep butuh, bebas, mandiri, sebab, dan akibat. Abstraksi konsep-konsep ini tak berasal dari gambaran inderawi semata. Bahkan pengetahuan langsung dan pengalaman batin terkait masing-masingnya tak cukup untuk mengabstraksi konsep-konsep yang terkait. Yakni, pembandingannya perlu, juga kaitan khusus di antara mereka harus dipertimbangkan. Karenanya dikatakan bahwa konsep-konsep demikian tak punya penyematan objektif, meski penunjukannya bersifat eksternal. 


Dapat disimpulkan setiap konsep akli perlu gambaran individual yang mendahuluinya, gambaran yang menyediakan bahan abstraksi bagi konsep “jenis”. Gambaran ini dalam beberapa kasus adalah gambaran inderawi, dan dalam beberapa adalah pengetahuan langsung dan pengalaman batin. Karenanya peran indera dalam pembentukan konsep umum adalah dalam menyediakan bahan bagi sekelompok konsep “apa”. Adalah akal yang memainkan peran mendasar dalam pembentukan semua konsep umum. (Berdasar pada buku Philosophical Instructions, oleh MT Misbah Yazdi) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar